SangPujangga
New member
Bukannya tak mungkin pertem-puran udara masa datang bakal didominasi oleh penempur-penempur tanpa awak. Konsep ini mulai digodok kelayakannya oleh Pentagon. Dasarnya mengurangi risiko nyawa pilot saat menggempur situs-situs pertahanan udara lawan.
UCAV TANPA AWAK - Dimasa datang menghantam sarang musuh bisa dilakukan oleh pesawat tanpa awak./Foto:Lockheed Martin
Setelah sibuk dengan pesawat siluman (stealth), kini giliran Pentagon menguji kelayakan model pesawat tempur tanpa awak. Basisnya tak lain adalah pesawat pengintai tanpa awak (UAV) yang pernah dipakai dalam Konflik Kosovo maupun Bosnia. Nantinya, wahana udara ini berfungsi sebagai penggempur sarang rudal anti pesawat (SAM) musuh. Atau dalam istilah militernya adalah Suppression of Enemy Air Defenses (SEAD).
Sebelum ide ini timbul, USAF (AU Amerika) sebenarnya telah menggunakan pesawat tempur yang dirancang khusus, yaitu F-4G Wild Weasel untuk tugas SEAD. Setelah Perang Teluk (1991), USAF kemudian memakai F-16 bersenjatakan rudal HARM sebagai generasi penerus F-4G. Namun banyak kalangan militer menyayangkan keputusan ini. Alasannya avionik F-16 dianggap kurang cocok untuk tugas SEAD.
Siluman kecil
UCAV, begitulah Pentagon menyebut nama penempur tanpa awak ini. Dari bahasa sononya adalah kepanjangan dari Uninhabited Combat Air Vehicles. "Wahana tempur udara tanpa awak", kalau diIndonesiakan. Tanpa harus ditunggangi pilot, UCAV nantinya dirancang berde-mensi kecil. Sekitar 40 persen dari ukuran F-16 Fighting Falcon atau F/A-18 Hornet yang ada sekarang. Kemampuan siluman juga bakal disandanganya. Untuk itu semua senjata disimpan dalam perutnya. Jadinya piranti ini sulit dideteksi dan dijatuhkan lawan. Tapi soal menghilang dari pandangan radar bukanlah harga mati. Bila sifat siluman tidak dibutuhkan, maka beberapa cantelan senjata bisa juga ditam-bahkan pada sayap.
Kelebihan lain, UCAV sanggup berlama-lama terbang mencari sasaran ketika radar lawan sedang dimatikan. Selanjutnya menghancurkan sasaran, saat piranti pengendus ini dinyalakan lagi. Hal ini rada beda bila menggunakan awak. Daya tahan seorang pilot yang terbatas bisa-bisa mempengaruhi kesuksesan jalannya sebuah operasi.
Lalu sekarang bagaimana cara meng-operasikannya? Jawabannya, cukup dari dalam sebuah ruang kendali. Tak perlu rumit-rumit. Lantaran situasi dalam ruang itu di masa datang dirancang hanya menyerupai susunan komputer pribadi, ketimbang sebuah kokpit pesawat asli. Sedang penempatannya tak harus pada truk trailer besar atau bunker yang rumit. Tapi bisa juga dengan pesawat-pesawat komando macam E-3 Sentry atau E-8 Joint STARS. Bahkan tak tertutup kemungkinan dari kursi belakang sebuah pesawat tempur pemandu.
Sepertiga JSF
Untuk menggelar program baru ini, Pentagon terpaksa harus merogoh kocek-nya sebesar 116 juta dollar AS. Ada empat pabrikan pesawat Amerika yang aktif dalam program pengembangan UCAV. Masing-masing adalah Boeing, Northrop, Grumman, dan Raytheon. Sedang Lockheed Martin mundur dalam kompetisi. Walau demikian produsen Hercules ini tetap mempertahankan tim pengembangan UCAV-nya. Selain berperan sebagai back-up bagi keempat pabrikan pertama, Lockheed sebenarnya mengincar pangsa pasar di luar Amerika.
Berbeda dengan Lockheed, sebelum ikut dalam program ini, Boeing sebenarnya telah melahirkan 40 macam purwarupa UCAV. Fleksibilitas dalam pemasangan senjata yang jadi andalan. Boeing mempertimbang-kan inventaris senjata USAF yang ada sekarang akan tetap digunakan sampai akhir tahun 2010.
Tapi rupanya Pentagon menginginkan hasilnya adalah berupa contoh UCAV siap operasional. Jadi bukan purwarupa (prototype). Diharapkan pada tahun 2002 contoh ini sudah dapat hadir. Bila telah mendapat lampu hijau, produksi masalpun segera dilakukan pada tahun itu juga. Satu unit UCAV dihargai sekitar 11 juta dollar AS. Atau hanya sepertiga dari harga satu unit JSF, penempur berawak yang bakalan memperkuat AU, AL, dan Marinir AS. Sebagai catatan, Program JSF sendiri se-benarnya telah ditekan seminimal mung-kin, dibandingkan dengan pengem-bangan pesawat tempur sebelumnya.
Itu baru soal harga perangkatnya. Biaya operasional dan sarana pendukung juga dinilai lebih murah. Sebagai gambaran, pada jet tempur konvensional seorang pilot diwajibkan berlatih secara berkala. Alasan-nya untuk menjaga kelihaian sang pilot. Tapi ini tak berlaku bagi UCAV. Tak ada lagi latihan berkala yang harus diadakan. Artinya biaya latihan dan jam terbang pesawat juga berkurang. Hal ni berbuntut tak diperlukan lagi penyediaan suku cadang, bahan bakar, bahkan juga bengkel pemeliharaan.
UCAV baru dikeluarkan hanya dalam situasi perang saja. Alias selama masa damai perangkat itu nongkrong di gudang. Sedang untuk mengasah kemampuan sang pengendali, cukup dengan latihan di depan komputer saja."Tapi jangan khawatir, semuanya dirancang sesuai dengan medan sesungguhnya", ujar Greg Zwernemann dari Northrop Grumman.
Pengurangan pilot
UCAV VERSI LAUT - Pemburu tanpa awak bakalan juga dipakai oleh pihak AL Amerika./Foto:Lockheed Martin
Dibalik beberapa keuntungan, ada juga kelemahan UCAV. Menurut Armand Chaput, dari Lockheed Martin, pengem-bangan UCAV nantinya juga akan ber-dampak pada pengurangan jumlah pilot tempur aktif. Sebagai gambaran, saat ini perbandingan antara pilot dan pesawat tempur pada AU Amerika adalah 1 banding 3 sampai 1 banding 1. Bila UCAV nantinya jadi beroperasi, maka rasio ini akan berkurang. Alasannya satu orang operator dapat mengendalikan beberapa UCAV secara simultan. Paling tidak enam UCAV hanya cukup dikendalikan oleh satu orang saja. Ringkasnya, di masa datang mungkin populasi seorang pilot tempur kawakan dengan ribuan jam terbang akan berkurang.
Selain dari jumlah awak, beban kerja sebenarnya juga berkurang. Pasalnya, untuk tinggal landas, terbang mendekati sasaran, sampai mendarat ke pangkalan semula dilakukan secara otomatis. Pengendali baru berkeringat dingin saat harus menghancur-kan sasaran. Karena untuk urusan yang satu ini, keterlibatan manusia tetap diperlukan.
Sebenarnya Lockheed Martin punya alasan lain untuk mundur dalam program ini. Diduga USAF punya muatan lain dalam program pengembangan UCAV. Yaitu pengembangan untuk sebuah pesawat berawak dirasa terlalu mahal, sedang dana yang tersedia terbatas. Masih menurut Lockheed, UCAV sebenarnya memiliki kelas sendiri. Yaitu antara pesawat berawak dan rudal jelajah macam Tomahawk. Kesimpulannya, UCAV belum bisa dianggap menggantikan pesawat tempur berawak seratus persen.
Alasan lain adalah model operasi militer di masa datang yang dianggap belum akan berkembang. Gambarannya adalah Operasi Desert Fox pada Desember 1998. Operasi gabungan Inggris-Amerika ini menggunakan ratusan rudal jelajah untuk menghancurkan sasaran-sasaran berbahaya milik militer Irak. Alasannya waktu itu untuk mengurangi jatuhnya korban dari pihak AU. Operasi model begini dianggap akan bertahan pada pertempuran-pertempuran di masa datang.
Tapi yang jelas, walau program ini dicetuskan oleh AU namun sebenarnya AL -lah yang lebih siap menerima UCAV. Karena AL telah terbiasa memakai perangkat perang tanpa awak dengan skala besar. Contohnya adalah Tomahawk tadi. Bedanya adalah rudal jelajah itu tak kembali lagi kepangkalannya. Sementara pihak AU sendiri masih "polos" dalam urusan piranti-piranti tanpa awak.
UCAV TANPA AWAK - Dimasa datang menghantam sarang musuh bisa dilakukan oleh pesawat tanpa awak./Foto:Lockheed Martin
Setelah sibuk dengan pesawat siluman (stealth), kini giliran Pentagon menguji kelayakan model pesawat tempur tanpa awak. Basisnya tak lain adalah pesawat pengintai tanpa awak (UAV) yang pernah dipakai dalam Konflik Kosovo maupun Bosnia. Nantinya, wahana udara ini berfungsi sebagai penggempur sarang rudal anti pesawat (SAM) musuh. Atau dalam istilah militernya adalah Suppression of Enemy Air Defenses (SEAD).
Sebelum ide ini timbul, USAF (AU Amerika) sebenarnya telah menggunakan pesawat tempur yang dirancang khusus, yaitu F-4G Wild Weasel untuk tugas SEAD. Setelah Perang Teluk (1991), USAF kemudian memakai F-16 bersenjatakan rudal HARM sebagai generasi penerus F-4G. Namun banyak kalangan militer menyayangkan keputusan ini. Alasannya avionik F-16 dianggap kurang cocok untuk tugas SEAD.
Siluman kecil
UCAV, begitulah Pentagon menyebut nama penempur tanpa awak ini. Dari bahasa sononya adalah kepanjangan dari Uninhabited Combat Air Vehicles. "Wahana tempur udara tanpa awak", kalau diIndonesiakan. Tanpa harus ditunggangi pilot, UCAV nantinya dirancang berde-mensi kecil. Sekitar 40 persen dari ukuran F-16 Fighting Falcon atau F/A-18 Hornet yang ada sekarang. Kemampuan siluman juga bakal disandanganya. Untuk itu semua senjata disimpan dalam perutnya. Jadinya piranti ini sulit dideteksi dan dijatuhkan lawan. Tapi soal menghilang dari pandangan radar bukanlah harga mati. Bila sifat siluman tidak dibutuhkan, maka beberapa cantelan senjata bisa juga ditam-bahkan pada sayap.
Kelebihan lain, UCAV sanggup berlama-lama terbang mencari sasaran ketika radar lawan sedang dimatikan. Selanjutnya menghancurkan sasaran, saat piranti pengendus ini dinyalakan lagi. Hal ini rada beda bila menggunakan awak. Daya tahan seorang pilot yang terbatas bisa-bisa mempengaruhi kesuksesan jalannya sebuah operasi.
Lalu sekarang bagaimana cara meng-operasikannya? Jawabannya, cukup dari dalam sebuah ruang kendali. Tak perlu rumit-rumit. Lantaran situasi dalam ruang itu di masa datang dirancang hanya menyerupai susunan komputer pribadi, ketimbang sebuah kokpit pesawat asli. Sedang penempatannya tak harus pada truk trailer besar atau bunker yang rumit. Tapi bisa juga dengan pesawat-pesawat komando macam E-3 Sentry atau E-8 Joint STARS. Bahkan tak tertutup kemungkinan dari kursi belakang sebuah pesawat tempur pemandu.
Sepertiga JSF
Untuk menggelar program baru ini, Pentagon terpaksa harus merogoh kocek-nya sebesar 116 juta dollar AS. Ada empat pabrikan pesawat Amerika yang aktif dalam program pengembangan UCAV. Masing-masing adalah Boeing, Northrop, Grumman, dan Raytheon. Sedang Lockheed Martin mundur dalam kompetisi. Walau demikian produsen Hercules ini tetap mempertahankan tim pengembangan UCAV-nya. Selain berperan sebagai back-up bagi keempat pabrikan pertama, Lockheed sebenarnya mengincar pangsa pasar di luar Amerika.
Berbeda dengan Lockheed, sebelum ikut dalam program ini, Boeing sebenarnya telah melahirkan 40 macam purwarupa UCAV. Fleksibilitas dalam pemasangan senjata yang jadi andalan. Boeing mempertimbang-kan inventaris senjata USAF yang ada sekarang akan tetap digunakan sampai akhir tahun 2010.
Tapi rupanya Pentagon menginginkan hasilnya adalah berupa contoh UCAV siap operasional. Jadi bukan purwarupa (prototype). Diharapkan pada tahun 2002 contoh ini sudah dapat hadir. Bila telah mendapat lampu hijau, produksi masalpun segera dilakukan pada tahun itu juga. Satu unit UCAV dihargai sekitar 11 juta dollar AS. Atau hanya sepertiga dari harga satu unit JSF, penempur berawak yang bakalan memperkuat AU, AL, dan Marinir AS. Sebagai catatan, Program JSF sendiri se-benarnya telah ditekan seminimal mung-kin, dibandingkan dengan pengem-bangan pesawat tempur sebelumnya.
Itu baru soal harga perangkatnya. Biaya operasional dan sarana pendukung juga dinilai lebih murah. Sebagai gambaran, pada jet tempur konvensional seorang pilot diwajibkan berlatih secara berkala. Alasan-nya untuk menjaga kelihaian sang pilot. Tapi ini tak berlaku bagi UCAV. Tak ada lagi latihan berkala yang harus diadakan. Artinya biaya latihan dan jam terbang pesawat juga berkurang. Hal ni berbuntut tak diperlukan lagi penyediaan suku cadang, bahan bakar, bahkan juga bengkel pemeliharaan.
UCAV baru dikeluarkan hanya dalam situasi perang saja. Alias selama masa damai perangkat itu nongkrong di gudang. Sedang untuk mengasah kemampuan sang pengendali, cukup dengan latihan di depan komputer saja."Tapi jangan khawatir, semuanya dirancang sesuai dengan medan sesungguhnya", ujar Greg Zwernemann dari Northrop Grumman.
Pengurangan pilot
UCAV VERSI LAUT - Pemburu tanpa awak bakalan juga dipakai oleh pihak AL Amerika./Foto:Lockheed Martin
Dibalik beberapa keuntungan, ada juga kelemahan UCAV. Menurut Armand Chaput, dari Lockheed Martin, pengem-bangan UCAV nantinya juga akan ber-dampak pada pengurangan jumlah pilot tempur aktif. Sebagai gambaran, saat ini perbandingan antara pilot dan pesawat tempur pada AU Amerika adalah 1 banding 3 sampai 1 banding 1. Bila UCAV nantinya jadi beroperasi, maka rasio ini akan berkurang. Alasannya satu orang operator dapat mengendalikan beberapa UCAV secara simultan. Paling tidak enam UCAV hanya cukup dikendalikan oleh satu orang saja. Ringkasnya, di masa datang mungkin populasi seorang pilot tempur kawakan dengan ribuan jam terbang akan berkurang.
Selain dari jumlah awak, beban kerja sebenarnya juga berkurang. Pasalnya, untuk tinggal landas, terbang mendekati sasaran, sampai mendarat ke pangkalan semula dilakukan secara otomatis. Pengendali baru berkeringat dingin saat harus menghancur-kan sasaran. Karena untuk urusan yang satu ini, keterlibatan manusia tetap diperlukan.
Sebenarnya Lockheed Martin punya alasan lain untuk mundur dalam program ini. Diduga USAF punya muatan lain dalam program pengembangan UCAV. Yaitu pengembangan untuk sebuah pesawat berawak dirasa terlalu mahal, sedang dana yang tersedia terbatas. Masih menurut Lockheed, UCAV sebenarnya memiliki kelas sendiri. Yaitu antara pesawat berawak dan rudal jelajah macam Tomahawk. Kesimpulannya, UCAV belum bisa dianggap menggantikan pesawat tempur berawak seratus persen.
Alasan lain adalah model operasi militer di masa datang yang dianggap belum akan berkembang. Gambarannya adalah Operasi Desert Fox pada Desember 1998. Operasi gabungan Inggris-Amerika ini menggunakan ratusan rudal jelajah untuk menghancurkan sasaran-sasaran berbahaya milik militer Irak. Alasannya waktu itu untuk mengurangi jatuhnya korban dari pihak AU. Operasi model begini dianggap akan bertahan pada pertempuran-pertempuran di masa datang.
Tapi yang jelas, walau program ini dicetuskan oleh AU namun sebenarnya AL -lah yang lebih siap menerima UCAV. Karena AL telah terbiasa memakai perangkat perang tanpa awak dengan skala besar. Contohnya adalah Tomahawk tadi. Bedanya adalah rudal jelajah itu tak kembali lagi kepangkalannya. Sementara pihak AU sendiri masih "polos" dalam urusan piranti-piranti tanpa awak.