Menjelajah Ke Puncak Keridaan Allah

ahmady

New member
Pilar utama keimanan adalah rida Allah dengan penganugerahan hidayah-Nya. Keluasan kasih sayang Allah bukanlah terukur oleh kekuatan juang seorang hamba, melainkan tercurahkan dengan kehendak-Nya sendiri. Kita sering merasa telah berjuang dan berhak atas perjuangan kita. Sesungguhnya bukanlah seperti itu dalam kedudukan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Berkuasa. Wujud keluasan kasih sayang Allah kepada orang-orang yang beriman terindikasi dari kehadiran-Nya sebagai Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Atas dasar kemahabijaksanaan-Nya lah semua yang berkhidmat berjuang mengikuti Jalan-Nya ditunjuki kepada sebuah kepastian pertolongan Allah. Mustahil tanpa pertolongan Allah sang pengembara kemuliaan dapat mereguk nikmatnya menghadap kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana di ‘Arasy-Nya. Keutamaan sang penjelajah kerinduan tak dapat dilimpahkan semata-mata atas perjuangannya sendiri selain karena Allah Yang Maha Penyayang tak pernah berhenti melakukan ‘bimbingan’ keridaan kepadanya.

Kemaujudan Allah dalam keluasan ilmu-Nya sudah terukir di hati sang penjelajah cinta sejati. Tampak terang pada jiwanya seusai kesulitan menyibak sejumlah kepalsuan sang penggoda yang kerap menghalangi jalan menuju kepada-Nya. Jalan-jalan kemuliaan pun diperlihatkan dan ditunjuki dengan penuh kasih sayang-Nya yang tak terbantahkan oleh jiwanya. Maka, bergetarlah jiwanya tanpa sedikit pun tertolak oleh keangkuhan akalnya. Kemuliaan-Nya telah menggeser rasa kepenatan sang pengukir kepastian janji Tuhannya dalam memenuhi kehendak-Nya di hadirat-Nya.

“Mutiara Al-Hikmah” telah diraihnya karena keridaan-Nya. Pada puncak keridaan Allah, sang penjelajah semakin bertambah kuat tingkat keyakinannya. Dari hari ke hari kian tampak Sang Maha Guru rida mengantarkan kepada kehendak-Nya. Terhempaslah sang nafsu penjerat kenistaan menjauh oleh kekuasaan Tuhannya.

إن ينصركم الله فلا غالب لكم وإن يخذلكم فمن ذا الذي ينصركم من بعده وعلى الله فليتوكل المؤمنون

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal” (QS. Ali Imran: 160).

Perekat cinta telah dilulurkan pada kedalaman hatinya. Karena itu, jiwanya telah menyatu bersama dengan keluasan ilmu-Nya. Jiwanya berada di dalam kemaujudan Sang Maha Penyayang. Tak ada satu bagian dari tubuh jasmaniyahnya berbuat, melainkan mengikuti petunjuk-Nya. Telah diikat sangat kuat dengan keluasan pengetahuan-Nya.

Allah pun rida mengulurkan “Tangan Kekuasaan-Nya” kepada orang yang begitu berani melintasi wilayah kegaiban demi menjemput cinta-Nya. Antara Allah dengan sang perindu saling “melepas kerinduan,” layaknya orang tua yang sangat mendambakan anaknya yang telah lama tidak bertemu. Perjumpaan yang tidak dapat terhindar dengan ridha-Nya pun terus terjadi. Amanat-Nya telah diberitakan dalam kumpulan rahasia Ilahi.

Puncak Keridaan

Berada di puncak keridaan tak bedanya orang yang telah menempuh perjalanan yang demikian melelahkan dan membutuhkan kesabaran, terus mendapatinya sampai ke tempat yang dituju! Keadaan apa pun, demi mencapai PUNCAK KERIDAAN ALLAH, tak dihiraukan selain berpegang teguh dengan keyakinannya akan kepastian janji Allah untuk menjumpai hamba-Nya yang telah berjuang dengan sungguh-sungguh. Lebih lama untuk meraih apa yang ada di PUNCAK KERIDAAN ALLAH itu bertambah semakin memperkuat kedudukan hati-ruhaniyah yang telah terlatih dan tak pernah merasa lelah mengabdikan dirinya untuk meraih cinta-Nya.

Aqidah yang mendasari pelaksanaan ‘ubudiyah sama sekali tidak asal diperbuat. Justru bertambah semakin khusyuk apa yang selama ini diduga ada, ternyata benar-benar ada di dalam wujud-Nya yang tak terlihat oleh mata zahirnya. Allah Swt ada di dalam kehendak-Nya yang telah dipahami oleh sang perindu setia-Nya. Keduanya ada di dalam pencurahan kasih sayang-Nya. Penyayang tak lagi menyembunyikan pentingnya kehendak-Nya kepada sang pencari keridaan-Nya.

Pengetahuan yang telah didapati oleh sang pendamba atas keridaan Allah melekat di dalam jiwanya. Maka, apa yang diketahui di dalam hatinya tak terbantahkan bahwa itulah puncak keridaan Allah atas dirinya. Dirasakan dan diyakini dengan sangat kuat bahwa keluasan pengetahuan yang ada pada hatinya bersumber dari Sang Pemilik Kebenaran.

Hatinya terliputi oleh pancaran cahaya-Nya yang tak sanggup iblis laknatullah ‘alaih merongrong dirinya. Telah sangat jelas kebohongan iblis tertangkap oleh keluasan ilmu-Nya. Al-Haq benar-benar telah menunjukkan kepalsuan dari kebenaran. Kelihaian iblis tak lagi sulit dimentahkan dengan kekuasaan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Akal manusia soleh yang tak ada sedikit pun keraguan akan kemahabesaran Allah tersebut benar-benar telah mendapati perlindungan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tipu daya iblis laknatullah ‘alaih selama menjelajah ke ‘Arasy Allah telah disingkirkan oleh ketulushatian jiwanya. Akalnya tak lagi mudah dibohongi, dihasut dan dijebak oleh kecerdikan musuh nyatanya (‘aduwwun mubin).

Puncak keridaan Allah telah benar-benar berasimilasi dengan keutamaan dirinya disebabkan karena Allah Yang Maha Mulia telah mengangkat dirinya pada derajat mulia di sisi-Nya. Apa pun yang disuarakan di dalam hatinya tak pernah tertolak. Perhatian akan petunjuk hatinya selama itu dituruti tanpa ada keraguan. Suara yang hadir di dalam hati adalah suara kebenaran yang telah dipancarkan oleh Allah karena ketundukan dan kepatuhan mengikuti perintah Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raaf: 205).

Ketundukan dan kepatuhan mengikuti perintah Allah benar-benar telah mendatangkan petunjuk-Nya. Dari dalam hatilah suara kebenaran ditangkap dengan sangat jelas. Bukan kepalsuan yang berasal dari bisikan iblis laknatullah ‘alaih. Al-Qur’an yang mulia telah menunjukkan bagaimanakah iblis telah berikrar tak akan menyesatkan hamba-hamba Allah yang mukhlis.

إلا عبادك منهم المخلصين

“kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka" (QS. Al-Hijr: 40).

Ikhlas adalah kata kunci untuk menggapai terlindunginya dari penggoda iman di dada. Keridha’an Allah tercurahkan ke dalam jiwa sang penakluk kepalsuan musuh-musuhnya, yang adalah sang makhluk pembangkang atas perintah Tuhannya. Ikrar yang kuat di dalam hatinya tak tergoyah oleh bujuk rayu iblis sang durjana.

Adakah kini penilaian pada jiwanya tertulis di keluasan pengetahuan-Nya? Insan yang tak pernah putus sedetik pun dari memuliakan Sang Maha Penguasa Hari Pembalasan semakin tampak sulit dimengerti oleh keangkuhan akal kaum mukmin yang belum tergerak hatinya untuk menambatkan rasa cinta kepada Tuhannya Azza wa Jalla. Keluasan ilmu Tuhannya meretas ke seluruh bagian jiwa dan raganya. “Aku adalah Mata, yang dengan-Nya dia melihat. Aku adalah Telinga, yang dengan-Nya dia mendengar. Aku adalah Tangan, yang dengan-Nya dia beraktivitas. Aku adalah Kaki, yang dengan-Nya dia melangkah.”

Multidimensi yang ada pada jiwanya telah menumbuhkan rasa kesadaran yang tidak tereliminasi oleh keterbatasan fisik-jasmaniyahnya. Secara dhohir tak terlihat dia adalah umat Rasulullah Saaw yang telah melampaui batas-batas yang takkan terjangkau oleh kejeniusan akal, kecerdesan otak, kemumpunian dalam berargumentasi, kecemerlangan berpikir, penguasaan IPTEK, kehandalan dalam berpolitik, kepiawaian berorasi, kepandaian bernegosiasi, kekayaan literatur ilmu pengetahuan lahiriyah dan berbagai keunggulan akal manusia lainnya. Perhatian terhadap keutamaan mempersiapakan kehidupan di Hari Kemudian bukanlah isapan jempol yang dipenuhi dengan ketidakkonsistenan jiwanya, melainkan dilalui dengan merendahkan diri dan rasa takut ketika menghadap kepada Sang Maha Pencipta lagi Maha Hidup.

Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah. Syahadat diikrarkan bukanlah lipstik untuk menguatkan akan pengakuan keislamannya, melainkan suatu komitmen jiwa dan raganya dalam penghambaan dirinya di hadapan kemahabesaran Allah. Pengakuan tidaklah cukup menjadi kesaksian akan keteguhan imannya, melainkan baru sebatas pengakuan diri. Islam adalah agama Allah yang telah didudukkan di atas kemuliaan-Nya. Karena itu, mustahil Allah tidak menguji orang-orang yang telah berikrar mengaku beriman kepada-Nya.

Akhlaknya adalah sebagaimana kehendak-Nya. Ucapannya adalah apa pun yang disuarakan dari dalam hatinya, mengikuti apa yang didengarnya dari keluasan ilmu Allah. Seorang yang telah mencapai puncak keridaan Allah seolah tak pernah habis dibicarakan dari berbagai sisi kehidupannya, selain dia adalah umat Rasulullah Saw yang senantiasa tunduk dan patuh hatinya mengikuti petunjuk dari Dia Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Peribadatan orang yang telah mendapati puncak keridaan tak ubahnya seorang yang dimabok cinta yang tak mau sedetik pun jauh dari sang kekasihnya. Cintanya kepada Allah tak menjadikan sang penempuh keutamaan lupa akan dirinya, justru semakin terlihat akan kedudukan dirinya di hadapan keluasan kasih sayang Allah. Pikirannya semakin menunjukkan keluasan ilmunya, yang tak diperolehnya selain karena keridha’an Allah Yang Maha Bijaksana mengilhamkan ke dalam jiwanya. [ ]
 
Back
Top