sisarimerah
New member
Salah satu perjanjian yang terjadi di masa penjajahan Belanda adalah Perjanjian Giyanti. Apa itu Perjanjian Giyanti? Pihak-pihak mana saja yang terlibat di dalam perjanjian ini?
Secara singkat, Perjanjian Giyanti merupakan perjanjian yang terjadi pada medio tahun 1750an. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang dilakukan oleh tiga pihak. Pihak yang pertama adalah pihak VOC (Belanda), pihak yang kedua adalah pihak Mataram (Pakubuwono Ketiga), dan pihak yang terakhir pihak Pangeran Mangkubumi.
Perjanjian yang melibatkan tiga pihak ini terjadi dikarenakan adanya kericuhan yang terjadi di wilayah Mataram setelah Sultan Agung meninggal dunia. Pada akhirnya, perjanjian ini dilakukan serta ditandatangani tanggal 13 Februari tahun 1755.
Perjanjian ini dinamakan Perjanjian Giyanti merujuk dari tempat diadakannya perjanjian ini, yaitu desa Giyanti, yang disebut menyesuaikan dengan bahasa Belanda. Sekarang, daerah ini bernama Dukuh Kreten. Berlokasi di Desa Jantiharho, arah Tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Hasil dari perjanjian ini salah satunya adalah pembagian wilayah dari Mataram yang nantinya menjadi dua wilayah. Wilayah pertama merupakan wilayah yang dikuasai oleh Pakubowono Ketiga, yaitu wilayah arah sebelah Timur Kali Opak. Sedangkan wilayah kedua merupakan wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi, yaitu wilayah arah sebelah Barat Kali Opak.
Salah satu klausul yang ada di isi Perjanjian Giyanti ini adalah pihak Belanda atau VOC memiliki hak unutk menentukan siapa saja yang dapat menguasai kedua wilayah yang telah dibagi tersebut.
Mundur setahun dari tahun 1755, tepatnya di tanggal 10 September tahun 1754, salah satu Gubernur VOC yang menguasai wilayah Jawa Utara berangkat dari kota Semarang untukbertemu dengan Pangeran Mangkubumi.
Gubernur yang bernama N. Hartingh ini pada akhirnya berhasil melakukan pertemuan dan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi pada tanggal 22 September 1754. Lalu, pada tanggal 23 September 1754 diadakan pertemuan dan perudingan lanjutan yang juga bersifat tertutup antara kedua pihak tersebut.
Dalam perundingan tertutup di hari pertama tersebut, Gubernur N. Hartingh ditemani oleh Kapten Donkel, Fockens (sekretaris), dan Breton. Sedangkan Pangeran Mangkubumi ditemani oleh Pangeran Ronggo beserta Tumenggung Ronggo. Lalu, terdapat juga Pendeta Bastani yang bertugas sebagai penerjemah dan juru bahasa.
Dalam pembahasan yang pertama, N. Hartingh mengungkapkan keberatannya serta penawarannya terhadap Pangeran Mangkubumi untuk wilayah Mataram bagian Timur. Namun, usulan dari Hartingh inipun ditolak oleh Pangeran Mangkubumi. Perundingan pun berjalan makin alot dan jauh dari kata lancar.
Akhirnya, setelah melakukan janji dan sumpah untuk mematuhi dan tidak melanggar janji serta kesepakatan yang nantinya diambil oleh dua pihak tersebut, perundingan mulai memunculkan beberapa usulan.
Salah satu usulannya adalah usulan dari Nartingh yang mengusulkan agar Pangeran Mangkubumi tidak memakai gelar sunan (gelar yang didapatkannya setelah menggantikan tahta pemerintahan Pakubuwono Kedua yang wafat) dan menggantinya dengan gelar sultan.
Penggantian gelar tersebut juga bertujuan agar tidak adanya kebingunan atas pemerintahan yang berkuasa di daerah tersebut. Karena pihak Belanda (VOC) ternyata juga sudah melantik Adipati Anom sebagai Pakubowo Ketiga.
Pelantikan tersebutlah yang juga melatarbelakangi mengapa VOC merundingkan usulan pembagian wilayah kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi karena tidak ingin adanya kebingungan serta kericuhan dari dua pemerintahaan Pakubowono Ketiga tersebut (Pangeran Mangkubumi serta Adipati Anom dari versi VOC).
Hari pertama perundingan, pertemuan terpaksa harus dihentikan dan dilanjutkan keesokan harinya.
Keesokan harinya, pada tanggal 23 September 1754, nota kesepahaman antara dua pihak yang berisi Pangeran Mangkubumi nantinya akan berganti gelar dari sunan menjadi sultan serta mendapatkan setengah kerajaan akhirnya tercapai dan disahkan.
Pembagian wilayah tersebut nantinya adalah setengah wilayah Pantai Utara (Pantura) atau daerah pesisiran akan tetap dikuasai pihak VOC. Sedangkan setengah wilayahnya lagi akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Selain itu, Pangeran Mangkubumi juga akan mendapatkan koleksi pusaka-pusaka istana.
Lalu, pada tanggal 4 November Pakubuwono Ketiga menyampaikan surat yang berisi persetujuan atas hasil perundingan antara N. Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi kepada Mossel (Jenderal VOC).
Setelah itu, pada tanggal 13 Februari 1755 akhirnya ditandatanganilah Perjanjian Giyanti atas hasil perundinga yang telah dilakukan pada bulan September setahun sebelumnya.
Secara singkat, Perjanjian Giyanti merupakan perjanjian yang terjadi pada medio tahun 1750an. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang dilakukan oleh tiga pihak. Pihak yang pertama adalah pihak VOC (Belanda), pihak yang kedua adalah pihak Mataram (Pakubuwono Ketiga), dan pihak yang terakhir pihak Pangeran Mangkubumi.
Perjanjian yang melibatkan tiga pihak ini terjadi dikarenakan adanya kericuhan yang terjadi di wilayah Mataram setelah Sultan Agung meninggal dunia. Pada akhirnya, perjanjian ini dilakukan serta ditandatangani tanggal 13 Februari tahun 1755.
Perjanjian ini dinamakan Perjanjian Giyanti merujuk dari tempat diadakannya perjanjian ini, yaitu desa Giyanti, yang disebut menyesuaikan dengan bahasa Belanda. Sekarang, daerah ini bernama Dukuh Kreten. Berlokasi di Desa Jantiharho, arah Tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Hasil dari perjanjian ini salah satunya adalah pembagian wilayah dari Mataram yang nantinya menjadi dua wilayah. Wilayah pertama merupakan wilayah yang dikuasai oleh Pakubowono Ketiga, yaitu wilayah arah sebelah Timur Kali Opak. Sedangkan wilayah kedua merupakan wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi, yaitu wilayah arah sebelah Barat Kali Opak.
Salah satu klausul yang ada di isi Perjanjian Giyanti ini adalah pihak Belanda atau VOC memiliki hak unutk menentukan siapa saja yang dapat menguasai kedua wilayah yang telah dibagi tersebut.
Mundur setahun dari tahun 1755, tepatnya di tanggal 10 September tahun 1754, salah satu Gubernur VOC yang menguasai wilayah Jawa Utara berangkat dari kota Semarang untukbertemu dengan Pangeran Mangkubumi.
Gubernur yang bernama N. Hartingh ini pada akhirnya berhasil melakukan pertemuan dan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi pada tanggal 22 September 1754. Lalu, pada tanggal 23 September 1754 diadakan pertemuan dan perudingan lanjutan yang juga bersifat tertutup antara kedua pihak tersebut.
Dalam perundingan tertutup di hari pertama tersebut, Gubernur N. Hartingh ditemani oleh Kapten Donkel, Fockens (sekretaris), dan Breton. Sedangkan Pangeran Mangkubumi ditemani oleh Pangeran Ronggo beserta Tumenggung Ronggo. Lalu, terdapat juga Pendeta Bastani yang bertugas sebagai penerjemah dan juru bahasa.
Dalam pembahasan yang pertama, N. Hartingh mengungkapkan keberatannya serta penawarannya terhadap Pangeran Mangkubumi untuk wilayah Mataram bagian Timur. Namun, usulan dari Hartingh inipun ditolak oleh Pangeran Mangkubumi. Perundingan pun berjalan makin alot dan jauh dari kata lancar.
Akhirnya, setelah melakukan janji dan sumpah untuk mematuhi dan tidak melanggar janji serta kesepakatan yang nantinya diambil oleh dua pihak tersebut, perundingan mulai memunculkan beberapa usulan.
Salah satu usulannya adalah usulan dari Nartingh yang mengusulkan agar Pangeran Mangkubumi tidak memakai gelar sunan (gelar yang didapatkannya setelah menggantikan tahta pemerintahan Pakubuwono Kedua yang wafat) dan menggantinya dengan gelar sultan.
Penggantian gelar tersebut juga bertujuan agar tidak adanya kebingunan atas pemerintahan yang berkuasa di daerah tersebut. Karena pihak Belanda (VOC) ternyata juga sudah melantik Adipati Anom sebagai Pakubowo Ketiga.
Pelantikan tersebutlah yang juga melatarbelakangi mengapa VOC merundingkan usulan pembagian wilayah kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi karena tidak ingin adanya kebingungan serta kericuhan dari dua pemerintahaan Pakubowono Ketiga tersebut (Pangeran Mangkubumi serta Adipati Anom dari versi VOC).
Hari pertama perundingan, pertemuan terpaksa harus dihentikan dan dilanjutkan keesokan harinya.
Keesokan harinya, pada tanggal 23 September 1754, nota kesepahaman antara dua pihak yang berisi Pangeran Mangkubumi nantinya akan berganti gelar dari sunan menjadi sultan serta mendapatkan setengah kerajaan akhirnya tercapai dan disahkan.
Pembagian wilayah tersebut nantinya adalah setengah wilayah Pantai Utara (Pantura) atau daerah pesisiran akan tetap dikuasai pihak VOC. Sedangkan setengah wilayahnya lagi akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi. Selain itu, Pangeran Mangkubumi juga akan mendapatkan koleksi pusaka-pusaka istana.
Lalu, pada tanggal 4 November Pakubuwono Ketiga menyampaikan surat yang berisi persetujuan atas hasil perundingan antara N. Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi kepada Mossel (Jenderal VOC).
Setelah itu, pada tanggal 13 Februari 1755 akhirnya ditandatanganilah Perjanjian Giyanti atas hasil perundinga yang telah dilakukan pada bulan September setahun sebelumnya.