Kalina
Moderator
Imlek 2558 benar-benar menjadi hari yang spesial bagi warga Tionghoa. Tradisi ini menjadi momen dan untuk mempererat tali persaudaraan bagi sesama.
Siang itu, di rumah Li Ken Miauw tampak lebih semarak dari hari biasanya. Tiga anaknya berkumpul, demikian juga dengan kerabat lain yang kebetulan juga sedang ber-anjangsana di rumah mungil di Jalan Cokroaminoto itu. "Sherly ini belum lama pulang dari Surabaya. Demikian juga dengan kakaknya, Sinyo," tutur laki-laki usia 50 tahun ini.
Tampak lebih rame. Apalagi rumahnya yang mungil pun diberi hiasan-hiasan yang dominan berwarna merah. Ada hiasan yang khusus digantung di atap. Hiasan ini mirip poster dengan warna dominan merah. Namun, di sekelilingnya penuh dengan tulisan China. Sementara di dinding ruang tamu juga ditempel poster lucu sepasang anak laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian adat China. Belum lagi, manik-manik kecil yang ditaruh di atas meja ruang tamu tersebut. "Sebetulnya masih banyak. Tapi, hiasan yang lucu-lucu seperti ini kebetulan anak-anak suka," lanjutnya. Dia juga mempersiapkan amplop-amplop (dominan merah) untuk angpao untuk diberikan ke anak-anak yang datang.
Imlek atau tahun baru China, di mata warga ini sebenarnya tak ada yang menonjol dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baginya, makna utama dari Imlek adalah mempererat tali kekeluargaan serta persaudaraan sesama. Nah, salah satu tradisi leluhur yang dipegang untuk mewujudkan itu adalah menyuguhkan diampan atau kue keranjang. "Kue ini bahan bakunya dari ketan dan gula. Punel dan manis. Bagi kami, kue ini adalah simbol keakraban atau kebahagiaan sepanjang masa," jelasnya. Kue keranjang ini pun hanya bisa dibeli di toko-toko tertentu saja. Biasanya, akan disuguhkan pada keluarga dan sanak saudara tepat hari H perayaan Imlek itu.
Sementara keluarga Kwan Kok Hong menyambut Imlek lain lagi. Menurut warga penganut Kong Hu Cu ini asal Kelurahan Sempusari Kaliwates ini, Imlek sebenarnya mirip-mirip dengan hari besar umat lain. "Imlek itu ibarat lebaran-nya orang Tionghoa," tuturnya. Karena itu, sebelum hari raya itu dia dan seluruh keluarga biasanya ke toko untuk membeli pakaian baru. Umumnya yang merah-merah. Juga,jalan-jalan atau makan bersama.
Di mata Kok Hong, puncak Imlek ini adalah malam sebelum Imlek itu sendiri. Sebab, saat itu dia dan seluruh keluarganya berkumpul jadi satu. Di situlah, keakraban dan makna Imlek terasa. Kadang diselingi dengan makan-makan bersama tanpa kecuali. Momen itujuga dimanfaatkan untuk pay-pay alias sungkem satu dengan yang lain.
"Biasanya, kalau saya baru tengah malam menjelang hari H Imlek pergi sembahyang ke kelenteng. Kalau kepepet kadang sembahyang di rumah saja bersama keluarga," lanjut tokoh yang buka usaha ekspor alat-alat dari Australia ini.
Baru, pagi harinya dia dan keluarga beranjangsana dengan kawan-kawan yang lain. "Momen ini, yang anak-anak atau yang belum kawin mendapat angpao dari yang sudah tua," lanjutnya.
Diakuinya, nuansa Imlek sekarang sungguh berbeda dengan yang dirasakan saat dia masih kecil. Dulu, setiap Imlek hiasan lampion dan lentera merah menyala sedemikian meriah di semua sudut jalan. Sekarang, hal seperti itu hampir tak ditemuinya di Jember. Bahkan, sebelum Imlek selalu ada parade liang liong dan barongsai. "Waktu kecil, tiap-tiap rumah memasang mercon kecil-kecil yang banyak dan panjang. Angpaonya ada di atas. Nah, barongsai itulah yang akan memungutinya," jelasnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh GoYu Kok, 53, warga Jalan Argopuro Rambigundam Kecamatan Rambipuji. Menurutnya, yang terasa istimewa di perayaan Imlek ini hanyalah bisa berkumpul dengan saudara yang jauh-jauh saja. "Mereka biasanya menyempatkan diri untuk pulang kampung. Bertemu satu sama lain, sungkem-sungkeman. Jadi, puncak Imlek bagi kami adalah keakraban bersama keluarga," katanya. (hadi sumarsono)
|| Jawa Pos Online ||
Siang itu, di rumah Li Ken Miauw tampak lebih semarak dari hari biasanya. Tiga anaknya berkumpul, demikian juga dengan kerabat lain yang kebetulan juga sedang ber-anjangsana di rumah mungil di Jalan Cokroaminoto itu. "Sherly ini belum lama pulang dari Surabaya. Demikian juga dengan kakaknya, Sinyo," tutur laki-laki usia 50 tahun ini.
Tampak lebih rame. Apalagi rumahnya yang mungil pun diberi hiasan-hiasan yang dominan berwarna merah. Ada hiasan yang khusus digantung di atap. Hiasan ini mirip poster dengan warna dominan merah. Namun, di sekelilingnya penuh dengan tulisan China. Sementara di dinding ruang tamu juga ditempel poster lucu sepasang anak laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian adat China. Belum lagi, manik-manik kecil yang ditaruh di atas meja ruang tamu tersebut. "Sebetulnya masih banyak. Tapi, hiasan yang lucu-lucu seperti ini kebetulan anak-anak suka," lanjutnya. Dia juga mempersiapkan amplop-amplop (dominan merah) untuk angpao untuk diberikan ke anak-anak yang datang.
Imlek atau tahun baru China, di mata warga ini sebenarnya tak ada yang menonjol dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baginya, makna utama dari Imlek adalah mempererat tali kekeluargaan serta persaudaraan sesama. Nah, salah satu tradisi leluhur yang dipegang untuk mewujudkan itu adalah menyuguhkan diampan atau kue keranjang. "Kue ini bahan bakunya dari ketan dan gula. Punel dan manis. Bagi kami, kue ini adalah simbol keakraban atau kebahagiaan sepanjang masa," jelasnya. Kue keranjang ini pun hanya bisa dibeli di toko-toko tertentu saja. Biasanya, akan disuguhkan pada keluarga dan sanak saudara tepat hari H perayaan Imlek itu.
Sementara keluarga Kwan Kok Hong menyambut Imlek lain lagi. Menurut warga penganut Kong Hu Cu ini asal Kelurahan Sempusari Kaliwates ini, Imlek sebenarnya mirip-mirip dengan hari besar umat lain. "Imlek itu ibarat lebaran-nya orang Tionghoa," tuturnya. Karena itu, sebelum hari raya itu dia dan seluruh keluarga biasanya ke toko untuk membeli pakaian baru. Umumnya yang merah-merah. Juga,jalan-jalan atau makan bersama.
Di mata Kok Hong, puncak Imlek ini adalah malam sebelum Imlek itu sendiri. Sebab, saat itu dia dan seluruh keluarganya berkumpul jadi satu. Di situlah, keakraban dan makna Imlek terasa. Kadang diselingi dengan makan-makan bersama tanpa kecuali. Momen itujuga dimanfaatkan untuk pay-pay alias sungkem satu dengan yang lain.
"Biasanya, kalau saya baru tengah malam menjelang hari H Imlek pergi sembahyang ke kelenteng. Kalau kepepet kadang sembahyang di rumah saja bersama keluarga," lanjut tokoh yang buka usaha ekspor alat-alat dari Australia ini.
Baru, pagi harinya dia dan keluarga beranjangsana dengan kawan-kawan yang lain. "Momen ini, yang anak-anak atau yang belum kawin mendapat angpao dari yang sudah tua," lanjutnya.
Diakuinya, nuansa Imlek sekarang sungguh berbeda dengan yang dirasakan saat dia masih kecil. Dulu, setiap Imlek hiasan lampion dan lentera merah menyala sedemikian meriah di semua sudut jalan. Sekarang, hal seperti itu hampir tak ditemuinya di Jember. Bahkan, sebelum Imlek selalu ada parade liang liong dan barongsai. "Waktu kecil, tiap-tiap rumah memasang mercon kecil-kecil yang banyak dan panjang. Angpaonya ada di atas. Nah, barongsai itulah yang akan memungutinya," jelasnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh GoYu Kok, 53, warga Jalan Argopuro Rambigundam Kecamatan Rambipuji. Menurutnya, yang terasa istimewa di perayaan Imlek ini hanyalah bisa berkumpul dengan saudara yang jauh-jauh saja. "Mereka biasanya menyempatkan diri untuk pulang kampung. Bertemu satu sama lain, sungkem-sungkeman. Jadi, puncak Imlek bagi kami adalah keakraban bersama keluarga," katanya. (hadi sumarsono)
|| Jawa Pos Online ||