singthung
New member
MENJARING ANGIN
(Bijaksana dalam mengenali corak kehidupan)
(Bijaksana dalam mengenali corak kehidupan)
MANUSIA tidak pernah menyadari telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat seperti ketika menjaring angin. Ini sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari, seakan-akan kita menganggap bahwa dengan memakai jaring maka kita dapat menangkap dan mengumpulkan angin dalam jaring tersebut. Kita tidak pernah menyadari bahwa yang tertangkap adalah kotoran debu dan daun-daun kering saja.
Begitu juga dalam kehidupan ini kita sebagai manusia selalu mengejar sesuatu dengan cara yang tidak tepat dan pada akhirnya bukan mendapatkan apa yang inginkan tetapi malah menerima hal-hal yang tidak baik dalam kehidupan yang membuat diri sendiri menderita atau kesusahan. Seringkali seseorang mengejar kebahagiaan dengan cara memenuhi kepuasan diri dengan bersenang-senang dan mencari pemuasan keinginan untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan yang berulang.
Pengulangan ini lakukan sampai batasan yang tidak terhingga secara terus-menerus dan berulang-ulang dalam kehidupannya.Tanpa menyadari bahwa hal ini tidak akan bisa membuat dirinya berbahagia. Tanpa disadari bahwa apa yang telah diusahakan itu hanyalah menghasilkan sebuah kenangan manis akan sebuah kesenangan yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan ketika itu berakhir dan bukan kebahagiaan itu sendiri. Inilah kenyataan yang kita lakukan selama ini, melakukan hal-hal atau perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai tujuan kita.Kita sering lupa dan tidak fokus pada apa yang kita harapkan. Inilah yang sebut kebodohan batin.
Contoh lain yang lebih konkret dalam mengejar kebahagiaan dengan cara yang salah dan malah mengakibatkan penderitaan yang semakin jauh. Ketika seseorang ingin memperbaiki perbuatannya yang salah tetapi karena tidak mau disebut jelek, jahat, dan lain-lain, kemudian ia sibuk melakukan pembelaan-pembelaan diri dan tidak sadar bahwa dia menutup-nutupi perbuatan salah yang perbuatnya dan lupa untuk memperbaiki atau menghentikan perbuatan salah itu, bahkan pada kasus tertentu malah tanpa sengaja melakukan kesalahan baru untuk menutupi kesalahan lama. Dia mengira dengan begitu maka kesalahannya akan hilang dan dia bisa bahagia.
Ketika seseorang menyakiti orang lain dengan ucapan, perbuatan fisik, penipuan dan lain-lain. Hatinya kemudian menjadi sakit dan muncul dendam yang membakar perasaannya. Ia merasa menderita dengan itu, lalu kemudian mencari pembalasan untuk memuaskan sakit hatinya dan mengira dengan begitu bisa menghilangkan sakit hatinya. Dalam pikirannya bila dia bisa membalaskan sakit hatinya dan bisa membuat orang lain menderita maka dia baru puas dan bahagia. Tetapi pada kenyataannya ia masih tetap hidup menderita dalam kemelekatan akan kebenciannya sendiri.
Ketika seseorang berpikir betapa bahagianya memiliki uang banyak dan kaya-raya sehingga ia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Setelah memiliki kekayaan, ia kemudian berpikir lagi seandainya saya hidup miskin maka hidup ini akan sangat menderita sekali. Sesaat ketika ia memikirkan penderitaan akan kemiskinan, maka ia kemudian takut akan kehilangan kekayaannya. Selanjutnya ia bekerja keras untuk mempertahankan kekayaannya tersebut agar tidak hilang. Ia kemudian hidup dalam ketakutan yang ia ciptakan sendiri dengan pengertian yang salah. Dengan cara seperti ini ia berpikir bisa mempertahankan kebahagiaannya. Ia lupa bahwa hidupnya dan kebahagiaannya telah dijajah oleh rasa takut itu sendiri.
Masih banyak lagi dalam kehidupan ini contoh-contoh di mana kita selalu salah mengerti akan apa yang kita mau lakukan. Kita mengira dengan perbuatan-perbuatan tersebut kita bisa berbahagia, padahal perbuatan itu malah membuat kita terjerumus dalam penderitaan yang berulang dan tidak ada habisnya. Kita bisa merasakan desiran angin dan sentuhan angin permukaan jaring pengertian kita. Tetapi kita tidak pernah benar-benar bisa menangkap kebahagiaan itu sendiri, malahan kita mendapatkan sampah-sampah penderitaan yang berterbangan di lingkungan yang serba berantakan.
Oleh karena itulah maka dalam kehidupan ini kita harus bisa mengerti bagaimana corak kehidupan nyata yang ada di sekitar kita. Ini ibarat mengenali bagaimana sifat angin itu sendiri untuk mengetahui bagaimana cara menangkapnya. Sifat angin adalah tidak tetap dan selalu berubah, angin tidak memiliki bentuk yang tetap dan bisa berubah setiap waktu dan angin tidak mungkin bisa ditangkap tetapi hanya bisa dirasakan. Begitu juga dengan lingkungan hidup yang kita tempati ini. Pada kenyataannya mereka semua tidak memiliki inti yang kekal, maka sifatnya yang tidak kekal dan selalu berubah, dan perubahan inilah yang selalu menimbulkan penderitaan akibat ketidakpuasan ditinggalkan oleh yang menyenangkan dalam hidup ini.
Kalau kita perhatikan contoh-contoh kasus di atas, semua kasus selalu mengarah pada munculnya penderitaan dalam kehidupan ini. Inilah yang sebut hakekat kehidupan. Kehidupan yang terbentuk adalah memiliki corak penderitaan. Ini tidak bisa kita sangkal dan mau tidak mau tidak harus kita jalani. Kalau kita perhatikan lebih teliti maka kita dapat melihat bahwa ketika seseorang membentuk pengertian dan pemikirannya dengan memberikan nilai-nilai atau konsep-konsep maka ia menjadi menderita ketika semua nilai dan konsep tersebut tidak sesuai. Padahal pada kenyataannya konsep atau nilai itu dapat beragam dan bervariasi sekali tergantung pada sudut pandang pemikiran dan pengertian yang mana. Inilah corak kehidupan kita, kenyataannya tidak ada konsep atau nilai seperti yang kita pikirkan.
Bila kita tidak sibuk memenuhi pemuasan bentuk-bentuk pikiran kita dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, maka kita bisa meletakkan perhatian kita sesaat pada corak kehidupan yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Dalam perubahan ini kita selalu menderita dari waktu ke waktu karena tidak bisa menerima perubahan ini akibat kemelekatan kita pada pola pemikiran dan pengertian yang kaku dan tidak mau berubah. Inilah sebenarnya corak kehidupan kita yang merupakan sebuah kenyataan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini bercorak DUKKHA (penderitaan), ANICCA (perubahan), ANATTA (tidak adanya inti).
Kembali pada perbuatan mengejar kebahagiaan. Ketika seseorang menjadikan kebahagiaan itu seperti apa yang dipikirkannya (Atta), maka kemudian ia berusaha mendapatkan apa yang dibentuk oleh pemikiran dan pengertiannya tentang kebahagiaan. Ini yang dinamakan memberi inti atau memberi definisi atau memberi nilai pada kebahagiaan. Padahal kebahagiaan itu tidak memiliki inti (karena pada dasarnya kebahagiaan hanyalah sebuah kondisi bukan sebuah nilai), dan ketika seseorang mengatakan kekal arti kebahagiaan dengan nilai atau takaran dalam bentuk konsep tertentu, maka ia akan mengalami kesusahan ketika nilai-nilai tersebut tidak tercapai atau berubah, karena inti atau nilai tersebut terletak pada bagaimana pikiran kita memberi bentuk dan nilai. Maka ketika kita tidak mampu merubah pikiran kita mengikuti perubahan dari lingkungan, penderitaan adalah hasil yang pasti kita terima.
Inilah yang kita lakukan selama ini dan kita tidak menyadari bahwa perbuatan ini sia-sia belaka. Ibarat menjaring angin dengan jaring yang banyak sekali lubang-lubangnya. Kita hidup dengan melakukan perbuatan yang sia-sia karena berusaha memberikan bentuk pada kebahagiaan yang kita kejar, padahal kebahagiaan itu sebenarnya hanyalah sebuah kondisi yang kita rasakan bukan sebuah bentuk yang bisa dinilai seperti kekayaan, kekuasaan, ego, kepuasan, dan lain-lain yang merupakan bentuk pengakuan diri. Jadi, ketika kita sibuk menciptakan nilai-nilai dan konsep-konsep dalam pemikiran kita ini, kita lupa merasakan atau mencari rasa "bahagia" dalam diri kita sendiri. Oleh karena itulah ketika kita masih hidup dalam konsep benar dan salah, senang dan susah, puas dan tidak, kaya dan miskin, dan selalu mencari keadilan akan hal ini, maka corak penderitaan akan mengikuti hidup kita sebagai konsekuensinya. Hal ini terjadi demikian karena ketika pengakuan kita akan kondisi tidak sesuai atau berubah, maka kita akan hidup menderita.
Sama seperti seorang yang menjaring angin kesana-kemari berlari-lari. Tidak akan pernah menyadari bahwa angin itu sudah ada dalam jaringnya tetapi sudah berbeda setiap saat. Ketika ia berlari kesana-kemari apa yang ia dapat hanyalah sampah yang berterbangan di udara. Ia selalu melewatkan kesempatan menikmati bagaimana ia bisa menangkap angin hanya dengan kedua tangannya. Merasakan bagaimana angin itu menyapu lembut kulit tangan dan wajahnya. Ini sama dengan kita yang selalu berlari kesana-kemari mencari kebahagiaan atau kepuasan pemikiran padahal kebahagiaan itu hanya terletak pada bagaimana kita kita bisa merasakan kebahagiaan itu dalam diri kita sendiri.
Bagaimana kita bisa merasakannya hanya bisa dilakukan dengan melepaskan nilai-nilai pemikiran dan merasakan kebebasan dari penjajahan pemikiran yang mengandung penilaian terhadap rasa bahagia itu sendiri, tanpa melakukan penilaian maka kita bisa berbahagia dalam kondisi apapun dalam proses kamma kehidupan kita ini. Dalam kondisi baik atau tidak baik, kita mampu menikmati kebahagiaan. Kita bisa terlepas dari konsepsi-konsepsi dan penilaian akan nilai baik dan buruk, dengan demikian kita bisa melakukan pengendalian penilaian pada tingkatan apapun dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, maka kita dapat selalu merasakan sentuhan lembut kebahagiaan pada hati kita yang terdalam setiap saat tanpa harus berlarian kesana-kemari hanya untuk mengumpulkan penderitaan yang tiada hentinya.
Demikianlah semoga mereka yang sudah mengerti dan bisa menerima hakekat kehidupan yang sesungguhnya memiliki corak dukkha, anicca, dan anatta ini bisa hidup lebih bahagia. Berbahagia dengan memahami dan menjalankan hidup dalam kondisi kamma masing-masing. Seimbang dalam mengukur nilai-nilai sesuai dengan kondisinya. Semoga semua makhluk berbahagia dengan kebijaksaannya._(Sang Atta)