nurcahyo
New member
MENCERMATI PENYEBAB RONTOKNYA BURUNG BESI
Gambar pesawat Ada kata bijak di kalangan penerbangan, "Walau angkasa amat luas, tak tersedia ruang sempit sedikit pun untuk peluang akan suatu kekeliruan." Namun, kejadian akhir-akhir ini perlu dijadikan titik balik untuk merenungkan kembali kata bijak tersebut. Apa lagi kesalahan itu lebih banyak dilakukan oleh manusia. Berikut penuturan dr. Suryanto tentang peranan manusia dalam musibah penerbangan.
Dunia penerbangan sebenarnya belumlah berusia lama. Jika menengok pada keberhasilan Wright bersaudara - yang "sudah" mampu menerbangkan pesawatnya setinggi 9 m, sejauh 300 m, dan selama 12 detik - maka dunia penerbangan baru berumur 94 tahun. Belum genap seabad.
Namun kalau dilihat lebih jauh lagi, obsesi untuk bisa terbang seperti burung di udara telah berkecamuk di benak manusia jauh sebelum itu. Setidaknya dalam legenda Yunani diceritakan tentang Icarus yang telah berhasil terbang dengan sayap. Sayang, egonya membuat lilin perekat bulu sayapnya meleleh. Jatuhlah ia ke laut.
Itu dulu. Namun, dalam tingkat kemajuan teknologi aviasi seperti yang sudah dicapai sekarang pun masih saja terselip kemungkinan, betapapun kecilnya, untuk terjadinya kecelakaan penerbangan.
2/3 faktor manusia
Dalam dunia penerbangan terkait tiga hal: keamanan, keselamatan, dan musibah (kecelakaan). Menurunnya keamanan dan atau keselamatan dapat mengundang kecelakaan penerbangan. Pembajakan pesawat terbang Vickers Viscount PK-MVM Merpati (1972) serta DC-9 Woyla milik Garuda, meledaknya Hercules C-130 pesawat Kepresidenan Pakistan AF-1 (1987), dan terbakarnya bagasi Fokker-28 Merpati di Surabaya merupakan sebagian contoh kecelakaan berlatar belakang keamanan pesawat.
Sedangkan jatuhnya pesawat haji Indonesia DC-8 milik Loft Leider di Sri Lanka (1978), kecelakaan HS-748 Airfast di Gunung Sangkaraeng, Lombok (1990), NC-212 Merpati PK-NCY di lereng Gunung Tihengo (1991), Fokker F-27 Merpati PK-MSD di Gunung Klabat (1991), serta Fokker F-27 Sempati Air di Surabaya (1991) adalah contoh musibah berlatar belakang keselamatan terbang.
Boeing 747 TWA.
Boeing 747 TWA yang hancur berkeping-keping
akibat ledakan dalam tangki
bahan bakar bagian tengah.
(Foto: Repro)
Namun menyusuri penyebab tak aman dan tak selamatnya pesawat tidak mudah. Musibah penerbangan selalu berlatar belakang multifaktor. Menurut FAA, penyebab kecelakaan penerbangan ada tiga, faktor cuaca (13,2%), pesawat terbang (27,1%), dan manusia (66,7%). Manusia memang potensial menjadi pemicu. Ada banyak hal yang melatarbelakanginya, entah kesalahpahaman, kelelahan mental, kurangnya pengalaman, maupun masalah budaya.
Sebagai contoh kecelakaan jatuhnya pesawat terbang bermesin propeller ketika akan melakukan pendaratan. Tiba-tiba mesin sebelah kanan mati ketika pesawat terbang melakukan final-approach, 2 km dari ujung landasan. Ketinggian pesawat saat itu sekitar 1.000 kaki (? 300 m). Pesawat diterbangkan oleh pilot dan kopilot bertugas sebagai pendukung dengan melakukan pekerjaan khusus, semisal membacakan urutan pendaratan.
Ketika mesin mati, kapten memerintahkan kopilotnya untuk mengatasi mesin tersebut. Ada istilah pengecekan bagian mesin yang rusak. Rupanya karena begitu tegang atau mungkin kurang terampil, kopilot salah menafsirkan perintah kapten dengan melakukan pengecekan tindakan yang lain sama sekali. Sang kapten pun tak menyadari kesalahan kopilot.
Akibatnya fatal! Pesawat justru menjadi terbang lebih rendah, kehilangan tenaga, dan sulit untuk dikoreksi lagi. Akhirnya, pesawat terjerambap dengan keras di perkebunan kelapa sawit. Lima belas penumpang dan awak pesawatnya meninggal. Beberapa penumpang selamat walau cedera.
Budaya berpengaruh
Dari kejadian itu terlihat, ada serangkaian mata rantai kesalahan akibat faktor manusia. Pesawat terbang yang mesinnya mati ternyata sudah beberapa kali dikeluhkan oleh penerbangnya. Teknisinya pun mengeluh tentang keterlambatan penggantian suku cadang. Keadaan ini membuat suasana terbang bagi sang pilot terasa mencekam. Dari istri sang pilot didapat keterangan, suaminya sering melamun setelah beberapa hari sebelumnya bercerita tentang kondisi pesawatnya yang sering kurang prima.
Pasangan kapten-kopilot tersebut juga terlihat kurang serasi. Ada jurang pengalaman antara pilot (merangkap instruktur dan chief-pilot) yang memiliki jam terbang lebih dari 5.000 jam dan kopilot yang masih hijau. Dengan begitu kopilot amat rawan dalam membuat kesalahan. Di sisi lain, pilot tersebut berkepribadian humanistik atau terlalu baik, karena tidak tega terlalu mengoreksi kesalahan kopilotnya. Inilah yang disebut trans-cockpit authority gradient yang terlalu curam, too steep, alias bukan suatu pasangan pilot-kopilot yang ideal.
Menerbangkan pesawat yang diawali rasa murung, khawatir, dan takut akan kondisi kemulusan pesawatnya pada diri seorang pilot juga merupakan suatu kendala sendiri. Rasa percaya diri yang kurang akan mendorong terjadinya situasi yang menjurus ke perbuatan errors. Walau pesawat telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini maupun alat pengingat berbunyi (warning horn), ternyata kesalahan masih saja tidak disadari dengan cepat. Jika kesalahan tersebut sudah terlambat dia sadari, maka akibat fatal yang akan terjadi.
Kecelakaan besar lainnya adalah tabrakan darat antara dua pesawat jumbo jet yang mengakibatkan korban tewas lebih dari 500 orang di landasan Bandara Tananarive di Kepulauan Atlantik tropis. Kesalahan itu adalah jelas faktor manusia, sebab salah satu kapten yang akan lepas landas tak mengindahkan perintah untuk menunggu dari menara pengawas. Akibatnya, pesawatnya yang siap-siap menggelinding di landasan untuk lepas landas bertabrakan dengan pesawat jumbo lainnya yang sedang mendarat.
Masalah budaya kedua pilot yang sedang mengoperasikan pesawat dari kokpit pernah mengakibatkan korban sejumlah 123 jiwa meninggal. Air Florida yang terjun di Sungai Potomac di tengah Kota Washington pada 1986 disebabkan oleh fakta bahwa peringatan kopilot (berkebangsaan Jepang) tentang terjadinya gumpalan es di sayap pesawatnya tidak digubris oleh si kapten (berkebangsaan Amerika) yang sedang menerbangkannya. Karena kesopanan Timur, kopilot tak berani memperingatkan kaptennya sekali lagi. Padahal prosedur itu ada, yakni pengulangan peringatan.
Dalam peristiwa itu kedua pilot dan seluruh penumpangnya tewas ketika pesawat tak dapat naik sewaktu lepas landas dengan pinggiran sayap penuh lapisan dan gumpalan es di musim salju Washington D.C.
Pilot bukan satu-satunya
Dalam perjalanannya, dunia penerbangan tak sesederhana ketika Wright mengudara. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Alat terbang itu harus selalu dapat bertahan melawan gaya tarik (gravitasi) bumi. Cuaca, angin, dan medan yang diarungi harus tidak menjadi pengalang serius.
Pilot berdiskusi.
Pilot harus mampu berperilaku efektif yakni
cepat tanggap, terampil, dan bertindak dengan
"memori" ketika menghadapi keadaan darurat.
(Foto: Repro)
Yang terakhir, namun justru terpenting, adalah manusia yang menerbangkan pesawat itu. Ia harus cekatan, tepat, dan cermat. Dengan kata lain, technical skill dan airmanship harus dimiliki secara sempurna.
Angka kecelakaan penerbangan karena kesalahan manusia memang tinggi dan cenderung menetap meski upaya telah banyak dilakukan. Dulu penyebab faktor ini sering disebut pilot error, karena pilotlah yang bertanggung jawab atas keselamatan dalam mengoperasikan pesawatnya. Disadari istilah ini ternyata tidak tepat. Bukankah penerbangan pesawat melibatkan banyak pihak?
Pada tahun 1973, Edward meletakkan dasar konsep faktor-faktor manusia (human factor). Menurut dia, penerbangan adalah acuan dari faktor keberhasilan mesin (hardware/pesawat terbang), sarana petunjuk pengoperasian (software), dan lingkungan penerbangan environment). Konsep ini disempurnakan oleh Frans Hawkin, seorang kapten pilot dan juga psikolog. Ia memperkenalkan istilah SHELL: S (software), H (hardware), E (environment), L (liveware), L (liveware).
Keempat huruf yang mewakili istilah tersebut menyatu secara terpadu, di mana L pertama (pilot) menjadi intinya. Dikatakan inti karena pilot adalah manusia yang dapat dibentuk, dibina, disempurnakan sehingga dapat mendukung terjadinya keselamatan penerbangan. L kedua adalah awak kabin/pramugari, penumpang, perancang pesawat, dll.
Sebenarnya inti dasar pengertian human factor sudah berawal jauh dalam sejarah. Pegangan kapak sebagai alat pemotong yang disesuaikan dengan bentuk genggaman tangan merupakan awal sejarah ergonomi kerja yang memperhitungkan faktor manusia, sehingga dapat difungsikan dengan mudah dan efektif. Dalam dunia penerbangan ergonomi bisa dilihat dalam antropometri, misalnya, yang memudahkan pekerjaan pilot di kokpit. Rancangan tempat duduk yang dibuat sebegitu rupa memudahkan pilot dalam pengoperasian peralatan terbang. Juga pengaturan tuas dan pedal atau penampilan alat baca instrumen yang secara cepat dapat memberi informasi.
Dalam industri pesawat terbang dan transportasi udara konsep SHELL selalu diperhitungkan. Faktor manusia sekarang bukanlah semata-mata pilot belaka. Perancang pesawat terbang, pembuat tatalaksana operasional penerbangan, pengelola operasi penerbangan, maupun penyedia katering adalah manusia-manusia yang ikut berperan dan bertanggung jawab atas keberhasilan penerbangan yang aman dan nyaman. Keselamatan penerbangan mulai dilihat lebih luas dan nyata wawasannya.
Umur penerbang enam bulan
Penerbang sebagai manusia biasa memiliki watak dasar dan pola perilaku. Lingkungan penerbangan telah terkondisikan pada pendidikan, latihan, serta pengalaman terbang. Penerbangan secara khas memperlihatkan tahapan-tahapan yang menunjukkan elemen-elemen kritis di dalamnya. Sebagai contoh, tahap lepas landas dan mendarat merupakan penerbangan normal tapi justru berisiko tinggi. Kecelakaan penerbangan sewaktu mendarat merupakan yang terbesar, 56%. Sedangkan sewaktu lepas landas lebih rendah, yakni 38%. Di kala cruising, tercatat hanya 6%.
Melihat rawannya tahap-tahap penerbangan, maka penerbang dituntut berperilaku efektif, yakni cepat tanggap, terampil, teliti, dan bertindak dengan "memori" ketika menghadapi keadaan darurat. Juga dituntut memiliki keberanian dan perilaku untuk menaklukan tantangan. Kepribadian penerbang yang benar adalah aggressive masculin personality, seperti digambarkan di atas.
Selain itu fisik dan mental prima harus dimiliki penerbang. Kesehatan ini dicek setiap enam bulan. Bila dalam pemeriksaan berkala terlihat adanya penurunan atau gangguan, penerbang yang bersangkutan dapat terkena larangan terbang (grounded). Juga perlu dicek profisiensi keterampilannya. Pengecekan berkala enam bulan sekali dilakukan melalui simulator ataupun actual flight. Oleh sebab itu tak keliru kalau umur penerbang dikatakan hanya enam bulan.
Perilaku tidak efektif bisa menjurus ke tindakan error. Semisal self inflicting disease atau penyakit yang dibuat sendiri. Seorang penerbang yang sengaja begadang, tidak istirahat menjelang terbang pagi harinya, minum alkohol atau obat-obat psikopatik adalah beberapa contoh self inflicting disease. Makan berlebihan, merokok, atau melakukan kebiasaan buruk lainnya juga amat mengganggu stabilitas mental pilot.
Sulit adaptasi terhadap stres, sukar berkomunikasi antarmanusia yang baik pun amat menghambat kerja pilot. Penerbang transpor selalu bekerja dalam tim. Keberhasilan penerbangan adalah produk dari tim awak pesawat, termasuk awak kabin dan pramugari. Penerbang yang antisosial, egoistis, obsesif, atau kompulsif, dan tak dapat mengendalikan emosinya sehingga labil tentunya dekat dengan kecelakaan. Salah satu modal terpenting untuk setiap penerbang adalah sikap mental dewasa yang penuh kepedulian. Situasional awareness merupakan bagian tak terpisahkan dari perilaku penerbang yang baik.
Melihat itu, konsep SHELL selalu harus terpadu. Interaksi setiap komponen manusia-mesin-lingkungan-software tak dapat ditawar lagi. Walau industri transportasi udara dikatakan sebagai sarana pengangkutan teraman bila dibandingkan dengan sarana lainnya (transportasi darat dan laut), faktor manusia masih cukup menonjol atau sentral untuk digarap, sehingga kecelakaan penerbangan akan dapat ditekan lagi.
Mewujudkan zerro accident dalam dunia penerbangan masihlah tinggal dalam ilusi. Namun setidaknya, kita jangan terlalu sering dikejutkan dengan berita-berita kecelakaan penerbangan seperti akhir-akhir ini. (Penulis adalah dokter penerbangan)
Gambar pesawat Ada kata bijak di kalangan penerbangan, "Walau angkasa amat luas, tak tersedia ruang sempit sedikit pun untuk peluang akan suatu kekeliruan." Namun, kejadian akhir-akhir ini perlu dijadikan titik balik untuk merenungkan kembali kata bijak tersebut. Apa lagi kesalahan itu lebih banyak dilakukan oleh manusia. Berikut penuturan dr. Suryanto tentang peranan manusia dalam musibah penerbangan.
Dunia penerbangan sebenarnya belumlah berusia lama. Jika menengok pada keberhasilan Wright bersaudara - yang "sudah" mampu menerbangkan pesawatnya setinggi 9 m, sejauh 300 m, dan selama 12 detik - maka dunia penerbangan baru berumur 94 tahun. Belum genap seabad.
Namun kalau dilihat lebih jauh lagi, obsesi untuk bisa terbang seperti burung di udara telah berkecamuk di benak manusia jauh sebelum itu. Setidaknya dalam legenda Yunani diceritakan tentang Icarus yang telah berhasil terbang dengan sayap. Sayang, egonya membuat lilin perekat bulu sayapnya meleleh. Jatuhlah ia ke laut.
Itu dulu. Namun, dalam tingkat kemajuan teknologi aviasi seperti yang sudah dicapai sekarang pun masih saja terselip kemungkinan, betapapun kecilnya, untuk terjadinya kecelakaan penerbangan.
2/3 faktor manusia
Dalam dunia penerbangan terkait tiga hal: keamanan, keselamatan, dan musibah (kecelakaan). Menurunnya keamanan dan atau keselamatan dapat mengundang kecelakaan penerbangan. Pembajakan pesawat terbang Vickers Viscount PK-MVM Merpati (1972) serta DC-9 Woyla milik Garuda, meledaknya Hercules C-130 pesawat Kepresidenan Pakistan AF-1 (1987), dan terbakarnya bagasi Fokker-28 Merpati di Surabaya merupakan sebagian contoh kecelakaan berlatar belakang keamanan pesawat.
Sedangkan jatuhnya pesawat haji Indonesia DC-8 milik Loft Leider di Sri Lanka (1978), kecelakaan HS-748 Airfast di Gunung Sangkaraeng, Lombok (1990), NC-212 Merpati PK-NCY di lereng Gunung Tihengo (1991), Fokker F-27 Merpati PK-MSD di Gunung Klabat (1991), serta Fokker F-27 Sempati Air di Surabaya (1991) adalah contoh musibah berlatar belakang keselamatan terbang.
Boeing 747 TWA.
Boeing 747 TWA yang hancur berkeping-keping
akibat ledakan dalam tangki
bahan bakar bagian tengah.
(Foto: Repro)
Namun menyusuri penyebab tak aman dan tak selamatnya pesawat tidak mudah. Musibah penerbangan selalu berlatar belakang multifaktor. Menurut FAA, penyebab kecelakaan penerbangan ada tiga, faktor cuaca (13,2%), pesawat terbang (27,1%), dan manusia (66,7%). Manusia memang potensial menjadi pemicu. Ada banyak hal yang melatarbelakanginya, entah kesalahpahaman, kelelahan mental, kurangnya pengalaman, maupun masalah budaya.
Sebagai contoh kecelakaan jatuhnya pesawat terbang bermesin propeller ketika akan melakukan pendaratan. Tiba-tiba mesin sebelah kanan mati ketika pesawat terbang melakukan final-approach, 2 km dari ujung landasan. Ketinggian pesawat saat itu sekitar 1.000 kaki (? 300 m). Pesawat diterbangkan oleh pilot dan kopilot bertugas sebagai pendukung dengan melakukan pekerjaan khusus, semisal membacakan urutan pendaratan.
Ketika mesin mati, kapten memerintahkan kopilotnya untuk mengatasi mesin tersebut. Ada istilah pengecekan bagian mesin yang rusak. Rupanya karena begitu tegang atau mungkin kurang terampil, kopilot salah menafsirkan perintah kapten dengan melakukan pengecekan tindakan yang lain sama sekali. Sang kapten pun tak menyadari kesalahan kopilot.
Akibatnya fatal! Pesawat justru menjadi terbang lebih rendah, kehilangan tenaga, dan sulit untuk dikoreksi lagi. Akhirnya, pesawat terjerambap dengan keras di perkebunan kelapa sawit. Lima belas penumpang dan awak pesawatnya meninggal. Beberapa penumpang selamat walau cedera.
Budaya berpengaruh
Dari kejadian itu terlihat, ada serangkaian mata rantai kesalahan akibat faktor manusia. Pesawat terbang yang mesinnya mati ternyata sudah beberapa kali dikeluhkan oleh penerbangnya. Teknisinya pun mengeluh tentang keterlambatan penggantian suku cadang. Keadaan ini membuat suasana terbang bagi sang pilot terasa mencekam. Dari istri sang pilot didapat keterangan, suaminya sering melamun setelah beberapa hari sebelumnya bercerita tentang kondisi pesawatnya yang sering kurang prima.
Pasangan kapten-kopilot tersebut juga terlihat kurang serasi. Ada jurang pengalaman antara pilot (merangkap instruktur dan chief-pilot) yang memiliki jam terbang lebih dari 5.000 jam dan kopilot yang masih hijau. Dengan begitu kopilot amat rawan dalam membuat kesalahan. Di sisi lain, pilot tersebut berkepribadian humanistik atau terlalu baik, karena tidak tega terlalu mengoreksi kesalahan kopilotnya. Inilah yang disebut trans-cockpit authority gradient yang terlalu curam, too steep, alias bukan suatu pasangan pilot-kopilot yang ideal.
Menerbangkan pesawat yang diawali rasa murung, khawatir, dan takut akan kondisi kemulusan pesawatnya pada diri seorang pilot juga merupakan suatu kendala sendiri. Rasa percaya diri yang kurang akan mendorong terjadinya situasi yang menjurus ke perbuatan errors. Walau pesawat telah dilengkapi dengan sistem peringatan dini maupun alat pengingat berbunyi (warning horn), ternyata kesalahan masih saja tidak disadari dengan cepat. Jika kesalahan tersebut sudah terlambat dia sadari, maka akibat fatal yang akan terjadi.
Kecelakaan besar lainnya adalah tabrakan darat antara dua pesawat jumbo jet yang mengakibatkan korban tewas lebih dari 500 orang di landasan Bandara Tananarive di Kepulauan Atlantik tropis. Kesalahan itu adalah jelas faktor manusia, sebab salah satu kapten yang akan lepas landas tak mengindahkan perintah untuk menunggu dari menara pengawas. Akibatnya, pesawatnya yang siap-siap menggelinding di landasan untuk lepas landas bertabrakan dengan pesawat jumbo lainnya yang sedang mendarat.
Masalah budaya kedua pilot yang sedang mengoperasikan pesawat dari kokpit pernah mengakibatkan korban sejumlah 123 jiwa meninggal. Air Florida yang terjun di Sungai Potomac di tengah Kota Washington pada 1986 disebabkan oleh fakta bahwa peringatan kopilot (berkebangsaan Jepang) tentang terjadinya gumpalan es di sayap pesawatnya tidak digubris oleh si kapten (berkebangsaan Amerika) yang sedang menerbangkannya. Karena kesopanan Timur, kopilot tak berani memperingatkan kaptennya sekali lagi. Padahal prosedur itu ada, yakni pengulangan peringatan.
Dalam peristiwa itu kedua pilot dan seluruh penumpangnya tewas ketika pesawat tak dapat naik sewaktu lepas landas dengan pinggiran sayap penuh lapisan dan gumpalan es di musim salju Washington D.C.
Pilot bukan satu-satunya
Dalam perjalanannya, dunia penerbangan tak sesederhana ketika Wright mengudara. Banyak faktor yang harus diperhatikan. Alat terbang itu harus selalu dapat bertahan melawan gaya tarik (gravitasi) bumi. Cuaca, angin, dan medan yang diarungi harus tidak menjadi pengalang serius.
Pilot berdiskusi.
Pilot harus mampu berperilaku efektif yakni
cepat tanggap, terampil, dan bertindak dengan
"memori" ketika menghadapi keadaan darurat.
(Foto: Repro)
Yang terakhir, namun justru terpenting, adalah manusia yang menerbangkan pesawat itu. Ia harus cekatan, tepat, dan cermat. Dengan kata lain, technical skill dan airmanship harus dimiliki secara sempurna.
Angka kecelakaan penerbangan karena kesalahan manusia memang tinggi dan cenderung menetap meski upaya telah banyak dilakukan. Dulu penyebab faktor ini sering disebut pilot error, karena pilotlah yang bertanggung jawab atas keselamatan dalam mengoperasikan pesawatnya. Disadari istilah ini ternyata tidak tepat. Bukankah penerbangan pesawat melibatkan banyak pihak?
Pada tahun 1973, Edward meletakkan dasar konsep faktor-faktor manusia (human factor). Menurut dia, penerbangan adalah acuan dari faktor keberhasilan mesin (hardware/pesawat terbang), sarana petunjuk pengoperasian (software), dan lingkungan penerbangan environment). Konsep ini disempurnakan oleh Frans Hawkin, seorang kapten pilot dan juga psikolog. Ia memperkenalkan istilah SHELL: S (software), H (hardware), E (environment), L (liveware), L (liveware).
Keempat huruf yang mewakili istilah tersebut menyatu secara terpadu, di mana L pertama (pilot) menjadi intinya. Dikatakan inti karena pilot adalah manusia yang dapat dibentuk, dibina, disempurnakan sehingga dapat mendukung terjadinya keselamatan penerbangan. L kedua adalah awak kabin/pramugari, penumpang, perancang pesawat, dll.
Sebenarnya inti dasar pengertian human factor sudah berawal jauh dalam sejarah. Pegangan kapak sebagai alat pemotong yang disesuaikan dengan bentuk genggaman tangan merupakan awal sejarah ergonomi kerja yang memperhitungkan faktor manusia, sehingga dapat difungsikan dengan mudah dan efektif. Dalam dunia penerbangan ergonomi bisa dilihat dalam antropometri, misalnya, yang memudahkan pekerjaan pilot di kokpit. Rancangan tempat duduk yang dibuat sebegitu rupa memudahkan pilot dalam pengoperasian peralatan terbang. Juga pengaturan tuas dan pedal atau penampilan alat baca instrumen yang secara cepat dapat memberi informasi.
Dalam industri pesawat terbang dan transportasi udara konsep SHELL selalu diperhitungkan. Faktor manusia sekarang bukanlah semata-mata pilot belaka. Perancang pesawat terbang, pembuat tatalaksana operasional penerbangan, pengelola operasi penerbangan, maupun penyedia katering adalah manusia-manusia yang ikut berperan dan bertanggung jawab atas keberhasilan penerbangan yang aman dan nyaman. Keselamatan penerbangan mulai dilihat lebih luas dan nyata wawasannya.
Umur penerbang enam bulan
Penerbang sebagai manusia biasa memiliki watak dasar dan pola perilaku. Lingkungan penerbangan telah terkondisikan pada pendidikan, latihan, serta pengalaman terbang. Penerbangan secara khas memperlihatkan tahapan-tahapan yang menunjukkan elemen-elemen kritis di dalamnya. Sebagai contoh, tahap lepas landas dan mendarat merupakan penerbangan normal tapi justru berisiko tinggi. Kecelakaan penerbangan sewaktu mendarat merupakan yang terbesar, 56%. Sedangkan sewaktu lepas landas lebih rendah, yakni 38%. Di kala cruising, tercatat hanya 6%.
Melihat rawannya tahap-tahap penerbangan, maka penerbang dituntut berperilaku efektif, yakni cepat tanggap, terampil, teliti, dan bertindak dengan "memori" ketika menghadapi keadaan darurat. Juga dituntut memiliki keberanian dan perilaku untuk menaklukan tantangan. Kepribadian penerbang yang benar adalah aggressive masculin personality, seperti digambarkan di atas.
Selain itu fisik dan mental prima harus dimiliki penerbang. Kesehatan ini dicek setiap enam bulan. Bila dalam pemeriksaan berkala terlihat adanya penurunan atau gangguan, penerbang yang bersangkutan dapat terkena larangan terbang (grounded). Juga perlu dicek profisiensi keterampilannya. Pengecekan berkala enam bulan sekali dilakukan melalui simulator ataupun actual flight. Oleh sebab itu tak keliru kalau umur penerbang dikatakan hanya enam bulan.
Perilaku tidak efektif bisa menjurus ke tindakan error. Semisal self inflicting disease atau penyakit yang dibuat sendiri. Seorang penerbang yang sengaja begadang, tidak istirahat menjelang terbang pagi harinya, minum alkohol atau obat-obat psikopatik adalah beberapa contoh self inflicting disease. Makan berlebihan, merokok, atau melakukan kebiasaan buruk lainnya juga amat mengganggu stabilitas mental pilot.
Sulit adaptasi terhadap stres, sukar berkomunikasi antarmanusia yang baik pun amat menghambat kerja pilot. Penerbang transpor selalu bekerja dalam tim. Keberhasilan penerbangan adalah produk dari tim awak pesawat, termasuk awak kabin dan pramugari. Penerbang yang antisosial, egoistis, obsesif, atau kompulsif, dan tak dapat mengendalikan emosinya sehingga labil tentunya dekat dengan kecelakaan. Salah satu modal terpenting untuk setiap penerbang adalah sikap mental dewasa yang penuh kepedulian. Situasional awareness merupakan bagian tak terpisahkan dari perilaku penerbang yang baik.
Melihat itu, konsep SHELL selalu harus terpadu. Interaksi setiap komponen manusia-mesin-lingkungan-software tak dapat ditawar lagi. Walau industri transportasi udara dikatakan sebagai sarana pengangkutan teraman bila dibandingkan dengan sarana lainnya (transportasi darat dan laut), faktor manusia masih cukup menonjol atau sentral untuk digarap, sehingga kecelakaan penerbangan akan dapat ditekan lagi.
Mewujudkan zerro accident dalam dunia penerbangan masihlah tinggal dalam ilusi. Namun setidaknya, kita jangan terlalu sering dikejutkan dengan berita-berita kecelakaan penerbangan seperti akhir-akhir ini. (Penulis adalah dokter penerbangan)