spirit
Mod
Sebagian warga di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu dikagetkan dengan meninggalnya tiga orang usai mengikuti suluk atau zikir oleh Tarekat Naqsabandiyah di daerah itu.
Dikutip dari Antara, awalnya seorang jemaah Tarekat Naqsabandiyah meninggal dunia yakni Katinem (53), warga Kabupaten Ogan Kemering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Namun kemudian menyusul dua orang lagi yakni Umar Farruk (30), warga Way Kanan, Lampung dan Sumarno (56), warga Kabupaten OKU Timur, Sumsel.
Tiga orang yang meninggal ini adalah bagian dari ratusan jemaah yang hadir mengikuti zikir bersama yang dilaksanakan oleh pengajian tassawuf Tarekat Naqsabandiyah selama 10 hari. Yakni dari 12-29 Mei 2018 di Kabupaten Rejang Lebong. Lantas, apa itu Tarekat Naqsabandiyah?
Dari sejumlah catatan dan sumber, tarekat ini sudah hadir di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Sebaran tarekat ini hampir merata di berbagai negara. Mulai dari Asia termasuk Indonesia hingga sebagian Eropa.
Awal Kemunculan
Berdasarkan catatan Wikipedia, tarekat ini pertama kali muncul pada abad 14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M.
Tarekat ini mengutamakan pada pemahaman hakikat dan tasauf yang mengandung unsur-unsur pemahaman rohani yang spesifik.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun.
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati.
Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia, pengikut tarekat ini cukup banyak. Di Pulau Sumatera pun cukup merata. Salah satu daerah yang banyak pengikut tarekat ini adalah Kota Padang, Sumatera Barat.
Desember 2017 lalu, Muhammad Ilham (40), salah seorang pengikut Tarekat Naqsabandiyah di Padang bercerita, Naqsabandiyah dibawa ke Padang oleh Syekh Tahib yang menuntut ilmu di Makkah selama 25 tahun.
Tarekat ini tidak hanya ada di Kota Padang, tetapi juga ada di wilayah Solok, Payakumbuh, dan Pasaman. Penyebaran tarekat ini dilakukan dengan menurunkan ilmu suluk dari guru besar kepada murid-muridnya di surau.
Menurut dia, kecuali penetapan Ramadhan, tidak ada perbedaan dalam tata cara beribadah di Tarekat Naqsabandiyah. Seluruhnya dilaksanakan seperti yang tercantum dalam Alquran dan hadits.
Karena perbedaannya dalam memutuskan waktu Ramadhan, beberapa kali Tarekat Naqsabandiyah didatangi oleh Kementerian Agama.
"Tarekat Naqsabandiyah bukanlah ajaran sesat, Islam sangat menghargai keragaman. Pun Tarekat Naqsabandiyah. Jangan sampai perbedaan ini memecah belah umat," ujar Ilham.
~suara.com