gusrus
New member
Peradaban umat manusia maju berkembang, berkat satu hal. Kemampuan kita sebagai manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Baik secara batin, lewat isyarat dan bahasa. Lewat cara yang sama pengetahuan, sejarah, legenda dan banyak lagi, kita turunkan dari generasi ke generasi lain. Kemampuan ini tidak saja berkembang lepas tanpa kendali, melainkan secara antropologis menjadi sebuah kemahiran penting. Yaitu kemahiran bercerita. Tengok saja bagaimana dongeng menjadi sebuah produk peradaban yang tetap populer, menarik dan bertahan. Dan bagaimana sejumlah tradisi dan seni terancam punah, karena kemampuan-nya berkomunikasi tidak lagi populer. Salah satu bentuk produk peradaban dan budaya yang semakin populer adalah film.
Film barangkali memiliki kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi yang paling komplit. Karena menggunakan bahasa, musik dan visualisasi bersama-sama tekhnologi dalam sebuah kemahiran bercerita yang aktuil. Itu sebabnya film dengan bahasa yang berbeda dan tidak kita mengerti, masih bisa sangat menarik untuk ditonton karena elemen komunikasi lainnya seperti musik, visualisasi dan tekhnologi menjadi kekuatan tersendiri, dan bukan pelengkap bahasa semata.
Ketika artikel ini ditulis, film AVATAR telah memecahkan rekor sebagai film box-office sepanjang masa. Penjualannya di Amerika saja telah mencapai diatas 660 juta dolar. Dan di luar Amerika sudah mencapai 1,6 milyar dolar. Dijumlah Avatar sudah menghasilkan 2,2 milyar dolar atau setara dengan 22 trilyun rupiah. Anda mungkin akan tertawa, bila kita membandingkan-nya dengan industri film Indonesia. Percaya atau tidak Indonesia yang penduduknya sudah diatas 220 juta orang hanya memiliki kurang dari 600 layar bioskop. Ini tentu saja tidak termasuk bioskop ‘misbar’ atau sejenisnya. Artinya satu layar bioskop harus digunakan oleh lebih dari 360.000 orang. Penonton Indonesia setahun ada kurang lebih 45 juta orang. Kelihatan banyak tetapi sebetulnya sangat minim. Karena konsumsi perkapita Indonesia cuma ¼ film pertahun. Di Amerika, konsumsi perkapita mereka sudah diatas 4 film pertahun. Jumlah tiket yang terjual di Amerika tahun 2009, diatas 1,3 milyar. Dengan omzet diatas 10 milyar dolar atau 100 trilyun lebih. Harga karcis di Indonesia masih sangat murah yaitu rata-rata cuma 15 ribu rupiah. Tahun 2009 tiket bioskop rata-rata di Amerika sudah mencapai $7.46 atau diatas 70 ribu rupiah. Lebih dari 4 kali lebih mahal di banding di Indonesia. Melihat angka diatas Hollywood sebagai industri kreatif barangkali memiliki pasar yang besarnya diatas 50 milyar dolar, atau diatas 500 trilyun rupiah. Atau lebih dari setengah besaran APBN Indonesia ditahun 2008-2009.
Indonesia yang hanya mampu memproduksi film kurang dari 200 judul setahun, belum bisa mengembangkan film sebagai salah satu industri kreatif berpotensi ekonomi yang masif. Industri film kita masih tertinggal jauh dibawah pasar 10 trilyun rupiah setahun.
Lalu apa rumus matematika-nya ? Salah satunya tentu saja matematika klasik antara ayam dan telur. Mana yang lebih dulu ? Film Indonesia yang selalu menuai kritik, memang mewarisi sejumlah permasalahan yang sangat kompleks. Dari segi permodalan, barangkali film Indonesia adalah industri yang paling berisiko. Tidak ada bank dimana-pun di Indonesia yang saat ini berani memberikan kredit pembuatan film. Dan pengusaha film kita rata-rata tidak memiliki aset untuk jaminan kredit pembuatan film. Itupun seandainya ada ! Seorang banker secara humoris mengatakan pada saya, bagaimana caranya menilai resiko sebuah film yang akan dibuat ? Memang tidak ada metode yang baku.
Sebenarnya kaya raya lewat film tidaklah susah bila dihitung secara matematis. Biaya pembuatan film Indonesia yang paling minim itu sekitar 1.5 milyar hingga 2 milyar dengan promosi seadanya saja. Untuk film semurah ini anda butuh minimal 100.000 – 150.000 penonton untuk breakeven. Kelihatannya mudah tetapi sulit sekali. Karena jumlah bioskop kita yang minim hanya kurang dari 600 itu. Andaikata film anda diputar di 50 bioskop, dengan rata-rata penonton 100 orang, maka anda minimal butuh waktu 2 minggu untuk mencapai titik break-even tadi. Dengan kompetisi yang sangat luar biasa antara film gratis di TV, DVD palsu dan karya Hollywood yang spektakuler, maka kebanyakan film Indonesia rontok di minggu pertama.
Jadi jangan salahkan kalau produser film Indonesia cuma mau membuat film yang laku. Seperti film setan, komedi sex dan percintaan. Membuat film diluar pakem itu, seperti film sejarah, aksi, dan sci-fi, akan menjadi sangat mahal dan tidak masuk akal untuk impas. Akibatnya film Indonesia dengan biaya produksi diatas 5 milyar menjadi sangat langka. Teorinya kalau tidak diberi modal cukup, bagaimana mungkin kita bisa membuat film yang bagus. Dan pengusaha bioskop tidak akan membangun bioskop baru bilamana tidak ada pertumbuhan penonton yang sehat di Indonesia.
Melihat hitungan matematika industri film Indonesia yang ruwet ini banyak orang menjadi sangat pesimis. Menurut saya pribadi solusinya sebenarnya sangat mudah. Kita butuh mendirikan sebuah lembaga PASAR FILM INDONESIA. Mulai saja dengan hitungan yang mudah. Pemerintah bersama BUMN (yang mampu tentunya) menghibahkan dana sebesar 60-80 milyar setahun selama 5 tahun. Ini komitmen terpenting. Dana ini dikelola secara profesional dan memiliki orientasi menghasilkan laba, dan bukan lembaga sosial yang kerja-nya hanya menyumbang dana. Dengan uang itu, PASAR FILM INDONESIA menginvestasikan 10-12 film setahun, dengan biaya produksi yang berbeda-beda tergantung kebutuhan. Produser film dan PASAR FILM INDONESIA bekerja sama untuk membuat film yang bagus, dan laris ditonton. Dengan sistim bagi keuntungan, modal tahunan PASAR FILM INDONESIA diharapkan berkembang dan berlipat ganda menjadi 1 trilyun rupiah setelah 6-8 tahun. Bila sistim ini berhasil, rakyat Indonesia, memiliki jaminan setiap bulan-nya ada film bagus yang bisa ditonton. Dan Industri Film Indonesia sebagai Industri kreatif bisa berkembang dan menjadi industri yang kompetitif untuk kita ekspor ke ASEAN.
Pemerintah dan BUMN sebagai penggagas dana, tentunya meminta sejumlah keuntungan. Dan mereka akan mendapatkan-nya dengan matematika yang menarik. Pertama yang klise tentu saja dari pertumbuhan tenaga kerja. Baik secara kualitas dan kuantitas. Yang kedua adalah dari industri pendukungnya. Masih banyak fasilitas produksi film yang masih harus di-outsource di luar negeri seperti Australia, Thailand, India dan Malaysia. Seperti finishing dan post-production. Apabila industri film Indonesia berkembang baik, investor akan menanamkan modal di industri pendukung ini. Efek bola saljunya juga akan menggelinding ke industri lain-nya seperti periklanan dan video-clip untuk musik. Ini bukan bonus yang sepele. Karena industri periklanan dan musik kita punya pangsa pasar yang cukup fantastis. Ketiga, industri pendukung lainnya seperti musik dan novel sebagai bahan baku cerita juga akan ikut tumbuh secara otomatis.
Film adalah alat promosi yang populer. Film “The Da Vinci Code” misalnya mampu membuat turis berduyun-duyun ke Paris. Film-film Indiana Jones dan James Bond berhasil mempromosikan tempat-tempat eksotis di Eropa dan Timur Tengah. Saat ini, salah satu sumber pendanaan aktif film Indonesia, adalah juga lewat sponsorship dari berbagai perusahaan swasta. PASAR FILM INDONESIA bisa juga melakukan barter dengan pemerintah dan produser film untuk mempromosikan BUMN, aneka produk Indonesia, tempat tujuan wisata Indonesia dan menjadi materi pendidikan yang baik, misalnya dalam membuat film-film sejarah.
Bisa pula dibuat perjanjian, apabila setelah 5 tahun, dana yang dhibahkan Pemerintah dan BUMN menghasilkan laba yang cukup, sebagian laba tersebut dikembalikan sebagai royalti keuntungan. Tetapi dalam bentuk program CSR yang menguntungkan pemerintah dan BUMN. Misalnya pendirian Akademi Film diberbagai daerah, bioskop keliling, dan pembuatan materi audio visual untuk kampanye program pemerintah dan BUMN.
Kafi Kurnia – Wakil Ketua II – Komite Kerja Festival Film Indonesia