Memberdayakan potensi manusia Indonesia secara manusiawi

princess_newbie

New member
Ada pernyataan menarik yang diungkap sejarawan muda Indonesia, Asvi Warman Adam di seputar 17 Agustus 2007 kemarin, khususnya mengenai "Surat Wasiat Bung Karno", bahwa bila terjadi hal-hal yang menghalangi dirinya dalam memimpin perjuangan (tahun 1945), maka kepemimpinan Indonesia diserahkan kepada Saudara Tan Malaka.

Pada beberapa acara televisi Asvi menyatakan bahwa nama Tan Malaka kemudian menghilang dan dihapus oleh Orde Baru, justru agar generasi muda tidak bisa mengenal kebesaran beliau. Kepercayaan Bung Karno itu, oleh Tan Malaka dianggap sebagai sikap yang menghargai dirinya, namun tidak terbetik dalam pikirannya untuk mengambil-alih kekuasaan, karena ia merasa bersyukur atas kejayaan Indonesia di bawah panji-panji kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Konon beberapa sejarawan Barat telah menuding Tan Malaka yang dinilai "senang pamer" mengenai Surat Wasiat terebut, seakan-akan dapat berfungsi sebagai "rekomendasi" (seperti supersemar) yang kelak dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan. Padahal Surat Wasiat itu adalah keniscayaan sejarah revolusi kita (saat itu), mengingat sulitnya posisi Indonesia dalam mengikuti berbagai pengambilan keputusan secara konstitusional, sampai kemudian Hatta pun tak keberatan dengan pewaris tunggal yang ditunjuk Bung Karno tersebut.

Namun akhirnya, Surat Wasiat itu hanya menjadi bahan perbincangan dalam sejarah kita, mengingat perjalanan republik tak pernah dihadapkan pada situasi yang memungkinkan wasiat itu dapat terlaksana. Dan Tan Malaka pun (saya pikir) cukup berjiwa besar untuk menerima kenyataan itu apa adanya.

Adapun perbincangan itu terus bergulir, hingga kalangan intelektual muda banyak bertanya-tanya: "Kenapa yang diberi wasiat tidak tampil, tapi malah seorang jenderal tiba-tiba muncul dengan Supersemar yang masih disembunyikan dokumen aslinya?" Pertanyaan sederhana kemudian muncul lagi: "Kenapa nama Tan Malaka dihapus dalam sejarah Indonesia, padahal andilnya cukup besar dalam perjuangan kemerdekaan kita?" Barangkali jawabannya simpel saja: karena Tan Malaka seorang muslim yang cerdas, dan (meskipun berhaluan kiri) ia cukup memahami budaya dan karakter manusia Indonesia secara integral.

Dan seperti kesaksian yang disampaikan Sajoeti Melik pada tahun 1972-an (Liber Amicorum Bung Karno, hlm. 228), bahwa: "Saya mengenal Tan Malaka sebagai orang yang tidak percaya pada tujuan menghalalkan segala cara. Dalam pergaulan sehari-hari, ia berusaha menjaga kemurnian jiwanya. Bicaranya terus-terang, dan jika tidak memungkinkan, lebih baik ia memilih diam. Ia tak suka berbohong apalagi memfitnah. Ia berani menjalani hidup dalam kesendirian, siap berkorban, dan tidak mengutamakan ambisi-ambisi pribadi..."

sumber

Ayo, coba,.. Nilai apa yang dapat kamu ambil dari tulisan ini? :):))(
 
Tan Malaka tetap berpegang teguh ya dengan prinsip hidupnya dan dia juga berjiwa besar atas penghapusan namanya sebagai pewaris untuk memimpin bangsa indonesia..

btw megha aja gak tau loh Tan Malaka itu siapa bener juga, kok dibuku pelajaran sejarah yang dulu megha pelajari, namanya tidak pernah diungkap? ada apa itu ya?
 
era presiden RI Sukarno. sistem perpolitikan juga tidak bersih bersih amat. banyak juga sejarah yang dihilangkan. sama ketika era Suharto dengan (G30SPKI) nya.

nama tan malaka memang asing ditelinga Indonesia, tetapi beliau adalah tokoh dunia pada era saat itu. hebatnya lagi, teori2 beliau masih digunakan dalam dunia pendidikan tinggi di berbagai negara (bukan Indonesia)

MADILOG (matrealisme, dialektika dan logika), mungkin literatur yang bisa digunakan untuk mengenal lebih dekat siapa Tan Malaka.
 
sipp,... repp buat kalian berdua.

menurutku jiwa besar beliau (Tan Malaka), mengajarkan kita banyak hal, dan salah satunya,betapa ada yang lebih besar "nilainya" ketimbang dikenal orang banyak karena jasa yang telah beliau lakukan.

jiwa besar, menerima, melakukan lebih banyak untuk orang banyak "meskipun" orang lain mengingkari itu.
 
Semua hanya in the name of politic, jadi semua tergantung dari kita mau melihat secara obyektif atau subyektif...

Jika ingin serba subyektif, lihat aja dari satu sisi...baik itu dari sisi new order itu atau dari sisi pandangan politik Tan Malaka...Jika ingin lebih obyektif, sebagai analisa politik, akan lebih mudah jika kita berada ditengah sembari menganalisa bagaimana sistem kedua sisi berjalan...

Begitupun analisa historiografi-nya, melihatnya harus benar2 utuh, tanpa tendensi apapun dan dalam hal ini aku sedikit meragukan pendapat dari Pak Asvi (anyway, Pak Asvi nggak bisa dikatakan sejarawan muda seperti yang tertera di artikel, Lho...:D ) yaitu soal dukungannya terhadap Soekarno-Hatta... Aku agak meragukan pendapat ini keluar dari sejarawan semacam Pak Asvi yang selama ini aku kenal...In fact, Tan Malaka ini selalu berseteru dengan Hatta dan Sjahrir, bahkan dengan Bung Karno...

Pada masa itu ada 3 kutub yang saling intip untuk mengaplikasikan ideologinya pada sebuah kekuasaan... 3 kutub yang berseteru itu adalah Hatta, sjahrir, dan Amir sjarifudin di satu kutub...Tan Malaka dengan komunis Moskownya di kutub yang lain dan Bung Karno di kutub ketiga...Jika ingin sok2an obyektif aku akan berpikir begini...Sebagai pertempuran ideologi, ketiga kubu tadi tidak ada yang keliru. Akan tetapi, dari ketiganya, hanya gagasan dan ide Sukarno saja yang paling orisinal, khas Indonesia. Sejarah telah membuktikan, sistem liberalnya Sjahrir gagal total, dan menyisakan aneka pemberontakan di dalam negeri. Siasat kiri Tan Malaka, tidak akan hidup di bumi agamis Indonesia. Hanya ideologi Pancasila yang diusung Sukarno yang mampu merekatkan seluruh elemen bangsa hingga hari ini. Bukan kanan, bukan kiri....

Itu just intermezzo aja...

Kembali ke pertanyaan Non Puput, jawabanku adalah tidak ada yang bisa diambil dari hal2 tersebut kecuali berhubungan dengan pribadi Tan Malaka sebagai seorang manusia...Che Guevara Indonesia ini terkenal gigih dalam berjuang dan menyampaikan pendapatnya sekiranya dia berpikir itu adalah benar...jadi cukup itu yang bisa aku ambil karena cuma itu yang bisa dijadikan sebuah kebenaran hakiki dalam tulisan di atas....



-dipi-
 
Nilai yang bisa diambil:
  • Jangan terlalu revolusioner terhadap pemerintahan yang mengagungkan status quo.
  • Untunglah Tan Malaka tidak punya kuasa apa-apa, sehingga negara ini bisa tumbuh seperti sekarang dan bukan tumbuh seperti negara-negara komunis.
  • Sejarah itu bikin bingung, mengapa Bung Karno pilih kasih wasiat ke Tan Malaka, kok nggak ke Manai Sophian dkk?
  • Tidak ada tempat di negeri ini untuk manusia penganut atau berbau komunis.
  • Tan Malaka seharusnya ikut berjuang di revolusi negara-negara Afrika bareng Kakang Che Guevara untuk mematangkan garis perjuangannya.
 
Nilai yang bisa diambil:
  • Jangan terlalu revolusioner terhadap pemerintahan yang mengagungkan status quo.
  • Untunglah Tan Malaka tidak punya kuasa apa-apa, sehingga negara ini bisa tumbuh seperti sekarang dan bukan tumbuh seperti negara-negara komunis.
  • Sejarah itu bikin bingung, mengapa Bung Karno pilih kasih wasiat ke Tan Malaka, kok nggak ke Manai Sophian dkk?
  • Tidak ada tempat di negeri ini untuk manusia penganut atau berbau komunis.
  • Tan Malaka seharusnya ikut berjuang di revolusi negara-negara Afrika bareng Kakang Che Guevara untuk mematangkan garis perjuangannya.

[<:)[<:)
bahkan... sebenernya.. darkgrey puyeng sama judulnya..
 
maaf, saya pilihkan solve answer di threadnya ya, kalau ingin mengganti solve answer, tekan tombol reset answer, lalu klick tombol solve answer lagi pada post yang di inginkan, beritahu jika butuh bantuan ya.
 
Back
Top