nizhami
New member
Menjemput Ira
Gema adzan subuh baru saja berlalu saat kudatangi Ira di kamarnya, dengan mukena putih yang masih terpakai ia sedang tengah sibuk berdo'a di sisi tempat tidurnya. Tangannya menengadah penuh harap, "Yaa 'Allah, ampunilah segala dosa-dosaku.." katanya lirih. Ku hanya berdiri dibelakangnya tanpa sedikitpun dia sadari.
Tak lama kemudian terdengarlah bacaan surah ar-Rahmaan mengalun merdu dari bibir Ira, surah yang memang sangat disukainya. "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?", ahhhhh 31 ayat berbunyi sama dalam satu surah ini selalu saja membuatku tergetar.
"assalaamulaikum.." sapaku saat dia menutup dan mencium lembut mushaf al-Qur'an.
"waalaikum-salaam.." jawab Ira santun sambil berdiri dan meletakkan mushaf al-Qur'an di atas meja. Dengan perlahan dia membalikkan badan dan sedikit terkejut melihat kedatanganku yang begitu tiba-tiba, sejurus kemudian dia pun tersenyum, "Hari ini?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. Pancaran wajah penuh keikhlasan begitu menyelimuti wajahnya.
Ku berjalan menyusuri kamar, wangi tubuhku dengan segera menyebar ke setiap sudut kamar. Untuk menjemput Ira memang telah kupersiapkan lama, kuberdandan serapi mungkin, sewangi mungkin, seindah mungkin, semenarik mungkin. Ira datang kepadaku, meraih dan mencium lembut punggung telapak tangan kananku dengan penuh rasa cinta kasih, kemudian dia tersenyum bahagia. Ya.. hari ini adalah hari terbesar dalam perjalanan cintanya.
Sesuai jadwal, 3 jam lagi ku harus membawanya ke suatu tempat yang telah ditentukan.
Ku hanya berdiri mematung saat Ira mulai membersihkan tempat tidur, menyapu rumah, mengisi bak mandi, menyapu halaman, memasak air, memasak nasi beserta lauknya, dan bersiap diri untuk berangkat bekerja hari ini. Tak terasa sekitar 2 jam Ira melakukan semua itu, aktivitas yang dilakukannya setiap hari dengan tanpa sedikitpun ia pernah mengeluh.
"Hmmm.. kurang satu jam lagi.."
Kubuka kembali catatan kecilku, Ira, 24 tahun, belum menikah. Seorang gadis dengan perjalanan hidup yang cukup tertata rapi. Bahkan minggu depan Ira berencana melangsungkan pernikahan. Sebelum itu, tak henti-henti Ira melaksanakan shalat istikharah setiap malam untuk meminta petunjuk akan calon suaminya tersebut sebelum akhirnya memantapkan hatinya Lil-'Illahi-Ta'ala. Bisa kubayangkan betapa bahagia Ira bila saat itu tiba. Dan bukankah pernikahan adalah separuh dari iman? Sungguh, beruntung laki-laki yang mendapatkan gadis seperti Ira.
Dirumah yang sederhana namun cukup rapi ini Ira tinggal bersama kedua orang tuanya yang telah pensiun. Ira sebenarnya bukan anak satu-satunya di keluarga ini, adik laki-lakinya meninggal 2 tahun yang lalu karena terserang demam berdarah di usia 14 tahun. Tiada lagi terbilang betapa besar cinta Ira kepada kedua orang tuanya, begitu pula sebaliknya.
Saat sarapan pagi, dari kejauhan kulihat Ira begitu manja kepada orang tuanya, seperti anak kecil dengan riangnya dia duduk dipangkuan ibunya, suapan demi suapan sang ibu memenuhi mulutnya, sementara sang ayah dengan sabar menuangkan minum untuknya. "Seminggu lagi menikah kok masih seperti anak kecil Ra..?" kata sang ayah sambil mencubit pipi Ira. "Biarin.. pipi yang kiri juga dicubit dong yah.." sahut Ira manja. Mereka pun tertawa bersama. Ku tersenyum bahagia melihat itu semua. Betapa pagi yang indah, adakah yang lebih indah dari ini?
Manusia.. sering tertipu dengan mengejar berbagai kebahagiaan cinta yang selalu diimpikannya, tapi terkadang justru mengabaikan kesederhanaan cinta manusia-manusia di sekelilingnya, cinta yang justru tanpa pamrih.
Hp Ira berdering, dari Gilang, calon suami yang begitu dia cintai, yang mengabarkan bahwa pagi ini tidak dapat menjemput Ira seperti biasanya, ada urusan pekerjaan yang harus segera diselesaikannya di luar kota. Gilang, oleh keluarga Ira dikenal sebagai laki-laki yang baik, alim dan juga seorang pengusaha muda yang cukup berhasil. Ira menutup hp-nya, menghela nafas panjang dan melirik kecil kearahku untuk kemudian dengan cepat tersenyum kembali.
Air mata Ira mengalir lembut ketika dia memeluk erat ibu yang sangat dicintainya. Sementara sang ayah hanya mengelus lembut rambut anak gadis satu-satunya itu. "Kamu kenapa nduk? Pagi ini manja banget? Sudah jangan menangis terus, nanti terlambat masuk kerja." kata sang ibu sambil membersihkan butir-butir air di sudut mata Ira. Ira hanya menggelengkan kepala menatap wajah ibunya dan kembali memeluknya, tak ketinggalan pula sang ayah, Ira menciumi pipi mereka satu persatu, seakan begitu berat bagi Ira untuk berpisah dengan mereka pagi ini. Tak lama kemudian Ira pun segera berangkat bekerja.
Didalam taksi, tak banyak hal yang kami bicarakan, hanya sesekali saja dia mencuri pandang kearahku.
Matahari pagi bersinar cerah, mata Ira menerawang jauh keluar jendela taksi, di luar sana manusia-manusia memulai aktivitas mereka masing-masing hari ini. "Bagaimana dengan kedua orang tuaku?" tanya Ira tiba-tiba sambil menatapku. Ku hanya tersenyum tak memberikan jawaban.
Di depan, sopir taksi membesarkan volume radio, lagu dari sebuah stasiun radio mengalun pelan, lagu dari Opick, Teranglah Hati,
Perlahan kurasakan hangat tangan Ira begitu erat memegang tanganku, dia menangis. "Maaf.." kata Ira pelan sambil bergegas melepaskan pegangan tangannya dariku untuk kemudian menyeka air matanya. Sungguh.. Ira adalah gadis baik yang begitu berbakti kepada orang tua, namun semua ketetapan adalah milik-Nya, manusia boleh berencana seindah mungkin namun terkadang 'Allah mempunyai rencana sendiri yang manusia tidak mengetahuinya."..Kepada 'Allah semua kan berakhir.. Waktu dan dunia hanyalah milik-Nya.. Suka dan duka bagai nyanyian yang mengiringi setiap langkah kita.. Gelap menghilang cahaya-Mu menerawang.. Mendung berlayar angin yang menghantarkan.."
"Tak terasa, kurang dua menit lagi.."
Taksi berhenti, kantor tempat Ira bekerja ada di seberang jalan, demi menghemat waktu daripada taksi memutar jauh Ira pun memutuskan turun dari taksi untuk kemudian menyeberang jalan. Dia kembali menatapku dalam-dalam, meraih tanganku dan melepaskannya perlahan.
Dengan menenteng tas kecil, Ira setengah berlari untuk menyeberang jalan yang memang tidak ada zebra cross ataupun jembatan penyeberangan.
Kudiam berdiri di pinggir jalan, kupandangi Ira yang tengah menyeberang jalan, awan gelap berarak datang seakan memburamkan cahaya pagi ini, kupejamkan sejenak mataku, waktu pun melambat.. Kubuka perlahan kedua mataku dan kulihat..
Tubuh Ira melayang seperti kertas tersapu angin, tubuhnya terpental ke udara dan terhempas hebat di atas kerasnya aspal jalan, terseret belasan meter untuk kemudian berhenti setelah dengan kerasnya menghantam pembatas jalan. Darah berwarna merah tua pekat pun dengan segera menggenangi aspal. Sebuah sedan dengan kecepatan sangat tinggi telah menghajar tubuh gadis itu tanpa ampun sebelum kemudian menabrak pagar sebuah rumah.
"Tepat waktu.."
Kutersenyum.. kukepakkan 70.000 sayapku, terbang.. dan kudatangi tubuh Ira yang tengah tergolek lemah. Kupandangi mata nanarnya, kuelus wajah bersihnya yang kini berlumur darah, "Kekasihmu memanggil, tugasmu telah usai, sebutlah nama Tuhanmu, bertahanlah sebentar karena ini akan sedikit sangat menyakitkan.." bisikku.
"asyhadu-an-Laa-illaha-illa-'Allah wa-asyhadu-anna-Muhammad-abduhu-wa-Rasul-'Allah.." suara Ira terdengar parau, bersamaan dengan itu tubuhnya menggelepar hebat, butir-butir peluh perlahan keluar membasahi dahinya.
Udara mendadak dingin, angin berhenti berhembus, daun-daun pun berhenti bergerak, bau harum semerbak menyeruak, sebanyak 700.000 malaikat turun dan bertasbih memenuhi penjuru langit untuk menyambut ruh Ira yang berseri indah.
***
Gilang tertatih-tatih keluar dari mobilnya yang ringsek bersama seorang wanita muda, kepalanya masih begitu pusing, ratusan butir ekstasi berserakan di jok mobilnya.
***
* ini saya tulis sekitar 3-4 tahun lalu dan sudah lama di blog profil ii saya, waktu itu seh saya baru kehilangan sosok seorang sahabat dan pastinya lagi galauuuuuUuuuuuuuuuuu.........
* ilustrasi gambar dari devianart