nurcahyo
New member
Mubyarto
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI KOTA CILEGON
I. Kemiskinan Penduduk
Diantara 4 Kecamatan di Kota Cilegon tingkat kemiskinan, yaitu rasio jumlah keluarga pra KS dan KS I dari total KK adalah sebagai berikut:
Jika PDRB per kapita Kota Cilegon tahun 2001 mencapai Rp 25,5 juta yang tumbuh rata-rata 13,5% per tahun selama 1999-2001, kiranya sukar dimengerti jika masih ada penduduk yang hidup miskin. Jika garis kemiskinan Kota Cilegon adalah kira-kira Rp 150.000 per bulan, maka PDRB per kapita Rp 2,13 per bulan jelas sekali lebih tinggi disbanding garis kemiskinan.
Namun disinilah letak masalah yang kita hadapi. Terbukti PDRB per kapita tidak dapat dijadikan ukuran kemakmuran penduduknya karena harus diketahui bagaimana pembagian PDRB atau pendapatan regional dibagi kepada penduduknya.Selain itu, PDRB yang merupakan nilai total barang yang diproduksi suatu daerah dalam 1 tahun belum tentu barang dan jasa tersebut dinikmati penduduk setempat karena modal/investasi khususnya di sektor pengolahan (manufaktur) berasal dari luar daerah, maka setiap tahun kecenderungan dari investasi tersebut juga dibawa ke luar di kirimkan kepada pemilik perusahaan yang bersangkutan.
II. Struktur Ekonomi
Tabel 2 menunjukkan bahwa Kota Cilegon adalah kota industri sehingga 64% PDRB disumbang oleh sektor industri pengolahan yang didukung oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran (11,1%) dan listrik, gas, dan air minum (10,2%). Ketiga sektor ini saja sudah menyumbang 85,3% dari total PDRB. Sektor listrik yang mendukung langsung industri pengolahan meningkat 37% per tahun (1999-2001).
Yang menarik, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan selama 1999-2001 mengalami pergeseran penting. Krisis moneter dan krisis perbankan ternyata mengakibatkan peranan lembaga bank banyak menciut dan sektor keuangan non-bank menjadi sangat penting. Kalau pada tahun 1999, sektor keuangan non-bank hanya 27% dari total keuangan bank dan non-bank, pada tahun 2001 meningkat menjadi 98%. Secara keseluruhan peranan sumbangan sektor keuangan menurun dari Rp 47,3 milyar tahun 1999 menjadi hanya Rp 21,4 milyar tahun 2001 atau kurang dari separo. Sumbangan sektoral terbesar pada pertumbuhan PDRB adalah sektor listrik, gas, dan air minum (22%), sedangkan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan ?3,1%.
Secara keseluruhan PDRB Cilegon selama 1999-2001 sudah tumbuh rata-rata 5,79% dan tahun 2001 bahkan sudah 7,43%, dua kali lebih tinggi angka pertumbuhan rata-rata nasional.
III. Pemberdayaan Masyarakat
Jika pertemuan sekarang ini merubah kesepakatan tentang program kemitraan dan program Bina Lingkungan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka hendaknya dipahami bahwa program-program yang demikian mengangkat program-program penanggulangan kemiskinan. Karena penduduk yang miskin adalah mereka yang belum memperoleh tingkat kesejahteraan yang ?manusiawi?, maka mereka adalah juga bagian masyarakat yang belum memperoleh keadilan sosial.
Program penanggulangan kemiskinan pertama yang bersifat nasional adalah program IDT yang mengerahkan dana APBN melebihi Rp 2 trilyun selama 1994-1997 yang disalurkan sebagai dana bergulir khusus bagi penduduk miskin. Inilah program yang disebut ?program penanggulangan kemiskinan bersasaran? (PPKB) yang diusahakan harus tidak menyimpang dari sasaran yang telah ditetapkan. Keberhasilan program IDT sampai Oktober 1997 telah disurvei oleh BPS dengan hasil-hasil sebagai berikut (Tabel 3):
Dari tabel tersebut terlihat jelas perbedaan tingkat keberhasilan program IDT di berbagai daerah. Di Propinsi DIY yang keberhasilannya paling tinggi di Indonesia (90%). Sampai sekarang masih banyak Pokmas IDT yang dananya bergulir dan membuat masyarakat/penduduk miskin hidup tenteram karena memiliki dan menguasai tempat untuk ?nyebrak? pinjaman kalau keadaan mendesak.
Program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan laba BUMN tidak sulit untuk dimanfaatkan dan dikelola dengan cara yang sama dengan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada penduduk miskin dengan pendampingan. Dana pendampingan dan pelatihan pendampingan inilah yang perlu dipenuhi/disediakan lebih dulu oleh Pemda Kabupaten/Kota.
IV.
Dalam otonomi daerah dan sistem pemerintahan yang desentralistis, program penanggulangan kemiskinan adalah ?urusan daerah? dengan berbagai prakarsa harus diambil oleh daerah sendiri. Namun yang perlu diperhatikan Pemda, seyogyanya tidak khawatir mengenai kemampuan penduduk miskin sendiri mengelola dana yang dipercayakan dan dijadikan milik mereka. Jika selama 30 tahun Orde Baru ada suasana pengaturan pengelolaan yang sentralistik, maka dalam system ekonomi kerakyatan penduduk miskin itu sendiri yang harus dipercaya mengelolanya. Adalah tidak benar menuduh penduduk miskin orang-orang yang bodoh dan malas. Mereka penduduk miskin adalah pekerja keras yang sangat mengerti apa yang harus dilakukannya untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang menjeratnya. Adalah tugas Pemda untuk membantu meraka dan bukan untuk ?mengatur? mereka.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI KOTA CILEGON
I. Kemiskinan Penduduk
Diantara 4 Kecamatan di Kota Cilegon tingkat kemiskinan, yaitu rasio jumlah keluarga pra KS dan KS I dari total KK adalah sebagai berikut:
Jika PDRB per kapita Kota Cilegon tahun 2001 mencapai Rp 25,5 juta yang tumbuh rata-rata 13,5% per tahun selama 1999-2001, kiranya sukar dimengerti jika masih ada penduduk yang hidup miskin. Jika garis kemiskinan Kota Cilegon adalah kira-kira Rp 150.000 per bulan, maka PDRB per kapita Rp 2,13 per bulan jelas sekali lebih tinggi disbanding garis kemiskinan.
Namun disinilah letak masalah yang kita hadapi. Terbukti PDRB per kapita tidak dapat dijadikan ukuran kemakmuran penduduknya karena harus diketahui bagaimana pembagian PDRB atau pendapatan regional dibagi kepada penduduknya.Selain itu, PDRB yang merupakan nilai total barang yang diproduksi suatu daerah dalam 1 tahun belum tentu barang dan jasa tersebut dinikmati penduduk setempat karena modal/investasi khususnya di sektor pengolahan (manufaktur) berasal dari luar daerah, maka setiap tahun kecenderungan dari investasi tersebut juga dibawa ke luar di kirimkan kepada pemilik perusahaan yang bersangkutan.
II. Struktur Ekonomi
Tabel 2 menunjukkan bahwa Kota Cilegon adalah kota industri sehingga 64% PDRB disumbang oleh sektor industri pengolahan yang didukung oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran (11,1%) dan listrik, gas, dan air minum (10,2%). Ketiga sektor ini saja sudah menyumbang 85,3% dari total PDRB. Sektor listrik yang mendukung langsung industri pengolahan meningkat 37% per tahun (1999-2001).
Yang menarik, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan selama 1999-2001 mengalami pergeseran penting. Krisis moneter dan krisis perbankan ternyata mengakibatkan peranan lembaga bank banyak menciut dan sektor keuangan non-bank menjadi sangat penting. Kalau pada tahun 1999, sektor keuangan non-bank hanya 27% dari total keuangan bank dan non-bank, pada tahun 2001 meningkat menjadi 98%. Secara keseluruhan peranan sumbangan sektor keuangan menurun dari Rp 47,3 milyar tahun 1999 menjadi hanya Rp 21,4 milyar tahun 2001 atau kurang dari separo. Sumbangan sektoral terbesar pada pertumbuhan PDRB adalah sektor listrik, gas, dan air minum (22%), sedangkan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan ?3,1%.
Secara keseluruhan PDRB Cilegon selama 1999-2001 sudah tumbuh rata-rata 5,79% dan tahun 2001 bahkan sudah 7,43%, dua kali lebih tinggi angka pertumbuhan rata-rata nasional.
III. Pemberdayaan Masyarakat
Jika pertemuan sekarang ini merubah kesepakatan tentang program kemitraan dan program Bina Lingkungan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, maka hendaknya dipahami bahwa program-program yang demikian mengangkat program-program penanggulangan kemiskinan. Karena penduduk yang miskin adalah mereka yang belum memperoleh tingkat kesejahteraan yang ?manusiawi?, maka mereka adalah juga bagian masyarakat yang belum memperoleh keadilan sosial.
Program penanggulangan kemiskinan pertama yang bersifat nasional adalah program IDT yang mengerahkan dana APBN melebihi Rp 2 trilyun selama 1994-1997 yang disalurkan sebagai dana bergulir khusus bagi penduduk miskin. Inilah program yang disebut ?program penanggulangan kemiskinan bersasaran? (PPKB) yang diusahakan harus tidak menyimpang dari sasaran yang telah ditetapkan. Keberhasilan program IDT sampai Oktober 1997 telah disurvei oleh BPS dengan hasil-hasil sebagai berikut (Tabel 3):
Dari tabel tersebut terlihat jelas perbedaan tingkat keberhasilan program IDT di berbagai daerah. Di Propinsi DIY yang keberhasilannya paling tinggi di Indonesia (90%). Sampai sekarang masih banyak Pokmas IDT yang dananya bergulir dan membuat masyarakat/penduduk miskin hidup tenteram karena memiliki dan menguasai tempat untuk ?nyebrak? pinjaman kalau keadaan mendesak.
Program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan laba BUMN tidak sulit untuk dimanfaatkan dan dikelola dengan cara yang sama dengan dengan menyerahkan sepenuhnya kepada penduduk miskin dengan pendampingan. Dana pendampingan dan pelatihan pendampingan inilah yang perlu dipenuhi/disediakan lebih dulu oleh Pemda Kabupaten/Kota.
IV.
Dalam otonomi daerah dan sistem pemerintahan yang desentralistis, program penanggulangan kemiskinan adalah ?urusan daerah? dengan berbagai prakarsa harus diambil oleh daerah sendiri. Namun yang perlu diperhatikan Pemda, seyogyanya tidak khawatir mengenai kemampuan penduduk miskin sendiri mengelola dana yang dipercayakan dan dijadikan milik mereka. Jika selama 30 tahun Orde Baru ada suasana pengaturan pengelolaan yang sentralistik, maka dalam system ekonomi kerakyatan penduduk miskin itu sendiri yang harus dipercaya mengelolanya. Adalah tidak benar menuduh penduduk miskin orang-orang yang bodoh dan malas. Mereka penduduk miskin adalah pekerja keras yang sangat mengerti apa yang harus dilakukannya untuk melepaskan diri dari kemiskinan yang menjeratnya. Adalah tugas Pemda untuk membantu meraka dan bukan untuk ?mengatur? mereka.
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.