Dipi76
New member
KATA-KATA tertulis membekukan momen-momen cinta; bergejolak penuh harap atau menyerah kalah. Ketika penyair Roma, Ovid, menjalani masa pembuangan di Tomis, Laut Hitam, karena dianggap membahayakan moral bangsa Roma, surat cintanya bagi istri ketiganya penuh nada penyesalan dan kerinduan:
“Semoga Tuhan mengizinkanku kembali melihatmu. Jika itu terjadi, aku akan mencium kedua pipimu; dan memeluk tubuhmu yang menjadi kurus sambil berkata, “ini semua akibat kegelisahan, yang aku sebabkan,” serta menangis tersedu-sedu mengingat kembali semua kesedihanku langsung di hadapanmu…”
Surat Ovid tersebut kelak menjadi bagian dari kumpulan puisinya, Tristia (Kesedihan), yang dipublikasikan tahun 8 Masehi. Dia meninggal sembilan tahun kemudian tanpa bersua lagi dengan sang istri.
Pengabdian sekaligus pengorbanan adalah isi surat cinta Abelard dan Heloise di Prancis pada abad ke-12. Peter Abelard, seorang intelektual berusia 37 tahun di bidang filosofi dan teologi, jatuh hati dengan seorang gadis 19 tahun bernama Heloise. Selain terpaut jarak usia, cinta mereka juga terhalang karier Abelard di Gereja Katolik yang mengharuskannya selibat. Ketika dia hamil, Heloise sempat menolak ajakan Abelard untuk menikah kendati akhirnya setuju dengan tetap merahasiakan pernikahan mereka. Ketika rahasia ini terungkap, sejumlah tukang pukul sewaan paman Heloise, seorang petinggi Katedral Notre Dame, menciderai Abelard. Tak kuasa menanggung malu, Abelard memutuskan menjadi biarawan dan mengajak Heloise mengikuti jejaknya.
Lebih dari sepuluh tahun kemudian mereka kembali berhubungan lewat surat. Kali ini Abelard meminta Heloise mengalihkan cintanya kepada Tuhan, meski mereka sama-sama tak bahagia dengan kehidupan biara. Heloise berusaha mengikuti keinginan Abelard walau bertentangan dengan isi hatinya.
Surat Abelard kepada Heloise: “Melupakan, dalam hal cinta, adalah suatu upaya penebusan dosa yang setimpal dan tersulit…“
Surat Heloise kepada Abelard: “Engkau akan selalu mendapatkanku siap mengikutimu. Aku akan lebih senang membaca surat-surat yang akan kau tulis mengenai manfaat nilai-nilai kebaikan daripada membaca surat-suratmu dulu yang penuh gairah meracuni.”
Selang tujuh kali bersuratan, Abelard meninggal dunia pada 1142 dan Heloise pada 1163. Terjemahan surat cinta mereka dalam bahasa Prancis dan Inggris terbit pada abad ke-17. Seorang penyair Inggris, Alexander Pope, menarasikan kegundahan Heloise dalam tiga surat balasannya kepada Abelard lewat puisi “Eloisa to Abelard” pada 1716.
Dalam artikel “Letter Writing and Vernacular Literacy in Sixteenth Century England”, Webster Newbold menyebutkan tiga manual penulisan surat, yang memuat teknis dan panduan menulis surat cinta, bagi masyarakat kalangan atas Inggris masa itu. Ketiga manual tersebut adalah The Enemy of Idleness (1568) oleh William Fullwood, A Panophy of Epistles (1576) oleh Abraham Fleming, dan The English Secretary (1586) oleh Angel Day.
Di antara ketiga manual, The English Secretary menurut Newbold memuat panduan surat cinta paling menarik. Panduan ini dimulai dengan parameter relasi lelaki dan perempuan, “…surat dengan kelembutan dari seorang lelaki kepada perempuan.” Lalu Angel Day menengahkan dua skenario surat cinta. Pertama, sang lelaki memohon, sang perempuan merespon dan diakhiri dengan jawaban sang lelaki. Kedua, sang lelaki menyatakan cinta dan sang perempuan menjawab.
Day juga mengingatkan bahwa menulis surat cinta, seperti halnya interaksi sosial lainnya, mewajibkan si penulis mengikuti tata krama sesuai status penerima surat. “Jika seseorang menulis dengan kalimat-kalimat tinggi, maka sebaiknya objek cintanya seorang yang pantas menerimanya, dari segi keturunan, pendidikan, maupun kondisi lain.”
Namun ekspresi cinta melalui surat tak hanya milik kalangan berpendidikan yang membaca manual. Dalam bukunya The Pen and The People: English Letters Writers 1660-1880, Susan Whyman mengulas sejumlah dokumen surat-menyurat kaum awam di Inggris dan menyimpulkan kehadiran kantor pos sebagai salah satu faktor penyebarluasan kebiasaan menulis surat pada berbagai lapisan masyarakat. Kantor pos di Inggris, yang berawal pada 1635, berkembang dari sistem pengantaran surat oleh tukang pos dengan kereta kuda pada 1784.
Perkembangan alat-alat menulis pun mempengaruhi kebiasaan menulis surat. Jika pada masa Ovid surat cinta ditulis dalam panel kayu dengan lapisan lilin, sejak abad ke-16 perkembangan teknologi dan akses akan kertas mendukung kebiasaan menulis surat. Tradisi membubuhkan minyak wangi pada tinta, mengikatkan pita, membubuhkan minyak wangi pada lembar kertas, serta menempel lilin penyegel amplop menjadi tak terpisahkan dari kebiasaan menulis surat cinta pada abad ke-18-19 di Eropa.
Ungkapan cinta dalam surat juga tak selalu berawal dari sang lelaki, atau antara lelaki dan perempuan, sesuai standar berbagai manual penulisan surat.
“Aku tidak akan hidup. Aku seorang perempuan yang janggal dan aku takkan mampu mempertahankan hidup ini… Bawalah aku bersamamu, aku tak akan mengganggumu. Aku akan tidur sepanjang hari. Di sore hari engkau dapat mengizinkanku ke teater; dan pada malam hari engkau dapat melakukan apapun yang kau mau denganku,” tulis sosialita penghibur Marie Duplessis kepada komposer Hungaria, Franz Liszt dalam Grandes Horizontales oleh Virginia Rounding.
Duplessis, yang kecantikan dan ketenarannya mengilhami Alexandre Dumas menulis Lady of the Camellias, sedang sekarat akibat tuberkulosis ketika menyurati Liszt pada 1845. Dia meninggal setahun kemudian, tanpa kehadiran Liszt yang berjanji untuk berada di sisinya.
Hubungan sesama pria pada masa itu juga terekam lewat surat cinta, termasuk antara penulis Oscar Wilde dan Lord Alfred Douglas atau Bosie.
“London adalah sebuah gurun tanpa langkah kakimu yang anggun… kuberikan semua cintaku –sekarang dan selamanya, selalu dan dengan pengabdian– namun aku kehilangan kata mengungkapkan bagaimana aku mencintaimu. Tertanda, Oscar.”
Hubungan cinta mereka membuat ayah Bosie, Marques of Queensberry, murka. Ketegangan antara Marquess dan Wilde memuncak dengan proses pengadilan bagi Wilde atas tuduhan sodomi dan tindakan homoseksual yang berujung hukuman penjara selama dua tahun bagi sang penulis (1895-1897). Wilde meninggal dunia tiga tahun kemudian setelah bebas.
“Tak dapat dipungkiri, ada kaitan erat antara hukuman penjara dan kematiannya yang prematur. Namun, kondisi Oscar memburuk bukan karena dipenjara, melainkan karena kesempatan menulis dan bersuaranya dirampas,” ujar Merlin Holland, cucu Wilde, dalam wawancara dengan The Telegraph, 30 Mei 2009. Surat-surat Oscar kepada Bosie kini menjadi bagian dari arsip British Literary Manuscripts Online circa 1660-1900.
Ahli etiket Amerika awal abad ke-20, Emily Post menulis tiga bagian khusus tentang panduan surat-menyurat bagi lelaki dan perempuan dalam bukunya Etiquette in Society, in Business, in Politics and at Home pada 1922.
“Jika kamu bertunangan, tentu kamu sebaiknya menulis surat cinta –ini adalah salah satu hal terindah yang dapat kamu lakukan. Namun hindari menulis dalam bahasa ‘bayi’ atau hal-hal bodoh lainnya yang hanya akan membuatmu merasa dungu jika surat tersebut jatuh ke tangan orang asing,” demikian salah satu anjurannya.
Dalam berkorespondensi, Post menyarankan tak menulis dengan pensil (“kecuali jika kamu menulis untuk sanak saudara di dalam kereta atau tak berhasil mencari tinta atau sakit hingga harus berbaring”); berhati-hati menggunakan garis bawah dan P.S.; serta tak menebarkan kata-kata asing dalam teks surat kecuali tak ada padanan kata (“selain tak menunjukan keunggulan, penggunaan kata-kata asing membuktikan ketakpedulianmu terhadap bahasa sendiri).
Menulis surat cinta kini seolah menjadi peninggalan waktu. Komunikasi email, IM, ponsel menggerus kebiasaan menulis surat cinta. Tanpa surat cinta, lenyap pula dokumentasi keindahan perjalanan emosi manusia. Sifat instan teknologi mempersingkat cara manusia berinteraksi, sehingga tak mampu merekam segala nuansa perasaan layaknya selembar surat.
Credit to Mira Renata (Majalah Historia)
-dipi-