Kalina
Moderator
Jika ada penulis skenario paling produktif dalam dua-tiga tahun belakangan, Monty Tiwa adalah salah seorang di antaranya. Bayangkan, dalam setahun ia pernah menulis skenario untuk enam film. Dan hebatnya hampir semua filmnya termasuk laris di pasaran dan ramai dibicarakan. Sebut saja ?9 Naga?, ?Denias, Senandung di Atas Awan?, ?Mendadak Dangdut? dan ?Pocong?. Padahal awal nyeburnya Monty ke penulisan skenario film dari iseng menulis di internet. ?Kerja keras lebih menentukan ketimbang bakat,? ujar Monty tentang keberhasilannya tersebut.
Sampai sekarang sudah puluhan skenario yang telah ditulis pria kelahiran Manado, 28 Agustus, 1976 ini. Yang paling anyar dan sedang digarap ke layar lebar adalah ?Mengejar Mas-Mas?. Kali ini lagi-lagi Monty bekerja sama dengan Rudi Soedjarwo. Kepada Aris Kurniawan dari Indosinema, saat ditemui dalam slametan produksi film ?Mengejar Mas-Mas? di kafe Pisa, bilangan Blok M belum lama ini, Monty mengungkapkan seputar karya terbarunya tersebut, juga kiatnya dalam menulis, dan beberapa pandangannya tentang penulis skenario film Indonesia. Berikut petikannya.
"Mengejar Mas-Mas", sudah mantap dengan judulnya tersebut?
Mantap banget. Sudah selamatan dan potong kambing segala.
Judul itu terdengar seperti main-main gitu...
Kita pernah punya sejarah. Dulu Nyak Abbas Akup membuat film dengan judul-judul yang terdengar main-main juga, seperti ?Cintaku di Rumah Susun, ?Kipas-Kipas Cari Angin,?. Kemudian Asrul Sani menulis skenario dengan judul ?Kejarlah Daku Kau Kutangkap?. Lagi pula penonton kita sudah cukup bijaksana dalam menilai sebuah film, bukan hanya dari judul belaka, tapi secara sepaket. Aku yakin film ini menarik dan mampu menghibur penonton.
Anda produktif sekali menulis skenario, apa kiatnya?
Jangan banyak tidur, begadang terus.... (terbahak)
Ada yang bilang, bahwa kalau terlalu produktif berkarya hasilnya jadi cair, kurang kuat. Menurut Anda?
Aku melihatnya justru terbalik, kalau seseorang mau menghasilkan tulisan yang bagus, ya harus menulis terus menerus. Aku percaya dengan pribahasa bisa ala biasa. Artinya banyak latihan maka dia jago. Seperti seorang pemain bulutangkis, semakin banyak berlatih, semakin bagus. Begitu juga menulis, semakin aku banyak menulis maka akan semakin banyak belajar.
Dari sekian skenario yang Anda tulis, menurutmu mana yang paling kuat?
Ini pertanyaan yang susah dijawab. Seperti pertanyaan, anak mana yang paling saya cintai. Semua anak saya, pasti saya cintai. Karya buat saya adalah seorang anak. Semua saya cintai dan punya kesan masing-masing.
Secara visualisasi yang paling mengesankan?
?9 Naga?. Film ini banyak mengecoh penonton. Banyak gambar-gambar lambat yang buat saya sangat mengesankan.
Kembali ke ?Mengejar Mas-Mas?, apa hal baru yang hendak Anda ditawarkan?
Ini cerita komedi yang beda dan kurasa belum pernah ada di film-film Indonesia. Ada unsur lokalitas. Selama ini orang-orang daerah menggugat pada kita, bahwa kenapa kalo bikin film selalu memusat ke jakarta. Film ini memberi jawaban atas gugatan itu. Kita syuting di Sukabumi dan Jogja. Ini untuk membuktikan bahwa bikin film tidak hanya di Jakarta, di daerah pun sangat potensial.
Kenapa baru sadar sekarang?
Sudah dari dulu sebenarnya, cuma baru sekarang ada kesempatan. Indonesia 'kan sangat plural, multikultural. Kenapa film-film kita nggak mencerminkan pluralisme itu. Sekaranglah saatnya.
Film-film anda sering membenturkan antar satu budaya dengan budaya lain, misalnya pada ?Mendadak Dangdut?, yang membenturkan kultur MTV, dengan kultur dangdut...apa latar belakangnya...
Bukan membenturkan aku rasa, tapi justru mempertemukan. Ini merupakan cerminan kesadaran multikultural. Permasalahn besar bangsa kita dari tahun ke tahun adalah belum mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Kita bangsa yang plural tapi belum menyadari pluralisme tersebut.
Anda menulis satu skenario memakan waktu berapa lama?
Sebulan sampai dua bulan.
Biasanya tergantung mood atau memaksakan?
Mood memang sangat ngaruh. Tapi jika sudah ada deadline, saya berusaha menyelesaikan dengan kerja keras.
Bisa cerita tercemplungnya Anda dalam penulisan skenario?
Skenario pertama saya ?Andai Ia Tahu?. Mulanya saya menulis blog di internet, ternyata orang Trans Tivi, Indra Yudhistira yang kemudian menyutradarai film ?Andai Ia Tahu? tertarik. Indra kemudian lewat email meminta saya mencoba menulis 10 halaman skenario. Saya coba, Indra merasa cocok. Dari situah semua bermula dan berlanjut sampai sekarang.
Jadi penulis skenario memang cita-cita dari kecil?
Bukan cita-cita, tapi lebih karena kecemplung.
Selain skenario, Anda juga menulis novel. Tingkat kesulitannya tinggi mana?
Beda. menurutku lebih susah menulis skenario, karena aku harus mengakomodasi banyak pihak, produser, sutradara, penonton. Kalau novel saya bisa saena'e dewe, mau seberapa panjang, seberepa puitis terserah saya.
Artinya menulis skenario tidak bisa independen?
Tidak independen dalam arti tidak bisa seenaknya. Harus menjaga perasaan orang. Misalnya dalam ?Mengejar Mas-Mas?, saya mau menulis bagaimana tokoh remaja beradegan ranjang dengan pengamen, tapi saya gak enak sama perasan penonton. Tapi buat saya ini tidak mengurangi independensi saya, justu berlatih menghargai orang.
Pertumbuhan penulis skenario di Indonesia sangat minim, tidak sebanding dengan pertumbuhan PH maupun para pemain film. Menurut Anda?
Kenyataan ini tidak lepas dari faktor budaya bangsa kita yang rendah minat baca tulisnya. Apalagi generasi muda kita yang lebih banyak gaul dengan play station, dvd, dll. Seorang penulis harus gemar baca. Kalau ada penulis gak suka baca, sama dengan penerjun payung takut ketinggian.
Ada penulis skenario atau novelis yang Anda kagumi?
Aku suka banget Ahmad Tohari. Dia bisa menghadirkan masalah yang paling serius dan ringan sekaligus. Dan relevan dengan segala zaman. Aku juga suka Asrul Sani.
Menurut Anda apa kelemahan para penulis skenario kita?
Mereka tidak banyak referensi. Artinya kurang baca, malas menggali persoalan secara lebih dalam. Mereka suka menggampangkan persoalan. Baru bisa menulis diary sudah merasa bisa menulis skenario. Padahal gak segampang itu. Kebanyakan mereka hanya mengandalkan pengamatan mata yang sifatnya hanya permukaan, jadi karya mereka lebih mirip reportase, jurnalistik. Padahal dalam jurnalistik pun harus ada tahap riset. Penulis skenario kita lemah dalam hal riset, observasi, terutama riset pustaka. Sehingga hasil tulisan mereka tidak dalam, alias dangkal, tipis, gak ada isinya.
Ada pesan untuk kritikus film kita?
Beri kesempatan film kita berkembang. Jangan setiap film dihajar dengan berbagai kritik. Ingat, kita baru 6 tahun lo. Proses masih panjang. Dalam jangka panjang kita berjanji gak ngecewain penonton koq.
Anda melihat kritik film di media kita, konstruktif atau destruktif?
Ada yang membangun ada yang tidak.
Sampai kapan Anda mau menulis skenario?
Sampai punya deposito milyaran. Haahaha. Kalo sudah punya deposit milyaran, saya pengin bikin koran atau majalah.
Sampai sekarang sudah puluhan skenario yang telah ditulis pria kelahiran Manado, 28 Agustus, 1976 ini. Yang paling anyar dan sedang digarap ke layar lebar adalah ?Mengejar Mas-Mas?. Kali ini lagi-lagi Monty bekerja sama dengan Rudi Soedjarwo. Kepada Aris Kurniawan dari Indosinema, saat ditemui dalam slametan produksi film ?Mengejar Mas-Mas? di kafe Pisa, bilangan Blok M belum lama ini, Monty mengungkapkan seputar karya terbarunya tersebut, juga kiatnya dalam menulis, dan beberapa pandangannya tentang penulis skenario film Indonesia. Berikut petikannya.
"Mengejar Mas-Mas", sudah mantap dengan judulnya tersebut?
Mantap banget. Sudah selamatan dan potong kambing segala.
Judul itu terdengar seperti main-main gitu...
Kita pernah punya sejarah. Dulu Nyak Abbas Akup membuat film dengan judul-judul yang terdengar main-main juga, seperti ?Cintaku di Rumah Susun, ?Kipas-Kipas Cari Angin,?. Kemudian Asrul Sani menulis skenario dengan judul ?Kejarlah Daku Kau Kutangkap?. Lagi pula penonton kita sudah cukup bijaksana dalam menilai sebuah film, bukan hanya dari judul belaka, tapi secara sepaket. Aku yakin film ini menarik dan mampu menghibur penonton.
Anda produktif sekali menulis skenario, apa kiatnya?
Jangan banyak tidur, begadang terus.... (terbahak)
Ada yang bilang, bahwa kalau terlalu produktif berkarya hasilnya jadi cair, kurang kuat. Menurut Anda?
Aku melihatnya justru terbalik, kalau seseorang mau menghasilkan tulisan yang bagus, ya harus menulis terus menerus. Aku percaya dengan pribahasa bisa ala biasa. Artinya banyak latihan maka dia jago. Seperti seorang pemain bulutangkis, semakin banyak berlatih, semakin bagus. Begitu juga menulis, semakin aku banyak menulis maka akan semakin banyak belajar.
Dari sekian skenario yang Anda tulis, menurutmu mana yang paling kuat?
Ini pertanyaan yang susah dijawab. Seperti pertanyaan, anak mana yang paling saya cintai. Semua anak saya, pasti saya cintai. Karya buat saya adalah seorang anak. Semua saya cintai dan punya kesan masing-masing.
Secara visualisasi yang paling mengesankan?
?9 Naga?. Film ini banyak mengecoh penonton. Banyak gambar-gambar lambat yang buat saya sangat mengesankan.
Kembali ke ?Mengejar Mas-Mas?, apa hal baru yang hendak Anda ditawarkan?
Ini cerita komedi yang beda dan kurasa belum pernah ada di film-film Indonesia. Ada unsur lokalitas. Selama ini orang-orang daerah menggugat pada kita, bahwa kenapa kalo bikin film selalu memusat ke jakarta. Film ini memberi jawaban atas gugatan itu. Kita syuting di Sukabumi dan Jogja. Ini untuk membuktikan bahwa bikin film tidak hanya di Jakarta, di daerah pun sangat potensial.
Kenapa baru sadar sekarang?
Sudah dari dulu sebenarnya, cuma baru sekarang ada kesempatan. Indonesia 'kan sangat plural, multikultural. Kenapa film-film kita nggak mencerminkan pluralisme itu. Sekaranglah saatnya.
Film-film anda sering membenturkan antar satu budaya dengan budaya lain, misalnya pada ?Mendadak Dangdut?, yang membenturkan kultur MTV, dengan kultur dangdut...apa latar belakangnya...
Bukan membenturkan aku rasa, tapi justru mempertemukan. Ini merupakan cerminan kesadaran multikultural. Permasalahn besar bangsa kita dari tahun ke tahun adalah belum mampu menyikapi perbedaan dengan bijak. Kita bangsa yang plural tapi belum menyadari pluralisme tersebut.
Anda menulis satu skenario memakan waktu berapa lama?
Sebulan sampai dua bulan.
Biasanya tergantung mood atau memaksakan?
Mood memang sangat ngaruh. Tapi jika sudah ada deadline, saya berusaha menyelesaikan dengan kerja keras.
Bisa cerita tercemplungnya Anda dalam penulisan skenario?
Skenario pertama saya ?Andai Ia Tahu?. Mulanya saya menulis blog di internet, ternyata orang Trans Tivi, Indra Yudhistira yang kemudian menyutradarai film ?Andai Ia Tahu? tertarik. Indra kemudian lewat email meminta saya mencoba menulis 10 halaman skenario. Saya coba, Indra merasa cocok. Dari situah semua bermula dan berlanjut sampai sekarang.
Jadi penulis skenario memang cita-cita dari kecil?
Bukan cita-cita, tapi lebih karena kecemplung.
Selain skenario, Anda juga menulis novel. Tingkat kesulitannya tinggi mana?
Beda. menurutku lebih susah menulis skenario, karena aku harus mengakomodasi banyak pihak, produser, sutradara, penonton. Kalau novel saya bisa saena'e dewe, mau seberapa panjang, seberepa puitis terserah saya.
Artinya menulis skenario tidak bisa independen?
Tidak independen dalam arti tidak bisa seenaknya. Harus menjaga perasaan orang. Misalnya dalam ?Mengejar Mas-Mas?, saya mau menulis bagaimana tokoh remaja beradegan ranjang dengan pengamen, tapi saya gak enak sama perasan penonton. Tapi buat saya ini tidak mengurangi independensi saya, justu berlatih menghargai orang.
Pertumbuhan penulis skenario di Indonesia sangat minim, tidak sebanding dengan pertumbuhan PH maupun para pemain film. Menurut Anda?
Kenyataan ini tidak lepas dari faktor budaya bangsa kita yang rendah minat baca tulisnya. Apalagi generasi muda kita yang lebih banyak gaul dengan play station, dvd, dll. Seorang penulis harus gemar baca. Kalau ada penulis gak suka baca, sama dengan penerjun payung takut ketinggian.
Ada penulis skenario atau novelis yang Anda kagumi?
Aku suka banget Ahmad Tohari. Dia bisa menghadirkan masalah yang paling serius dan ringan sekaligus. Dan relevan dengan segala zaman. Aku juga suka Asrul Sani.
Menurut Anda apa kelemahan para penulis skenario kita?
Mereka tidak banyak referensi. Artinya kurang baca, malas menggali persoalan secara lebih dalam. Mereka suka menggampangkan persoalan. Baru bisa menulis diary sudah merasa bisa menulis skenario. Padahal gak segampang itu. Kebanyakan mereka hanya mengandalkan pengamatan mata yang sifatnya hanya permukaan, jadi karya mereka lebih mirip reportase, jurnalistik. Padahal dalam jurnalistik pun harus ada tahap riset. Penulis skenario kita lemah dalam hal riset, observasi, terutama riset pustaka. Sehingga hasil tulisan mereka tidak dalam, alias dangkal, tipis, gak ada isinya.
Ada pesan untuk kritikus film kita?
Beri kesempatan film kita berkembang. Jangan setiap film dihajar dengan berbagai kritik. Ingat, kita baru 6 tahun lo. Proses masih panjang. Dalam jangka panjang kita berjanji gak ngecewain penonton koq.
Anda melihat kritik film di media kita, konstruktif atau destruktif?
Ada yang membangun ada yang tidak.
Sampai kapan Anda mau menulis skenario?
Sampai punya deposito milyaran. Haahaha. Kalo sudah punya deposit milyaran, saya pengin bikin koran atau majalah.