xraith
New member
Saya tidak asing dengan kata-kata ini. Semenjak duduk di bangku Sekolah Dasar, saya sudah akrab dengannya. Menyelamatkan dunia adalah ketika Satria Baja Hitam memukulkan tendangan maut kepada monster berbentuk aneh. Atau, pasukan Sailormoon ketika berhadapan dengan para tokoh jahat dari dunia kegelapan. Atau –contoh yang lain pada masa itu–, Ultraman yang bertarung dengan monster raksasa pembuat kerusakan.
Meski –saya sadari– khayal, pikiran kekanakan saya percaya begitu saja dengan misi yang sangat mulia ini: menyelamatkan dunia. Seakan-akan dunia mempunyai musuh yang harus diberantas. Atau kalau tidak, bumi akan dikuasai kejahatan. Dan ketika para tokoh utama itu berhasil membunuh penjahat, dunia bisa menjadi tenteram. Saya pun senang bukan kepalang.
Tidak hanya kanak-kanak malah, sekarang ini saya juga sangat menikmati serial Heroes yang memiliki misi yang sama itu. Ceritanya yang mengesankan membuat saya selalu penasaran. Diceritakan, para tokoh merasa menyelamatkan dunia merupakan tanggung jawab. Sementara yang lain merasa dirinya terancam dari kepunahan. Dan di antara manusia dari serial Heroes itu, mereka memiliki kekuatan “spesial” –yang disebut extraordinary.
[Spesial atau tidak, sebenarnya manusia tetap memiliki potensi yang sama: menyelamatkan atau —justru saling— memusnahkan.]
Menyelamatkan dunia, meski terdengar klise seperti cerita pada masa kanak-kanak dan serial televisi, saya rasa benar adanya. Cuma bentuk musuhnya bukan lagi monster atau kekuatan kegelapan, melainkan apa yang membahayakan bagi keberlangsungan hidup dan ancaman kiamat.
“Dunia semakin tua,” kata khatib saat berkhotbah tadi siang, “hukumnya semakin tidak beraturan. Banjir pun bisa terjadi di kala musim panas. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, di negara bagian Eropa dan India tergenang air, meski saat bukanlah musim hujan. Ini menunjukkan gejala-gejala bahwa alam tidak bisa diprediksi,” ujarnya panjang. “Iklim sudah berubah,” tambahnya.
“Telah tampak kerusakan di muka bumi dan lautan karena ulah tangan-tangan manusia yang tidak beranggungjawab,” kata sang khatib Jumat siang itu menyebut ayat. “Musibah banjir yang terjadi akhir-akhir ini adalah akibat manusia telah menzalimi alam,” katanya berkesimpulan.
Saya kemudian teringat ceramah Muhammad Syafi’i Antonio beberapa waktu lalu –yang terdengar lebih ilmiah–, bahwa bumi ini berputar pada sebuah putaran yang seimbang. “Andai saja ada lubang menganga di lapisan ozon, tentu bumi akan terbakar. Allah telah membuatnya sedemikian rupa canggihnya,” katanya mengagumi.
Meski bumi memiliki kekuatan “penyembuh diri”, ternyata kondisi itu harus didukung oleh para penghuninya.
Musuh bersama itu adalah bencana alam, kematian masal, virus, ledakan populasi, senjata pemusnah masal, serta –seperti diyakini pemerintah AS saat ini– terorisme. Karena itu, tak jarang ada lembaga-lembaga non profit yang mengampanyekan pentingnya menjaga alam agar tidak terjadi bencana; menjaga diri dari serangan virus HIV/AIDS; atau kampanye kecil semacam Keluarga Berencana.
Kesadaran akan menjaga dunia harus segera disadari mulai saat ini. Caranya dengan ‘bersahabat’ dengan alam. Menjaga kelestarian lingkungan. Tidak mencelakai alam dan juga tidak mengeksploitasinya. Konkretnya adalah menanam pepohonan, memakai produk yang bisa didaur ulang, serta menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan. Atau, beberapa kata tidak yang jumlahnya berderet-deret: tidak membangun rumah kaca (?), tidak menggunduli hutan, tidak membuang emisi, dan masih banyak lagi.
Menyelamatkan dunia, meski terdengar klise, adalah tugas nyata. Untuk itulah, negara-negara dunia perlu berkumpul membahasnya. Namun, konferensi macam apa pun —seperti konferensi perubahan iklim— atau kampanye —seperti kampanye peduli lingkungan lewat blog— tidak akan berhasil, jika setiap individu tidak merasa mempunyai tugas yang sama.
Mari kita selamatkan dunia!
Meski –saya sadari– khayal, pikiran kekanakan saya percaya begitu saja dengan misi yang sangat mulia ini: menyelamatkan dunia. Seakan-akan dunia mempunyai musuh yang harus diberantas. Atau kalau tidak, bumi akan dikuasai kejahatan. Dan ketika para tokoh utama itu berhasil membunuh penjahat, dunia bisa menjadi tenteram. Saya pun senang bukan kepalang.
Tidak hanya kanak-kanak malah, sekarang ini saya juga sangat menikmati serial Heroes yang memiliki misi yang sama itu. Ceritanya yang mengesankan membuat saya selalu penasaran. Diceritakan, para tokoh merasa menyelamatkan dunia merupakan tanggung jawab. Sementara yang lain merasa dirinya terancam dari kepunahan. Dan di antara manusia dari serial Heroes itu, mereka memiliki kekuatan “spesial” –yang disebut extraordinary.
[Spesial atau tidak, sebenarnya manusia tetap memiliki potensi yang sama: menyelamatkan atau —justru saling— memusnahkan.]
Menyelamatkan dunia, meski terdengar klise seperti cerita pada masa kanak-kanak dan serial televisi, saya rasa benar adanya. Cuma bentuk musuhnya bukan lagi monster atau kekuatan kegelapan, melainkan apa yang membahayakan bagi keberlangsungan hidup dan ancaman kiamat.
“Dunia semakin tua,” kata khatib saat berkhotbah tadi siang, “hukumnya semakin tidak beraturan. Banjir pun bisa terjadi di kala musim panas. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, di negara bagian Eropa dan India tergenang air, meski saat bukanlah musim hujan. Ini menunjukkan gejala-gejala bahwa alam tidak bisa diprediksi,” ujarnya panjang. “Iklim sudah berubah,” tambahnya.
“Telah tampak kerusakan di muka bumi dan lautan karena ulah tangan-tangan manusia yang tidak beranggungjawab,” kata sang khatib Jumat siang itu menyebut ayat. “Musibah banjir yang terjadi akhir-akhir ini adalah akibat manusia telah menzalimi alam,” katanya berkesimpulan.
Saya kemudian teringat ceramah Muhammad Syafi’i Antonio beberapa waktu lalu –yang terdengar lebih ilmiah–, bahwa bumi ini berputar pada sebuah putaran yang seimbang. “Andai saja ada lubang menganga di lapisan ozon, tentu bumi akan terbakar. Allah telah membuatnya sedemikian rupa canggihnya,” katanya mengagumi.
Meski bumi memiliki kekuatan “penyembuh diri”, ternyata kondisi itu harus didukung oleh para penghuninya.
Musuh bersama itu adalah bencana alam, kematian masal, virus, ledakan populasi, senjata pemusnah masal, serta –seperti diyakini pemerintah AS saat ini– terorisme. Karena itu, tak jarang ada lembaga-lembaga non profit yang mengampanyekan pentingnya menjaga alam agar tidak terjadi bencana; menjaga diri dari serangan virus HIV/AIDS; atau kampanye kecil semacam Keluarga Berencana.
Kesadaran akan menjaga dunia harus segera disadari mulai saat ini. Caranya dengan ‘bersahabat’ dengan alam. Menjaga kelestarian lingkungan. Tidak mencelakai alam dan juga tidak mengeksploitasinya. Konkretnya adalah menanam pepohonan, memakai produk yang bisa didaur ulang, serta menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan. Atau, beberapa kata tidak yang jumlahnya berderet-deret: tidak membangun rumah kaca (?), tidak menggunduli hutan, tidak membuang emisi, dan masih banyak lagi.
Menyelamatkan dunia, meski terdengar klise, adalah tugas nyata. Untuk itulah, negara-negara dunia perlu berkumpul membahasnya. Namun, konferensi macam apa pun —seperti konferensi perubahan iklim— atau kampanye —seperti kampanye peduli lingkungan lewat blog— tidak akan berhasil, jika setiap individu tidak merasa mempunyai tugas yang sama.
Mari kita selamatkan dunia!