Dipi76
New member
“I will round this Cape, even if I have to keep sailing until doomsday! (Aku akan selalu mengarungi semenanjung ini, walaupun harus tetap terus berlayar sampai hari kiamat menjelang!)” sumpah Kapten Hendrik Van der Decken, membahana mengalahkan amukan badai laut di perairan Cape of Good Hope (Tanjung Harapan), Afrika Selatan, pada suatu hari yang kelam di tahun 1641. Jeritan sumpah serapah di tengah keputusasaan itu membangkitkan sebuah legenda yang hingga kini masih menjadi misteri besar dalam dunia pelayaran.
Bernard Fokke yang berjuluk Hendrik “van der Decken” adalah kapten kapal salah satu kapal dagang dari armada Dutch East India Company (Vereenigde Oost-indische Compagnie – VOC), di abad 17. Ia dikenal sebagai kapten kapal yang temperamental, pemabuk dan suka bertingkah aneh. Namun kemampuan dan keterampilannya dalam berlayar sangat mengagumkan. Keahlian inilah yang membuat armada VOC memercayakan sebuah kapal dagang di bawah komandonya.
Kapal Tercepat
Kapten Van der Decken memang menyisakan catatan khusus dalam armada VOC. Ia adalah sosok legendaris. Satu-satunya kapten kapal armada VOC yang mampu melakukan pelayaran tercepat dari Batavia (Jawa) ke Holland (Belanda).
Di antara sesama pelaut, ia digosipkan telah bersekutu dengan dunia gaib, sehingga kapalnya bisa berlayar sangat cepat dan mampu mendahului jadwal pelayaran yang sudah ditentukan. Tak ada kapal lain di masanya yang mampu menandingi kecepatan kapal yang dinakhodai Van der Decken.
Suatu hari di tahun 1641, kapal yang dinakhodai Van der Decken dalam pelayaran pulang ke Holland dari Batavia. Memasuki perairan Tanjung Harapan, Afrika Selatan, cuaca berubah. Langit mendadak hitam, angin bertiup kencang dari tenggara. Dengan cepat badai mengamuk di perairan ujung selatan Afrika, membawa angin tenggara dari Samudera Hindia.
Van der Decken berupaya menyisir laut menghindari terjangan angin dan gelombang laut yang mulai meninggi. Namun dalam satu upaya, angin keras yang berhembus tiba-tiba langsung merobek kain layar kapal. Sementara terjangan gelombang dan arus merusak kemudi kapal. Kapal segera terombang-ambing dipermainkan badai.
Kapten Van der Decken sudah mengupayakan semua keahliannya. Berjam-jam ia dan seluruh kru kapal berupaya menaklukkan badai, namun upayanya sia-sia. Alam sedang mengamuk!
Bagai sebuah busa yang terapung di samudera luas, kapal besar bertiang tiga itu dipermainkan gelombang dan angin. Terkatung-katung tanpa daya. Di tengah keputusasaannya, Van der Decken pun menyumpahi langit dan bumi.
Menurut legenda, ia kemudian mengamuk dan menantang integritas Yang Maha Kuasa. Ia mengucapkan sebuah sumpah yang membangkitkan kekuatan kegelapan. Saat mendengar suara badan kapal menghantam karang, Van der Decken semakin menggila. Ia mengucapkan sumpah terakhirnya: “I will round this Cape even if I have to keep sailing until doomsday!” Dan sebuah kutukan pun terwujud.
Sejak itu kapal yang dinakhodai Van der Decken tidak pernah kembali ke Belanda. Dalam catatan pelayaran, ia juga tak pernah berlabuh di dermaga manapun di seluruh dunia. Catatan dokumen VOC di pertengahan abad 17 menyebutkan bahwa kapal itu dilaporkan hilang dalam pelayaran dari Batavia menuju Holland saat mengangkut rempah-rempah. Diduga tenggelam akibat badai di perairan Starndfontein, wilayah pantai Cape Town, Afrika Selatan.
Namun, selama tiga ratus enam puluh enam tahun sejak peristiwa itu, ratusan laporan mengalir dari ribuan saksi mata yang menyebutkan melihat penampakan kapal itu berlayar di sekitar Tanjung Harapan… kapal hantu yang kemudian melegenda sebagai Flying Dutchman!
Kapal Hantu di Tanjung Harapan
Musim panas bulat Maret 1939 di False Bay, kawasan pantai Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Sekitar 60 turis sedang berjemur di pantai Glencairn, sebuah pantai wisata berpasir putih di Cape Town. Udara panas siang itu memantulkan tabir uap air di atas lautan. Memberikan nuansa laut yang lain.
Tiba-tiba keasyikan menikmati panorama pantai terhenti manakala dari balik tabir uap air di lautan muncul sebuah noktah. Orang-orang mulanya tak menghiraukan, sampai akhirnya noktah itu semakin mendekat dan menampakkan wujudnya.
Puluhan pasang mata terpaku pada penampakan sebuah kapal kayu berukuran besar dengan tiga layar, melaju dekat pantai.
Tepuk tangan riuh dan keheranan berbaur dengan kegembiraan keenampuluh kepala yang menyaksikan pelayaran kapal kuno itu. Dengan kecepatan penuh, kapal itu melintas menuju Muizenberg walau angin tak berhembus kencang di kawasan itu. Setelah sekian lama terlihat, kapal terseubt kemudian hilang di gugus perairan berkarang.
Keenampuluh saksi mata itu kemudian ramai membicarakan penampakan kapal kuno itu. Tadinya mereka berpikir itu adalah bagian dari atraksi wisata, namun kemudian otoritas setempat mengatakan bahwa tak ada pelayaran (replika) kapal kuno abad 17 di kawasan itu. Dan kapal-kapal kayu jenis kapal dagang VOC model pertama sudah hampir seratus tahun tidak beroperasi lagi di perairan dunia.
Kesaksian enam puluh turis ini kemudian diberkaskan dalam dokumen bertanda X. Artinya sebuah fenomena yang tak terjelaskan. Para saksi mata yakin betul bahwa mereka telah melihat sebuah kapal dagang kuno, bertiang tiga, dengan buritan yang lebar dan tinggi, serta haluan yang menjorok dan lancip. Berlayar dengan kecepatan penuh di perairan Glencairn.
Bersambung
-dipi-
Bernard Fokke yang berjuluk Hendrik “van der Decken” adalah kapten kapal salah satu kapal dagang dari armada Dutch East India Company (Vereenigde Oost-indische Compagnie – VOC), di abad 17. Ia dikenal sebagai kapten kapal yang temperamental, pemabuk dan suka bertingkah aneh. Namun kemampuan dan keterampilannya dalam berlayar sangat mengagumkan. Keahlian inilah yang membuat armada VOC memercayakan sebuah kapal dagang di bawah komandonya.
Kapal Tercepat
Kapten Van der Decken memang menyisakan catatan khusus dalam armada VOC. Ia adalah sosok legendaris. Satu-satunya kapten kapal armada VOC yang mampu melakukan pelayaran tercepat dari Batavia (Jawa) ke Holland (Belanda).
Di antara sesama pelaut, ia digosipkan telah bersekutu dengan dunia gaib, sehingga kapalnya bisa berlayar sangat cepat dan mampu mendahului jadwal pelayaran yang sudah ditentukan. Tak ada kapal lain di masanya yang mampu menandingi kecepatan kapal yang dinakhodai Van der Decken.
Suatu hari di tahun 1641, kapal yang dinakhodai Van der Decken dalam pelayaran pulang ke Holland dari Batavia. Memasuki perairan Tanjung Harapan, Afrika Selatan, cuaca berubah. Langit mendadak hitam, angin bertiup kencang dari tenggara. Dengan cepat badai mengamuk di perairan ujung selatan Afrika, membawa angin tenggara dari Samudera Hindia.
Van der Decken berupaya menyisir laut menghindari terjangan angin dan gelombang laut yang mulai meninggi. Namun dalam satu upaya, angin keras yang berhembus tiba-tiba langsung merobek kain layar kapal. Sementara terjangan gelombang dan arus merusak kemudi kapal. Kapal segera terombang-ambing dipermainkan badai.
Kapten Van der Decken sudah mengupayakan semua keahliannya. Berjam-jam ia dan seluruh kru kapal berupaya menaklukkan badai, namun upayanya sia-sia. Alam sedang mengamuk!
Bagai sebuah busa yang terapung di samudera luas, kapal besar bertiang tiga itu dipermainkan gelombang dan angin. Terkatung-katung tanpa daya. Di tengah keputusasaannya, Van der Decken pun menyumpahi langit dan bumi.
Menurut legenda, ia kemudian mengamuk dan menantang integritas Yang Maha Kuasa. Ia mengucapkan sebuah sumpah yang membangkitkan kekuatan kegelapan. Saat mendengar suara badan kapal menghantam karang, Van der Decken semakin menggila. Ia mengucapkan sumpah terakhirnya: “I will round this Cape even if I have to keep sailing until doomsday!” Dan sebuah kutukan pun terwujud.
Sejak itu kapal yang dinakhodai Van der Decken tidak pernah kembali ke Belanda. Dalam catatan pelayaran, ia juga tak pernah berlabuh di dermaga manapun di seluruh dunia. Catatan dokumen VOC di pertengahan abad 17 menyebutkan bahwa kapal itu dilaporkan hilang dalam pelayaran dari Batavia menuju Holland saat mengangkut rempah-rempah. Diduga tenggelam akibat badai di perairan Starndfontein, wilayah pantai Cape Town, Afrika Selatan.
Namun, selama tiga ratus enam puluh enam tahun sejak peristiwa itu, ratusan laporan mengalir dari ribuan saksi mata yang menyebutkan melihat penampakan kapal itu berlayar di sekitar Tanjung Harapan… kapal hantu yang kemudian melegenda sebagai Flying Dutchman!
Kapal Hantu di Tanjung Harapan
Musim panas bulat Maret 1939 di False Bay, kawasan pantai Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Sekitar 60 turis sedang berjemur di pantai Glencairn, sebuah pantai wisata berpasir putih di Cape Town. Udara panas siang itu memantulkan tabir uap air di atas lautan. Memberikan nuansa laut yang lain.
Tiba-tiba keasyikan menikmati panorama pantai terhenti manakala dari balik tabir uap air di lautan muncul sebuah noktah. Orang-orang mulanya tak menghiraukan, sampai akhirnya noktah itu semakin mendekat dan menampakkan wujudnya.
Puluhan pasang mata terpaku pada penampakan sebuah kapal kayu berukuran besar dengan tiga layar, melaju dekat pantai.
Tepuk tangan riuh dan keheranan berbaur dengan kegembiraan keenampuluh kepala yang menyaksikan pelayaran kapal kuno itu. Dengan kecepatan penuh, kapal itu melintas menuju Muizenberg walau angin tak berhembus kencang di kawasan itu. Setelah sekian lama terlihat, kapal terseubt kemudian hilang di gugus perairan berkarang.
Keenampuluh saksi mata itu kemudian ramai membicarakan penampakan kapal kuno itu. Tadinya mereka berpikir itu adalah bagian dari atraksi wisata, namun kemudian otoritas setempat mengatakan bahwa tak ada pelayaran (replika) kapal kuno abad 17 di kawasan itu. Dan kapal-kapal kayu jenis kapal dagang VOC model pertama sudah hampir seratus tahun tidak beroperasi lagi di perairan dunia.
Kesaksian enam puluh turis ini kemudian diberkaskan dalam dokumen bertanda X. Artinya sebuah fenomena yang tak terjelaskan. Para saksi mata yakin betul bahwa mereka telah melihat sebuah kapal dagang kuno, bertiang tiga, dengan buritan yang lebar dan tinggi, serta haluan yang menjorok dan lancip. Berlayar dengan kecepatan penuh di perairan Glencairn.
Bersambung
-dipi-