ishimaru
New member
Suatu ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib berpolemik dengan seorang Yahudi. Sang khalifah yakin baju besi yang dipakai orang Yahudi itu adalah miliknya. Namun si Yahudi tetap menyangkal. Ia tetap bertahan bahwa baju besi itu adalah kepunyaannya. Polemic meruncing itu terus meruncing hingga keduanya sepakat untuk menghadapkannya ke hakim.
Begitu Ali dan si Yahudi itu duduk di depan persidangan, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, “Apa yang Anda kehendaki, wahai saudara Ali?”
“Soal baju besiku yang hilang. Kemudian diambil oleh Yahudi ini!” Ali menerangkan.
“Apa yang diucapkan Ali itu benar?” Tanya Hakim kepada si Yahudi .
“Tidak. Ini benar-benar baju besiku dan sekarang berada di tanganku!” jawab si Yahudi.
“Saudara Ali sebagai orang yang menuntut, Anda harus mendatangkan dua orang saksi yang mendukung Anda sebagai bukti”, pinta sang Hakim.
Ali bin abi Thalib segera mengajukan dua orang saksi,yaitupembantunya, Qanbar dan putranya, Hasan bin Ali. Sang Hakim, menerima kesaksian Qanbar dan menolak kesaksian Hasan bin Ali.
“Kesaksian Qanbar saya benarkan, tetapi kesaksian Hasan bin Ali tidak karena ia putra anda sendiri!” ujar Syuraih.
“Tapi, tidakkah saudara Hakim pernah mendengar bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda di surga’?”
Dengan suara yang lembut tapi penuh wibawa Syuraih menjawab, “Allahumma na’am. Ya Allah, memang benar.”
“Lalu, masihkah tidak dapat diterima kesaksian pemimpin pemuda di surge ini?”
Namun, Syuraih masih tetap dalam pendiriannya bahwa ia tidak dapa menerima kesaksian Hasan bin Ali. Karena Ali tidak bisa mendatangkan saksi, maka Hakim memutuskan dia yang kalah. Dengan tegas ia katakan bahwa baju besi itu adalah kepunyaan si Yahudi itu.
Ali tidak angkat bicara lagi. Ia tidak berdaya melawan peraturan dan undang-undang. Ia terima keputusan hakim itu dengan senang hati. Ia menyadari bahwa ia tidak dapat menghadirkan saksi yang mendukung tuntutannya. Lalu sambil tersenyum beliau berkata, “Ashaba Syuraih ma lii bayyinatun! Sahabatku Syuraih, Anda sungguh benar. Saya tidak mempunyai bukti yang kuat.”
Si Yahudi itu melihat dengan mata kepala sendiri betapa puasnya Ali bin Abi Thalib terhadap keputusan yang dijatuhkan hakim tersebut. Ia heran mengapa seorang khalifah mau tunduk terhadap peraturan dan undang-undang.
Melihat adegan mengharukan itu, si Yahudi pun berkata di hadap majlis persidangan itu, “Baju besi itu benar-benar kepunyaan Ali. Aku memungutnya waktu baju besi itu jatuh dari untanya ketika ia hendak pergi ke medan shiffin …”
Selanjutnya Yahudi itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Begitu mendengar si Yahudi membaca syahadat, dengan segera Ali bin Abi Thalib menyatakn, “Kalau begitu, baju besi itu kuhadiahkan kepadamu!” Selain itu, orang Yahudi itu juga dihadiahi Sembilan ratus dirham uang.
Peristiwa “baju besi” di atas menyimpan ibrah (pelajaran) yang mestinya kita teladani. Pertama, keberanian Qadhi Syuraih mengambil keputusan. Dengan kedudukannya sebagai hakim, syuraih berani mengambil keputusan tegas, berani dan adil. Keputusan yang ia tentukan tidak pandang bulu. Meskipun yang terdakwa adalah seorang khalifah yang kedudukannya lebih dari dari presiden, karena bukti menunjukkan ia kalah, maka harus diputuskan salah. Persis seperti yang disitir Rasulullah SAW dalam ungkapannya,”Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya,” (HR. Bukhari).
Kedua, berani menerima kekalahan. Inilah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Kendati ia merasa benar -dan kenyataannya memang demikian- tapi keputusan hakim tidak ia tolak. Ia tidak ngotot untuk mempertahankan pendapat.
Dikutip dari rubrik “Ibroh” majalah Sabili
*maap kalu repost ..v^^
Begitu Ali dan si Yahudi itu duduk di depan persidangan, hakim yang bernama Syuraih bertanya kepada Ali, “Apa yang Anda kehendaki, wahai saudara Ali?”
“Soal baju besiku yang hilang. Kemudian diambil oleh Yahudi ini!” Ali menerangkan.
“Apa yang diucapkan Ali itu benar?” Tanya Hakim kepada si Yahudi .
“Tidak. Ini benar-benar baju besiku dan sekarang berada di tanganku!” jawab si Yahudi.
“Saudara Ali sebagai orang yang menuntut, Anda harus mendatangkan dua orang saksi yang mendukung Anda sebagai bukti”, pinta sang Hakim.
Ali bin abi Thalib segera mengajukan dua orang saksi,yaitupembantunya, Qanbar dan putranya, Hasan bin Ali. Sang Hakim, menerima kesaksian Qanbar dan menolak kesaksian Hasan bin Ali.
“Kesaksian Qanbar saya benarkan, tetapi kesaksian Hasan bin Ali tidak karena ia putra anda sendiri!” ujar Syuraih.
“Tapi, tidakkah saudara Hakim pernah mendengar bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Hasan dan Husain adalah pemimpin pemuda di surga’?”
Dengan suara yang lembut tapi penuh wibawa Syuraih menjawab, “Allahumma na’am. Ya Allah, memang benar.”
“Lalu, masihkah tidak dapat diterima kesaksian pemimpin pemuda di surge ini?”
Namun, Syuraih masih tetap dalam pendiriannya bahwa ia tidak dapa menerima kesaksian Hasan bin Ali. Karena Ali tidak bisa mendatangkan saksi, maka Hakim memutuskan dia yang kalah. Dengan tegas ia katakan bahwa baju besi itu adalah kepunyaan si Yahudi itu.
Ali tidak angkat bicara lagi. Ia tidak berdaya melawan peraturan dan undang-undang. Ia terima keputusan hakim itu dengan senang hati. Ia menyadari bahwa ia tidak dapat menghadirkan saksi yang mendukung tuntutannya. Lalu sambil tersenyum beliau berkata, “Ashaba Syuraih ma lii bayyinatun! Sahabatku Syuraih, Anda sungguh benar. Saya tidak mempunyai bukti yang kuat.”
Si Yahudi itu melihat dengan mata kepala sendiri betapa puasnya Ali bin Abi Thalib terhadap keputusan yang dijatuhkan hakim tersebut. Ia heran mengapa seorang khalifah mau tunduk terhadap peraturan dan undang-undang.
Melihat adegan mengharukan itu, si Yahudi pun berkata di hadap majlis persidangan itu, “Baju besi itu benar-benar kepunyaan Ali. Aku memungutnya waktu baju besi itu jatuh dari untanya ketika ia hendak pergi ke medan shiffin …”
Selanjutnya Yahudi itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Begitu mendengar si Yahudi membaca syahadat, dengan segera Ali bin Abi Thalib menyatakn, “Kalau begitu, baju besi itu kuhadiahkan kepadamu!” Selain itu, orang Yahudi itu juga dihadiahi Sembilan ratus dirham uang.
Peristiwa “baju besi” di atas menyimpan ibrah (pelajaran) yang mestinya kita teladani. Pertama, keberanian Qadhi Syuraih mengambil keputusan. Dengan kedudukannya sebagai hakim, syuraih berani mengambil keputusan tegas, berani dan adil. Keputusan yang ia tentukan tidak pandang bulu. Meskipun yang terdakwa adalah seorang khalifah yang kedudukannya lebih dari dari presiden, karena bukti menunjukkan ia kalah, maka harus diputuskan salah. Persis seperti yang disitir Rasulullah SAW dalam ungkapannya,”Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya,” (HR. Bukhari).
Kedua, berani menerima kekalahan. Inilah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Kendati ia merasa benar -dan kenyataannya memang demikian- tapi keputusan hakim tidak ia tolak. Ia tidak ngotot untuk mempertahankan pendapat.
Dikutip dari rubrik “Ibroh” majalah Sabili
*maap kalu repost ..v^^