jmw01
New member
KABUL (Berita SuaraMedia) – Pasukan NATO di Afghanistan kini dihadapkan pada musuh baru, yaitu anak-anak. Bagaimana bisa? Karena gerakan Taliban kini menggunakan anak-anak untuk mempersiapkan senjata para pejuang, membawa amunisi ke medan tempur, dan menjadi mata-mata.
Menurut kabar yang dilansir Sky News, anak-anak Taliban mempelajari taktik tim penjinak ranjau NATO. Mereka kemudian membocorkan cara tersebut kepada para gerilyawan.
Taliban kemudian mengadaptasi metode penanaman bom mereka untuk menghindari deteksi dan dapat memunculkan banyak korban di kubu pasukan penjajah asing.
Anak-anak itu menjadi mata dan telinga Taliban. Mereka menyampaikan pesan kepada para pejuang, memberitahukan mengenai gerak-gerik pasukan dan patroli asing sehingga para gerilyawan bisa melincurkan serangan dengan dampak maksimum.
Militer Inggris agaknya tidak punya daya untuk menggagalkan atau menghentikan hal tersebut.
Saed Amir, 10, mengatakan bahwa dirinya bangga bisa melakukan tugas untuk Taliban, yang merupakan pahlawan bagi warga setempat seperti dirinya.
Sepupunya yang berusia 15 tahun, Aizatullah Mashawani, bersikeras dan menyatakan mencintai Taliban. Mereka membantah jika disebut telah dipaksa atau takut sehingga membantu Taliban.
"Saya tidak takut kepada mereka. Saya mencintai mereka. Mereka pahlawan kami. Pasukan koalisi mengebom dan menyakiti kami. Talibanlah yang bertempur demi kami," kata Aizatullah.
Di sebuah desa di jantung kekuasaan baru Taliban di Provinsi Kunar yang berbatasan dengan Pakistan, investigasi Sky News menemukan bahwa hampir setiap anak terlibat dengan berbagai cara.
Seluruh komunitas bekerja atau mendukung Taliban. Mulai dari para pemimpin agama, para petani, hingga anak dan cucu mereka.
Para tetua suku adalah tokoh senior bagi seluruh komunitas di Afghanistan dan merupakan orang-orang yang didengar serta diajak bicara oleh Taliban.
Sky News menggelar pertemuan –atau syura – sendiri dengan para tetua dan mendengar bagaimana para anggota generasi tua merasakan ketegangan setelah sejumlah peristiwa.
Salah satunya berkata, "Kami tidak menginginkan kehadiran pasukan koalisi di sini. Saat mereka membunuh satu orang saudara, maka yang kedua akan menjadi Taliban."
"Kami mendengar ada begitu banyak uang yang mengalir ke sini, tapi bisakah Anda lihat ada jalan atau jembatan yang dibangun di sini?" tanyanya.
Seorang lainnya berkata, "Kami minta anak-anak kami jujur dan mendukung pemerintah. Tapi, pemerintah (Afghanistan) korup dan pasukan koalisi tetap saja mendukung mereka, jadi apa yang bisa kami perbuat jika mereka (anak-anak) berpaling kepada Taliban?"
Awal pekan ini, NATO memulai fase akhir dan penting dalam serangan besar untuk "membersihkan" Kandahar, rumah spiritual bagi Taliban, dengan ratusan orang prajurit melancarkan serangan udara di pangkalan utama gerilyawan di kawasan tersebut.
Dalam wawancara dengan The Independent, para tetua suku, pejabat pemerintahan dan sipil di Kota Kandahar menggambarkan serbuan malam pasukan khusus dan bombardir NATO di kawasan tersebut.
Mahmoud Dawood, petani berusia 35 tahun dari sebelah barat ujung Panjwaii, sebuah kawasan yang berusaha diambil alih pasukan Afghanistan dan NATO, menyampaikan kesaksian saat dirinya terbangun Kamis malam lalu oleh ledakan di desa sebelah.
Tiba-tiba, ledakan itu semakin dekat dan tampak siluet seorang prajurit komando Afghanistan di pintu rumahnya yang terbuka. "Ada cahaya putih yang amat terang dan sebuah suara dalam bahasa Pashto, ‘Berdiri’," katanya.
"Mereka membawa saya, saudara laki-laki saya, dan para tetangga kami ke sebuah penjara yang mereka bangun di sebuah dusun kecil bernama Saidan," tambahnya.
Haji Baran, gubernur distrik tersebut, membenarkan bahwa dirinya campur tangan untuk membantu membebaskan banyak tahanan setelah serangan di kawasan tersebut pada akhir pekan lalu.
Setelah ditanyai dan diambil data biometriknya, Dawood mengaku dibawa pulang dan diminta mengisi karung-karung pasir, para prajurit menjadikan rumahnya menjadi lokasi baku tembak.
"Mereka menyuruh kami berjalan di depan," kata Dawood. "Jadi, jika ada ranjau, kami yang akan kena duluan."
![as_berbincang.jpg](http://www.suaramedia.com/images/stories/4berita/1-10-asia/as_berbincang.jpg)
Menurut kabar yang dilansir Sky News, anak-anak Taliban mempelajari taktik tim penjinak ranjau NATO. Mereka kemudian membocorkan cara tersebut kepada para gerilyawan.
Taliban kemudian mengadaptasi metode penanaman bom mereka untuk menghindari deteksi dan dapat memunculkan banyak korban di kubu pasukan penjajah asing.
Anak-anak itu menjadi mata dan telinga Taliban. Mereka menyampaikan pesan kepada para pejuang, memberitahukan mengenai gerak-gerik pasukan dan patroli asing sehingga para gerilyawan bisa melincurkan serangan dengan dampak maksimum.
Militer Inggris agaknya tidak punya daya untuk menggagalkan atau menghentikan hal tersebut.
Saed Amir, 10, mengatakan bahwa dirinya bangga bisa melakukan tugas untuk Taliban, yang merupakan pahlawan bagi warga setempat seperti dirinya.
Sepupunya yang berusia 15 tahun, Aizatullah Mashawani, bersikeras dan menyatakan mencintai Taliban. Mereka membantah jika disebut telah dipaksa atau takut sehingga membantu Taliban.
"Saya tidak takut kepada mereka. Saya mencintai mereka. Mereka pahlawan kami. Pasukan koalisi mengebom dan menyakiti kami. Talibanlah yang bertempur demi kami," kata Aizatullah.
Di sebuah desa di jantung kekuasaan baru Taliban di Provinsi Kunar yang berbatasan dengan Pakistan, investigasi Sky News menemukan bahwa hampir setiap anak terlibat dengan berbagai cara.
Seluruh komunitas bekerja atau mendukung Taliban. Mulai dari para pemimpin agama, para petani, hingga anak dan cucu mereka.
Para tetua suku adalah tokoh senior bagi seluruh komunitas di Afghanistan dan merupakan orang-orang yang didengar serta diajak bicara oleh Taliban.
Sky News menggelar pertemuan –atau syura – sendiri dengan para tetua dan mendengar bagaimana para anggota generasi tua merasakan ketegangan setelah sejumlah peristiwa.
Salah satunya berkata, "Kami tidak menginginkan kehadiran pasukan koalisi di sini. Saat mereka membunuh satu orang saudara, maka yang kedua akan menjadi Taliban."
"Kami mendengar ada begitu banyak uang yang mengalir ke sini, tapi bisakah Anda lihat ada jalan atau jembatan yang dibangun di sini?" tanyanya.
Seorang lainnya berkata, "Kami minta anak-anak kami jujur dan mendukung pemerintah. Tapi, pemerintah (Afghanistan) korup dan pasukan koalisi tetap saja mendukung mereka, jadi apa yang bisa kami perbuat jika mereka (anak-anak) berpaling kepada Taliban?"
Awal pekan ini, NATO memulai fase akhir dan penting dalam serangan besar untuk "membersihkan" Kandahar, rumah spiritual bagi Taliban, dengan ratusan orang prajurit melancarkan serangan udara di pangkalan utama gerilyawan di kawasan tersebut.
Dalam wawancara dengan The Independent, para tetua suku, pejabat pemerintahan dan sipil di Kota Kandahar menggambarkan serbuan malam pasukan khusus dan bombardir NATO di kawasan tersebut.
Mahmoud Dawood, petani berusia 35 tahun dari sebelah barat ujung Panjwaii, sebuah kawasan yang berusaha diambil alih pasukan Afghanistan dan NATO, menyampaikan kesaksian saat dirinya terbangun Kamis malam lalu oleh ledakan di desa sebelah.
Tiba-tiba, ledakan itu semakin dekat dan tampak siluet seorang prajurit komando Afghanistan di pintu rumahnya yang terbuka. "Ada cahaya putih yang amat terang dan sebuah suara dalam bahasa Pashto, ‘Berdiri’," katanya.
"Mereka membawa saya, saudara laki-laki saya, dan para tetangga kami ke sebuah penjara yang mereka bangun di sebuah dusun kecil bernama Saidan," tambahnya.
Haji Baran, gubernur distrik tersebut, membenarkan bahwa dirinya campur tangan untuk membantu membebaskan banyak tahanan setelah serangan di kawasan tersebut pada akhir pekan lalu.
Setelah ditanyai dan diambil data biometriknya, Dawood mengaku dibawa pulang dan diminta mengisi karung-karung pasir, para prajurit menjadikan rumahnya menjadi lokasi baku tembak.
"Mereka menyuruh kami berjalan di depan," kata Dawood. "Jadi, jika ada ranjau, kami yang akan kena duluan."