Kalina
Moderator
Target 2.000 Sekolah pada 2010
Problem pendidikan di Indonesai tak sekadar menyangkut kualitas. Kesenjangan antar daerah juga menjadi masalah serius yang harus di hadapi. Salah satu upaya untuk memecahkan persoalan tersebut adalah program, Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi.
Didengungkan sejak empat tahun lalu, program DBE baru bisa direalisasikan sejak 2005. Pelaksanaan program yang mengeluarkan dana senilai USD 157 juta itu berlangsung selama kurun 2005-2010. Inisiatif yang pada awalnya dilontarkan presiden Bush itu merupakan respons prositif untuk pemerintah Indonesia, sekaligus komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan.
DBE dijalankan melalui United States Agency for International Development (USAID). Program ini dikoordinasikan dengan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (Kokesra) bekerjasama dengan 28 pemerintah kabupaten atau kota yang tersebar di delapan propinsi. Di antaranya, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan DKI Jakarta. Di daerah-daerah tersebut, DBE bekerjasama dengan 1.042 sekolah yang meliputi sekolah dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Selain itu, DBE juga membangun jaringan dengan 117 lembaga pendidikan non formal yang sebagian besar menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan SMP. Sekitar 25 ribu pendidik, termasuk guru dan tutor lembaga pendidikan non formal, secara langsung membimbing sekitar 370 ribu peserta didik dan 6.200 peserta lembaga pendidikan non formal. Program DBE akan diperluas ke 100 kabupaten atau kota pada tahun 2008.
Beberapa waktu lalu, USAID menyelenggarakan penanda-tanganan nota kesepakatan pelaksanaan program DBE 2 bersama lima pemerintah kabupaten di Jatim. Yaitu, kabupaten Tuban, Sampang, Pasuruan, Nganjuk, dan Bojonegoro. Penandatangan itu dilakukan di JW Mariott hotel, Surabaya.
Menurut Imam Suhadi, perwakilan DBE Jatim, ada tiga fokus utama program DBE yang dibahas dalam kerjasama itu. Yakni, DBE 1, DBE 2, dan DBE 3. Saat ini, pelaksanaan DBE memasuik periode dua. Pada periode pertama (2005) program ini mencakup 25 kabupaten kota. Tahun ini, target yang ingin dicapai adalah 100 kabupaten/kota. "Kami akan terus mengembangkan program ersebut hingga 2010.
Menurut Dan Moultan, Chief of Party (COP) DBE 1, fokus utama DBE 1 adalah meningkatkan kapasitas manajemen dan tata pelayanan pendidikan. Program tersebut menyangkut upaya peningkatan kemampuan dinas pendidikan kota dalam mengelola pendidikan dasar agar lebih efektif. Kedua, memperkuat pelayanan pendidikan di setiap level (dari orang tua ke komite sekolah, dewan pendidikan dan DPRD). Ketiga, meningkatkan penggunaan sumber-sumber informasi untuk memperkuat manajemen dan tata pelayanan pendidikan. "Terakhir, mengembangkan kemitraan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga swasta," ujar Muoltan dalam bahasa Inggris.
DBE 2 dikembangkan berdasarkan model-model inovasi pembelajaran yang sudah dikembangkan di Indonesia. Karena itu, kata Moultan, fokus DBE 2 adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui perbaikan sistem pelatihan bagi guru. "Termasuk, peningkatan lingkungan belajar yang efektif di sekolah," jelasnya.
Salah sato contoh program inovasi pembelajaran adalah pelatihan awal bagi guru (initial teacher training-ITT). Program ini memperkenalkan pembelajaran aktif dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) kepada guru. Program ITT ini diadakan di enam provinsi dengan menggunakan 40 teknik pembelajaran aktif untuk menunjukkan metodologi pengajaran yang baru.
Tak hanya itu, model pelatihan guru yang terdesentralisasi ini didukung oleh modul yang disusun mitra universitas di setiap provinsi. "Juga mendapat support dari mitra universitas di Amerika Serikat, staf proyek, dan konsultan internasional," paparnya.
Berbeda dengan DBE 2, program DBE 3 berusaha memajukan remaja untuk mengembangkan kecakapan hidupnya. Dengan kecakapan hidup, para remaja dapat mempersiapkan diri bagi masa depannya dan menjadi anggota masyarakat yang terampil, aktif, serta reproduktif.
Depdiknas sendiri mengkategorikan kecakapan hidup dalam empat kelompok. Yakni, ketrampilan akademis, personal, sosial, dan vokasional. Karena itu, DBE 3 bekerjasama dengan Depdiknas dan Depag akan mengimplementaskan KBK untuk pendidikan formal dan paket B untuk pendidikan non formal.
DBE 3 akan menyelenggarakan pelatihan bagi tenaga pelatih di tingkat daerah dari berbagai elemen. Misalnya, Diknas, Depag, dan tenaga pengajar. Kemudian, mereka akan melatih dan mendampingi guru-guru di sekolah untuk mengembangkan silabus berbasis KBK.
DBE 3 juga akan memperkuat eksistensi dan peran MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) di tingkat daerah. "Tujuannya untuk mendukung guru-guru mata pelajaran tersebut untuk menerapkan pendidikan yang bermuatan kecakapan hidup," jelas Laumann.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo menjelaskan, sekolah yang ditunjuk untuk mewujudkan program DBE akan menjadi percontohan sekolah lain. "Baik dari segi manajemen sekolah, sistem pembelajaran, maupun life skill-nya," ucap Kepala Dinas Pendidikan Jatim Rasiyo yang meneken kerja sama tersebut.
Nanti, sekolah lain akan mengembangkan program tersebut melalui bantuan operasional sekolah (BOS). "Goal (tujuan, Red.) dari DBE adalah memberi ruang bagi siswa untuk berpikir lebih kritis," ujar Rasiyo.
Problem pendidikan di Indonesai tak sekadar menyangkut kualitas. Kesenjangan antar daerah juga menjadi masalah serius yang harus di hadapi. Salah satu upaya untuk memecahkan persoalan tersebut adalah program, Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi.
Didengungkan sejak empat tahun lalu, program DBE baru bisa direalisasikan sejak 2005. Pelaksanaan program yang mengeluarkan dana senilai USD 157 juta itu berlangsung selama kurun 2005-2010. Inisiatif yang pada awalnya dilontarkan presiden Bush itu merupakan respons prositif untuk pemerintah Indonesia, sekaligus komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan.
DBE dijalankan melalui United States Agency for International Development (USAID). Program ini dikoordinasikan dengan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (Kokesra) bekerjasama dengan 28 pemerintah kabupaten atau kota yang tersebar di delapan propinsi. Di antaranya, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan DKI Jakarta. Di daerah-daerah tersebut, DBE bekerjasama dengan 1.042 sekolah yang meliputi sekolah dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Selain itu, DBE juga membangun jaringan dengan 117 lembaga pendidikan non formal yang sebagian besar menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan SMP. Sekitar 25 ribu pendidik, termasuk guru dan tutor lembaga pendidikan non formal, secara langsung membimbing sekitar 370 ribu peserta didik dan 6.200 peserta lembaga pendidikan non formal. Program DBE akan diperluas ke 100 kabupaten atau kota pada tahun 2008.
Beberapa waktu lalu, USAID menyelenggarakan penanda-tanganan nota kesepakatan pelaksanaan program DBE 2 bersama lima pemerintah kabupaten di Jatim. Yaitu, kabupaten Tuban, Sampang, Pasuruan, Nganjuk, dan Bojonegoro. Penandatangan itu dilakukan di JW Mariott hotel, Surabaya.
Menurut Imam Suhadi, perwakilan DBE Jatim, ada tiga fokus utama program DBE yang dibahas dalam kerjasama itu. Yakni, DBE 1, DBE 2, dan DBE 3. Saat ini, pelaksanaan DBE memasuik periode dua. Pada periode pertama (2005) program ini mencakup 25 kabupaten kota. Tahun ini, target yang ingin dicapai adalah 100 kabupaten/kota. "Kami akan terus mengembangkan program ersebut hingga 2010.
Menurut Dan Moultan, Chief of Party (COP) DBE 1, fokus utama DBE 1 adalah meningkatkan kapasitas manajemen dan tata pelayanan pendidikan. Program tersebut menyangkut upaya peningkatan kemampuan dinas pendidikan kota dalam mengelola pendidikan dasar agar lebih efektif. Kedua, memperkuat pelayanan pendidikan di setiap level (dari orang tua ke komite sekolah, dewan pendidikan dan DPRD). Ketiga, meningkatkan penggunaan sumber-sumber informasi untuk memperkuat manajemen dan tata pelayanan pendidikan. "Terakhir, mengembangkan kemitraan dengan pemerintah dan lembaga-lembaga swasta," ujar Muoltan dalam bahasa Inggris.
DBE 2 dikembangkan berdasarkan model-model inovasi pembelajaran yang sudah dikembangkan di Indonesia. Karena itu, kata Moultan, fokus DBE 2 adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui perbaikan sistem pelatihan bagi guru. "Termasuk, peningkatan lingkungan belajar yang efektif di sekolah," jelasnya.
Salah sato contoh program inovasi pembelajaran adalah pelatihan awal bagi guru (initial teacher training-ITT). Program ini memperkenalkan pembelajaran aktif dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) kepada guru. Program ITT ini diadakan di enam provinsi dengan menggunakan 40 teknik pembelajaran aktif untuk menunjukkan metodologi pengajaran yang baru.
Tak hanya itu, model pelatihan guru yang terdesentralisasi ini didukung oleh modul yang disusun mitra universitas di setiap provinsi. "Juga mendapat support dari mitra universitas di Amerika Serikat, staf proyek, dan konsultan internasional," paparnya.
Berbeda dengan DBE 2, program DBE 3 berusaha memajukan remaja untuk mengembangkan kecakapan hidupnya. Dengan kecakapan hidup, para remaja dapat mempersiapkan diri bagi masa depannya dan menjadi anggota masyarakat yang terampil, aktif, serta reproduktif.
Depdiknas sendiri mengkategorikan kecakapan hidup dalam empat kelompok. Yakni, ketrampilan akademis, personal, sosial, dan vokasional. Karena itu, DBE 3 bekerjasama dengan Depdiknas dan Depag akan mengimplementaskan KBK untuk pendidikan formal dan paket B untuk pendidikan non formal.
DBE 3 akan menyelenggarakan pelatihan bagi tenaga pelatih di tingkat daerah dari berbagai elemen. Misalnya, Diknas, Depag, dan tenaga pengajar. Kemudian, mereka akan melatih dan mendampingi guru-guru di sekolah untuk mengembangkan silabus berbasis KBK.
DBE 3 juga akan memperkuat eksistensi dan peran MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) di tingkat daerah. "Tujuannya untuk mendukung guru-guru mata pelajaran tersebut untuk menerapkan pendidikan yang bermuatan kecakapan hidup," jelas Laumann.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo menjelaskan, sekolah yang ditunjuk untuk mewujudkan program DBE akan menjadi percontohan sekolah lain. "Baik dari segi manajemen sekolah, sistem pembelajaran, maupun life skill-nya," ucap Kepala Dinas Pendidikan Jatim Rasiyo yang meneken kerja sama tersebut.
Nanti, sekolah lain akan mengembangkan program tersebut melalui bantuan operasional sekolah (BOS). "Goal (tujuan, Red.) dari DBE adalah memberi ruang bagi siswa untuk berpikir lebih kritis," ujar Rasiyo.