saintsaiya
New member
Perusahaan media massa diingatkan untuk konsisten membela prinsip kebebasan pers, termasuk membela para jurnalis yang mengalami tekanan atau kekerasan di lapangan saat meliput.
Peringatan itu, kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nezar Patria, Selasa (1/6/), perlu menjadi perhatian mengingat terdapat kecenderungan kalangan pengusaha media massa justru menerapkan semacam standar ganda dalam menyikapi persoalan seperti itu sehingga mengesankan mereka bersikap hipokrit. Ujung tombak perusahaan media massa bukan di segi bisnis, melainkan di kredibilitas news room.
Menurut Nezar, hanya saat berhadapan dengan gugatan yang bisa berkonsekuensi hukuman material berupa uang berjumlah besarlah perusahaan media massa bersikap sangat progresif memperjuangkan kebebasan pers.
“Akan tetapi ketika yang menghadapi masalah itu jurnalis mereka di lapangan, misalnya mengalami kekerasan saat meliput atau terkait pemberitaan. perusahaan media massa bersikap sangat konservatif dan malah cenderung tidak membela wartawannya secara serius,” ujarnya.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan. idealnya setiap kali muncul ancaman terhadap wartawan, reaksi pembelaan pertama kali harus datang dari media tempat jurnalis itu bekerja.
Namun pada praktiknya selama ini, pihak-pihak yang paling getol membela dan mengadvokasi wartawan korban kekerasan justru dari kalangan asosiasi profesi wartawan atau dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) pers. “Saya lihat sih ya, bagus saja. Namun kan idealnya reaksi pertama harus dari medianya sendiri. Karena logikanya, saat meliput seorang wartawan kan mewakili institusi media massa tempatnya bekerja,” ujar Agus.
Pengaruhi hukum
Praktisi hukum Bisha Halim mengatakan, perlu ada persamaan persepsi bagi setiap lembaga bahwa penegakan hukum jangan sampai dikotori oleh kepentingan tertentu, sehingga pers dapat menyajikan informasi apa adanya karena pers adalah ujung tombak demokrasi.
“Jika pers dijadikan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu akan merusak demokrasi dan hukum,” katanya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi ahli hukum pidana Chairul Huda mengatakan, saat ini pers seolah punya peran besar terhadap sebuah proses hukum. Hal ini terjadi akibat dahsyatnya opini publik yang dikembangkan oleh media massa. Hal itu bisa terlihat dalam kasus pimpinan KPK Bibit-Chandra, kasus Prita Mulyasari, kasus Nunun Nurbaiti, dan kasus Susno Duadji.
“Pers yang tidak profesional dalam menyajikan informasi khususnya terkait persoalan hukum bisa saja merusak penegakan hukum itu sendiri. Pers bisa menggiring opini publik bahwa seseorang bersalah meski faktanya yang bersangkutan tidak bersalah. Begitu pula sebaliknya,” kata Chairul.
Sementara itu, mantan hakim agung Benyamin Mangkudilaga menyatakan sebenarnya banyak perkara yang putusannya bagus luput dari pemberitaan media massa. “Saya mendorong pers berperan sebagai lembaga kontrol yang profesional dalam penegakan hukum,” katanya.
Sumber : Kompas
Peringatan itu, kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nezar Patria, Selasa (1/6/), perlu menjadi perhatian mengingat terdapat kecenderungan kalangan pengusaha media massa justru menerapkan semacam standar ganda dalam menyikapi persoalan seperti itu sehingga mengesankan mereka bersikap hipokrit. Ujung tombak perusahaan media massa bukan di segi bisnis, melainkan di kredibilitas news room.
Menurut Nezar, hanya saat berhadapan dengan gugatan yang bisa berkonsekuensi hukuman material berupa uang berjumlah besarlah perusahaan media massa bersikap sangat progresif memperjuangkan kebebasan pers.
“Akan tetapi ketika yang menghadapi masalah itu jurnalis mereka di lapangan, misalnya mengalami kekerasan saat meliput atau terkait pemberitaan. perusahaan media massa bersikap sangat konservatif dan malah cenderung tidak membela wartawannya secara serius,” ujarnya.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan. idealnya setiap kali muncul ancaman terhadap wartawan, reaksi pembelaan pertama kali harus datang dari media tempat jurnalis itu bekerja.
Namun pada praktiknya selama ini, pihak-pihak yang paling getol membela dan mengadvokasi wartawan korban kekerasan justru dari kalangan asosiasi profesi wartawan atau dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) pers. “Saya lihat sih ya, bagus saja. Namun kan idealnya reaksi pertama harus dari medianya sendiri. Karena logikanya, saat meliput seorang wartawan kan mewakili institusi media massa tempatnya bekerja,” ujar Agus.
Pengaruhi hukum
Praktisi hukum Bisha Halim mengatakan, perlu ada persamaan persepsi bagi setiap lembaga bahwa penegakan hukum jangan sampai dikotori oleh kepentingan tertentu, sehingga pers dapat menyajikan informasi apa adanya karena pers adalah ujung tombak demokrasi.
“Jika pers dijadikan untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu akan merusak demokrasi dan hukum,” katanya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi ahli hukum pidana Chairul Huda mengatakan, saat ini pers seolah punya peran besar terhadap sebuah proses hukum. Hal ini terjadi akibat dahsyatnya opini publik yang dikembangkan oleh media massa. Hal itu bisa terlihat dalam kasus pimpinan KPK Bibit-Chandra, kasus Prita Mulyasari, kasus Nunun Nurbaiti, dan kasus Susno Duadji.
“Pers yang tidak profesional dalam menyajikan informasi khususnya terkait persoalan hukum bisa saja merusak penegakan hukum itu sendiri. Pers bisa menggiring opini publik bahwa seseorang bersalah meski faktanya yang bersangkutan tidak bersalah. Begitu pula sebaliknya,” kata Chairul.
Sementara itu, mantan hakim agung Benyamin Mangkudilaga menyatakan sebenarnya banyak perkara yang putusannya bagus luput dari pemberitaan media massa. “Saya mendorong pers berperan sebagai lembaga kontrol yang profesional dalam penegakan hukum,” katanya.
Sumber : Kompas