Kalina
Moderator
Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan Akhmad Zubaidi langsung menanggapi keputusan para anggota dewan yang sampai melurug Jakarta untuk menggugat revisi PP 37/2006. Menurutnya, langkah itu sangat memalukan dan tidak pantas dilakukan para wakil rakyat.
"Ini sangat memalukan dan justru menunjukkan sifat kekanak-kanakan," kata Zubaidi saat dihubungi Radar Bromo via telepon kemarin.
Pada prinsipnya, ia menolak keputusan kalangan dewan se-Indonesia yang tergabung dalam Adkasi dan Adeksi. Setidaknya, penolakan itu ia wujudkan dengan ketidakhadirannya dalam pertemuan itu. "Saya juga dapat undangan. Tapi, saya tetap putuskan untuk tidak ikut dengan cara seperti ini. Ngisin-ngisini," kata Zubaidi kemarin.
Ada beberapa alasan yang membuat pria berkacamata ini tetap pada keputusannya. Zubaidi mengaku merasa malu jika harus ke Jakarta dan memperjuangkan ?hak? yang justru sampai saat ini menjadi polemik di kalangan masyarakat.
Menurutnya, aksi itu justru kontraproduktif jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. "Ini justru menunjukkan sikap dewan yang emosional," katanya.
Ia juga menyayangkan sikap Adkasi dan Adeksi yang justru tidak bisa bersikap profesional. Sebagai media komunikasi antarlembaga dewan, seharusnya Adkasi maupun Adeksi bisa memanfaatkan wewenang yang diberikan terhadapnya. "Bukan dengan menghimpun dan mengoordinir anggota dewan seperti ini," ujarnya.
Zubaidi menjelaskan, adanya reaksi keras dari berbagai kalangan sejak terbitnya PP tersebut seharusnya cukup menjadi bahan evaluasi bagi kalangan dewan. "Kalau mau protes, kita kan bisa melakukannya dengan cara yang lebih sopan dan patut. Dengan dialog misalnya. Dan bukankah (dialog) ini sudah difasilitasi di tingkat menteri," lanjutnya.
Di sisi lain, Zubaidi merasa bersyukur. Sebab, sikap kehati-hatian -belum mencairkan rapelan TKI dan DO- yang ia tunjukkan akhirnya membawa hikmah yang kini bisa dirasakan DPRD Kabupaten Pasuruan. "Coba, kalau sudah menerima kemudian diminta mengembalikan," urainya.
Lantas, bagaimana dengan anggota dewan yang sudah menerima, tapi menolak untuk mengembalikan? Menurutnya, sudah seharusnya mereka mengembalikan dana itu.
Kalaupun ada yang tetap bersikukuh untuk tidak mengembalikan, maka hal itu tidak menjadi tanggungjawab lembaga wakil rakyat. "Itu sudah masuk wilayah personal yang harus dipertanggungjawabkan setiap akibat hukumnya," katanya.
Karena itu, Zubaidi pun berharap kepada semua lembaga dewan agar tidak memberikan perlindungan terhadap anggotanya yang menolak mengembalikan dana rapelan tersebut. "Aturannya sudah jelas. Kalaupun ada masalah di kemudian hari, biar dipertanggungjawabkan secara pribadi," jelasnya.
"Ini sangat memalukan dan justru menunjukkan sifat kekanak-kanakan," kata Zubaidi saat dihubungi Radar Bromo via telepon kemarin.
Pada prinsipnya, ia menolak keputusan kalangan dewan se-Indonesia yang tergabung dalam Adkasi dan Adeksi. Setidaknya, penolakan itu ia wujudkan dengan ketidakhadirannya dalam pertemuan itu. "Saya juga dapat undangan. Tapi, saya tetap putuskan untuk tidak ikut dengan cara seperti ini. Ngisin-ngisini," kata Zubaidi kemarin.
Ada beberapa alasan yang membuat pria berkacamata ini tetap pada keputusannya. Zubaidi mengaku merasa malu jika harus ke Jakarta dan memperjuangkan ?hak? yang justru sampai saat ini menjadi polemik di kalangan masyarakat.
Menurutnya, aksi itu justru kontraproduktif jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. "Ini justru menunjukkan sikap dewan yang emosional," katanya.
Ia juga menyayangkan sikap Adkasi dan Adeksi yang justru tidak bisa bersikap profesional. Sebagai media komunikasi antarlembaga dewan, seharusnya Adkasi maupun Adeksi bisa memanfaatkan wewenang yang diberikan terhadapnya. "Bukan dengan menghimpun dan mengoordinir anggota dewan seperti ini," ujarnya.
Zubaidi menjelaskan, adanya reaksi keras dari berbagai kalangan sejak terbitnya PP tersebut seharusnya cukup menjadi bahan evaluasi bagi kalangan dewan. "Kalau mau protes, kita kan bisa melakukannya dengan cara yang lebih sopan dan patut. Dengan dialog misalnya. Dan bukankah (dialog) ini sudah difasilitasi di tingkat menteri," lanjutnya.
Di sisi lain, Zubaidi merasa bersyukur. Sebab, sikap kehati-hatian -belum mencairkan rapelan TKI dan DO- yang ia tunjukkan akhirnya membawa hikmah yang kini bisa dirasakan DPRD Kabupaten Pasuruan. "Coba, kalau sudah menerima kemudian diminta mengembalikan," urainya.
Lantas, bagaimana dengan anggota dewan yang sudah menerima, tapi menolak untuk mengembalikan? Menurutnya, sudah seharusnya mereka mengembalikan dana itu.
Kalaupun ada yang tetap bersikukuh untuk tidak mengembalikan, maka hal itu tidak menjadi tanggungjawab lembaga wakil rakyat. "Itu sudah masuk wilayah personal yang harus dipertanggungjawabkan setiap akibat hukumnya," katanya.
Karena itu, Zubaidi pun berharap kepada semua lembaga dewan agar tidak memberikan perlindungan terhadap anggotanya yang menolak mengembalikan dana rapelan tersebut. "Aturannya sudah jelas. Kalaupun ada masalah di kemudian hari, biar dipertanggungjawabkan secara pribadi," jelasnya.