Membaca Arah Kebijakan Ekonomi

nurcahyo

New member
Membaca Arah Kebijakan Ekonomi

Rasanya semakin hari semakin sulit saja untuk menebak alur pikiran para pembuat kebijakan di republik ini. Bahkan konon katanya, ahli nujum paling masyhur sekalipun mengalami kesulitan untuk bisa meramalkan akan kemana Republik ini dibawa. Arah kebijakan yang tidak tentu ini pada gilirannya membuat publik semakin bingung dan bertanya-tanya, ada apakah gerangan? Bermacam proyeksi usaha yang dibuat seakan di luluhlantakkan oleh pelbagai ketidakjelasan yang mendera. Sungguh, betapa hal ini telah menjadi sebuah ironi. Sementara Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, yang notabene merupakan teman seperjuangan Republik ini di masa krisis terdahulu, telah terbang mengangkasa. Indonesia, jangankan untuk tinggal landas dan kemudian terbang tinggi, mesin jetnya saja belum dinyalakan. Para aktor utama yang bisa dinisbatkan sebagai pembuat kebijakan tak lain dan tak bukan adalah pemerintah selaku otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter.

Arah BI rate
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan BI rate tetap seperti posisi bulan lalu, 12,5%. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat pasar semakin bingung membaca sinyal moneter yang dipancarkan oleh BI. Jika mengacu pada paradigma Inflation Targeting Framework (ITF) yang selama ini menjadi ikon kerja BI, maka tindakan BI dalam mempertahankan BI rate pada level yang tinggi boleh jadi mencederai semangat ITF mengingat inflasi sudah berada pada level yang jauh dari mengkhawatirkan. Coba tengok saja data dari Badan Pusat Statistik (BPS), infasi pada maret 2006 sebesar 0.03%. Sementara inflasi tahun kalender berjalan (Januari-Maret 2006) mencapai 1,98% dan laju inflasi year on year (Maret 2005- Maret 2006) mencapai 15,74%. Inflasi pada bulan Mei, masih menurut data BPS, juga berada pada level yang relatif rendah yaitu sebesar 0,37% (bulanan) dan 15,6% (tahunan) yang berarti masih berada dibawah posisi inflasi tahun 2005.

Jika kita melihat ke belakang, perjalanan BI rate hingga saat ini sangatlah panjang dan berliku. Tingginya harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga internasional dalam tahun 2005 memberi tekanan pada stabilitas moneter di dalam negeri sejak triwulan II/2005. Pada gilirannya kurs rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh Rp 12.000,- per USD pada perdagangan harian menjelang akhir Agustus 2005. Sehingga BI menempuh berbagai rangkaian tindakan penyelamatan yang dimulai pada tanggal 30 Agustus 2005 dengan suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen. Pada bulan September dan Oktober 2005, suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan lagi menjadi 10,0 persen dan 11,0 persen. Selanjutnya untuk menjaga kepercayaan terhadap rupiah dengan tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005, BI rate dinaikkan lagi pada awal November 2005 dan awal Desember 2005 masing-masing sebesar 125 bps dan 50 bps menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen. Hingga pada akhirnya pada tanggal 9 mei 2006 BI rate diturunkan sebesar 25 bps menjadi 12,5%.

Inflasi, merujuk data BPS yang telah dijabarkan diatas, secara perlahan telah dapat dijinakkan, meskipun kinerja saudaranya sesama indikator makroekonomi yaitu nilai tukar masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Keputusan teranyar BI terkait BI rate secara tidak langsung telah mengubah kerangka kerja yang sebelumnya lebih fokus ke arah pengendalian inflasi menjadi fokus ke arah nilai tukar. Hal ini tentunya tidak akan menjadi masalah tatkala BI secara tegas mengumumkan target-targetnya, apakah itu inflasi yang rendah atau rupiah yang stabil.

Peran Pemerintah
Keengganan BI untuk merubah kebijakannya sebenarnya bisa dimaklumi. Betapa tidak, modal asing yang bergulir di Indonesia masih didominasi oleh dana jangka pendek, sehingga bila selisih antara suku bunga dolar dengan rupiah kembali anjlok maka proses pembalikan modal akan terjadi dan efeknya sungguh sakit tak terperikan. Pengalaman teranyar adalah ketika BI memutuskan untuk menurunkan BI rate pada bulan Mei kemarin dengan mempertimbangkan indikator finansial yang tak henti-hentinya mencetak rekor-rekor baru. Betapa tidak posisi IHSG per 10 Mei 2006 telah menembus angka 1.532 . Jika diakumulasikan, maka sejak 29 desember 2005 hingga 9 Mei 2006 IHSG telah menguat sekitar 30%. Pada saat yang sama, kapitalisasi pasar BEJ membukukan rekor tertinggi pada Rp.1.014 triliun. Dengan demikian kapitalisasi pasar BEJ telah naik sekitar 26,59% dari posisi 29 desember 2005 sebesar Rp.801,25 triliun. Sementara itu, sepanjang tahun 2006 kurs rupiah terhadap dolar AS juga naik sekitar 11,2% menjadi Rp.8.735 per dolar AS dibandingkan dengan posisi pada 29 desember 2005 yang Rp. 9.840 per dolar AS.

Akan tetapi sungguh tak dinyana dan tak dikira, beberapa hari kemudian setelah pengumuman penurunan BI rate, baik rupiah dan IHSG terkoreksi cukup signifikan. IHSG turun hingga level 1300-an sementara rupiah meluncur ke level Rp. 9300-an. Ceritanya akan menjadi lain ketika pemerintah bersama-sama BI mengkonversikan investasi jangka pendek yang mendominasi pasar Indonesia menjadi foreign direct investment. Sementara hal ini belum dilakukan maka pasar akan selalu berada pada kondisi yang limbung.

Jika merujuk pada data yang ada, setidaknya hingga tahun 2005, pertumbuhan foreign direct investment mengalami perlambatan dari 14,68% tahun 2004 menjadi 9,93% tahun 2005. Terdapat empat kendala utama yang dianggap menghambat proses pembentukan foreign direct investment yaitu inefisiensi birokrasi, regulasi ketenagakerjaan dan kepailitan yang kurang menunjang, kurangnya insentif pajak, serta ketidaksiapan infrastruktur pendukung investasi. Rendahnya investasi baru juga disebabkan oleh belum tuntasnya produk hukum (RUU Investasi) yang baru, ekonomi biaya tinggi (banyaknya pungutan liar), birokrasi yang panjang, terbatasnya pengeluaran pemerintah dalam menstimulus perekonomian serta terbatasnya pembiayaan perbankan. Di sinilah seharusnya pemerintah harus berperan!

Republik ini sesungguhnya telah kehilangan arah, kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih sering membuat dahi berkerut ketimbang tawa yang melebar. Jika ada yang bertanya, akan kemanakah Republik ini dibawa? Coba tanyakan saja kepada Mbah Maridjan, mungkin dia lebih tahu.
 
Back
Top