ch4rlotte
New member
Wah, aku bangun kesiangan, gawat bisa dipancung sama dokter Riri sang koordinator bangsal bedah kalau semenit saja wajahku telat tampak di hadapannya. Segera aku berpakaian tanpa mandi terlebih dahulu, kemeja dipadu dengan jilbab pink dan rok hitam kurasa pilihan yang cukup segar untuk seseorang yang belum mandi, ditambah dengan sedikit polesan talc bayi, deodoran dan clinique happy womenku nampaknya aku tak dapat dibedakan lagi dengan orang yang sudah mandi, ini bukan saatnya bermanja-manja di bath up pikirku, it’s time to hurry kalau tidak dedikasiku sebagai dokter muda bisa disangsikan, hanya tersisa waktu 1 jam untuk melajukan atoz hitamku menuju Rumah Sakit di tengah jalanan Jakarta yang terkenal padat merayap, kukerahkan keberanian ekstra untuk melaju dengan kecepatan di atas biasanya dan menggocek mobil-mobil lain untuk kusalip, aku merasa seperti Tierry Henry yang sedang menggiring bola untuk sampai ke gawang, gocek sana-sini. Fiuh, akhirnya sampai di pelataran Rumah Sakit, tapi waktu semakin minim untukku, jam digital di tanganku menunjukkan 06.45, tinggal 15 menit untuk parkir dan berlari ke lantai 2 sebelum dokter Riri memanggil namaku untuk pergantian jaga.
Rrrngghh, meow..!!! Hah, apa itu… aku merasakan ada yang teraniaya karena laju ban atozku, kulihat dari spion ternyata ban kanan belakangku nampaknya membuat nyawa seekor kucing kurus berbulu cokelat melayang dengan kaki yang mengeluarkan banyak darah, ah tapi tak ada kesempatan untuk bermanis-manis pada sang kucing, aku punya tugas lebih penting di lantai 2 sana, lagipula kupikir bukanlah kesalahanku kalau sang kucing berjalan tidak lihat kanan kiri, maaf ya kucing kita dipertemukan dalam takdir yang mengenaskan, sekali lagi, sorry!!
Pas! Aku mendaratkan high heels unguku di ruang jaga saat jam digitalku berangka 06.58, minus 2 menit untuk mengusap peluh karena ketegangan yang begitu tinggi pagi ini. “Vienka Yaseer, NIM 054!”…. “Siap jalankan perintah, dok!”
Sudah 3 hari ini aku memperhatikan seorang residen bedah yang banyak dibicarakan teman-teman satu staseku, mereka bilang sang residen masih single di usianya yang hampir kepala empat. Hari ini aku berada begitu dekat dengannya, kesempatan ini kupergunakan baik-baik untuk lebih menelitinya, secara fisik pria ini memang di atas rata-rata karena wajahnya hanya berbeda 1 inci dibandingkan dengan Winky Wiryawan, penuh senyum, hanya saja ia lebih kurus dan sedikit lebih tinggi kurasa, oh ada satu perbedaan lagi, ia punya kharisma (kurasa itu sebutannya untuk seseorang yang jika kita melihatnya ada rasa sungkan dan hormat). Teman-teman tak henti memperbincangkannya, wajar kupikir dan kabarnya selain fisiknya yang bernilai 80 dan sikapnya yang bersahaja ia juga menyandang predikat summa cum laude dalam menyelesaikan pendidikan dokternya, memang pria yang nyaris sempurna. Duh ghadal bashar, batinku. Akhirnya kualihkan pandangan pada snellinya yang bertuliskan “dr. M. Ghamal”, sudahlah kurasa kurang baik berlama-lama memandangnya, lagipula sudah waktunya aku pulang, aku pun membereskan minor setku dan membuang spuit, jarum, benang serta kasa bekas yang tersisa di ruangan.
Sebenarnya selain karena perkataan teman-teman kalau dokter Ghamal itu keren dan kalem, aku penasaran dengan kegiatannya setiap pulang dari Rumah Sakit, dan itu sudah 3 hari berturut-turut kuperhatikan. Ia pasti menuju ke gedung belakang Rumah Sakit sebelum masuk ke vios silvernya, begitu pun dengan hari ini. Karena aku tak tahan lagi dengan rasa ingin tahuku tentang apa yang dilakukannya akhirnya kuputuskan untuk mengikuti dokter Ghamal, tapi ternyata keberuntungan tidak berpihak padaku, aku tak dapatkan hasil tentang apa yang dilakukan dokter Ghamal justru malu yang kudapat. Dokter Ghamal menangkapku basah-basah sedang mengikuti gerak-geriknya.
“Dik Vienka kan? Lho, kok belum pulang?” harusnya aku yang bertanya begitu, kenapa dokter juga belum pulang.
”Emmm,... iya dok, e.....” Aku bingung mau menjawab apa karena tidak mungkin aku bilang ’aku lagi ngikutin dokter abis penasaran sih’ bisa mati karena malu aku.
”Kenapa? Ada perlu dengan saya? Ko rela ngikuti saya sampai sini?” Deg!! Benar-benar ketahuan aku mengikuti dokter Ghamal sampai belakang Rumah Sakit.
“Oh, iya saya ada perlu..... em, begini.. saya mau bertanya tentang cara menentukan diagnosis BPH dengan kanker prostat dari pemeriksaan fisiknya, dok... seperti kasus Pak Darwin tadi itu lho, dok... supaya tepat begitu... iya itu.... hehe....” Hah, dasar Vienka pembohong, apanya yang bertanya tadi sudah dijelaskan dokter Paul dengan begitu gamblang. Fiuh, semoga aku tak nampak seperti terdakwa di kursi pengadilan.
“Ya ampun, dik... saya kira ada apa? Kenapa tidak tanya ke dokter Paul saja yang tadi memberikan materinya? Saya kan baru residen, beliau kan sudah profesor, kamu ini lucu ya...........” Bagus, aku semakin terlihat bodoh dan selangkah lagi aku akan benar-benar ketahuan sedang mengikutinya.
”I... iya sih, tapi.... dokter Paul kan sudah pulang... lagipula beliau bilang besok tidak datang.... sebetulnya juga saya mau bertanya tips dan trik supaya pada rectal touche untuk perabaan konsistensi prostatnya itu bisa tepat bagaimana, iya begitu.... ” Aha, alasanku luamayanlah.
”Oh, kalau itu kan dokter Paul juga bilang, BPH dalam perabaan konsistensinya lunak... iya kan? Kalau masalah ketepatan diagnosis saat men”touche” ya... alah bisa karena biasa, begitu, dik.... tipsnya banyak-banyaklah mencoba supaya tahu dengan benar perbedaannya... itu ada di rasa, dik..... bagaimana? Ada lagi yang ingin ditanyakan?”
”Itu saja, dok... terima kasih... kalau begitu maaf saya sudah ngikutin dokter sampai sini tapi Cuma mau tanya tentang itu... habisnya... saya suka penasaran kalau belum terjawab, terima kasih banyak, dok..... kalau begitu saya pulang dulu.....” Pembohong, pembohong, pembohong..... sudahlah, aku sudah terlanjur berbohong, mungkin penyelidikan berikutnya harus lebih hati-hati, hehe....
Di rumah aku mondar-mandir karena bingung, apa yang dilakukan dokter Ghamal di belakang Rumah Sakit ya. Jangan-jangan transaksi obat bius atau melakukan ritual-ritual mistis atau menemui retailer di luar pengetahuan pihak Rumah Sakit atau....... ya, berbagai atau atau lainnya bersarang di kepalaku, ah jangan suudzon, mana mungkin dokter sebaik dan seramah ia melakukan hal-hal aneh seperti yang ada di pikiranku ini. Dasar Vienka suka mengkhayal, batinku. Hanya permainan pikiran yang terobsesi menjadi Shinichi Kudo mungkin.
Daripada sibuk menganalisis tanpa kepastian lebih baik kulanjutkan saja membaca The Secretnya Rhonda Byrne.
Hari ini aku harus masuk ruang operasi untuk menemani spesialis dan residen bertarung dengan ropanasuri mereka. Tapi aku tak bisa fokus, aku memperhatikan pekerjaan dokter Ghamal, nampak begitu berbeda dengan dokter Riri yang terlihat kuat dan tegas memainkan pisaunya, dokter Ghamal begitu lembut dan teliti, dokter Ghamal nampak mengerjakan operasi dengan penuh kasih sayang. Aku tersenyum sendiri, dalam pikiranku terselip pikiran aneh, jangan-jangan mereka bertukar jiwa, dokter Riri yang wanita justru tegas sedangkan dokter Ghamal yang pria kok malah lembut ya, hihi....
Saat jadwal pulang, aku melanjutkan penyelidikan terhadap dokter Ghamal. Siang ini ia menuju ke belakang Rumah Sakit lagi, suasana belakang Rumah Sakit memang sepi dan sedikit mengerikan, hanya satu dua orang petugas kebersihan Rumah Sakit yang berlalu-lalang untuk menyapu rumput-rumput kering yang jatuh di taman bagian belakang Rumah Sakit ini, aku pun mengintip dari balik tembok. Mataku berakomodasi maksimum untuk melihat dengan jelas apa yang dilakukan dokter Ghamal.
ASTAGA!!! Aku terperanjat demi menyaksikan pemandangan di depan mataku; dokter Ghamal begitu lembut merawat 3 ekor kucing yang kesemuanya kurus dan yang membuat lututku lemas adalah aku melihat kucing yang kakinya terlindas ban atozku juga ada di sana dengan satu kaki dibalut perban, bulu cokelat yang kukenal aku pastikan itu kucing yang kupikir sudah melayang nyawanya. Ya Rabb, beliau adalah seorang residen bedah dan aku hanyalah co assisten, namun beliau begitu penuh kasih sayang pada siapapun dan pada apapun, ya sekalipun itu kucing, dokter Ghamal rela berlutut untuk merawat mereka, sedangkan aku dengan ego dan kesombongan yang begitu menjulang dengan mudah melukai seekor kucing dan membiarkannya tetap terluka. Padahal manusia adalah makhluk yang sempurna tapi mengapa nuraniku begitu cacat demi menghindari kemarahan dokter Riri aku korbankan seekor kucing yang tak bersalah, ya kucing itu tak bersalah, akulah yang bangun kesiangan sehingga terburu-buru mengendarai atozku hingga melindas kakinya. Mengapa aku melupakan kisah seorang pelacur yang masuk surga karena memberikan minum pada anjing yang kehausan, mengapa aku tak mengingat sedikit pun kisah Imam Ghazali yang membiarkan seekor lalat meminum tintanya hingga si lalat hilang dahaganya dan dengan amalnya itu Imam Ghazali pun dimasukkan ke dalam surga-Nya. Aku hanyalah seorang Vienka Yaseer, malah hampir melenyapkan nyawa makhluk-Nya, ampuni aku ya Allah................
Rrrngghh, meow..!!! Hah, apa itu… aku merasakan ada yang teraniaya karena laju ban atozku, kulihat dari spion ternyata ban kanan belakangku nampaknya membuat nyawa seekor kucing kurus berbulu cokelat melayang dengan kaki yang mengeluarkan banyak darah, ah tapi tak ada kesempatan untuk bermanis-manis pada sang kucing, aku punya tugas lebih penting di lantai 2 sana, lagipula kupikir bukanlah kesalahanku kalau sang kucing berjalan tidak lihat kanan kiri, maaf ya kucing kita dipertemukan dalam takdir yang mengenaskan, sekali lagi, sorry!!
Pas! Aku mendaratkan high heels unguku di ruang jaga saat jam digitalku berangka 06.58, minus 2 menit untuk mengusap peluh karena ketegangan yang begitu tinggi pagi ini. “Vienka Yaseer, NIM 054!”…. “Siap jalankan perintah, dok!”
Sudah 3 hari ini aku memperhatikan seorang residen bedah yang banyak dibicarakan teman-teman satu staseku, mereka bilang sang residen masih single di usianya yang hampir kepala empat. Hari ini aku berada begitu dekat dengannya, kesempatan ini kupergunakan baik-baik untuk lebih menelitinya, secara fisik pria ini memang di atas rata-rata karena wajahnya hanya berbeda 1 inci dibandingkan dengan Winky Wiryawan, penuh senyum, hanya saja ia lebih kurus dan sedikit lebih tinggi kurasa, oh ada satu perbedaan lagi, ia punya kharisma (kurasa itu sebutannya untuk seseorang yang jika kita melihatnya ada rasa sungkan dan hormat). Teman-teman tak henti memperbincangkannya, wajar kupikir dan kabarnya selain fisiknya yang bernilai 80 dan sikapnya yang bersahaja ia juga menyandang predikat summa cum laude dalam menyelesaikan pendidikan dokternya, memang pria yang nyaris sempurna. Duh ghadal bashar, batinku. Akhirnya kualihkan pandangan pada snellinya yang bertuliskan “dr. M. Ghamal”, sudahlah kurasa kurang baik berlama-lama memandangnya, lagipula sudah waktunya aku pulang, aku pun membereskan minor setku dan membuang spuit, jarum, benang serta kasa bekas yang tersisa di ruangan.
Sebenarnya selain karena perkataan teman-teman kalau dokter Ghamal itu keren dan kalem, aku penasaran dengan kegiatannya setiap pulang dari Rumah Sakit, dan itu sudah 3 hari berturut-turut kuperhatikan. Ia pasti menuju ke gedung belakang Rumah Sakit sebelum masuk ke vios silvernya, begitu pun dengan hari ini. Karena aku tak tahan lagi dengan rasa ingin tahuku tentang apa yang dilakukannya akhirnya kuputuskan untuk mengikuti dokter Ghamal, tapi ternyata keberuntungan tidak berpihak padaku, aku tak dapatkan hasil tentang apa yang dilakukan dokter Ghamal justru malu yang kudapat. Dokter Ghamal menangkapku basah-basah sedang mengikuti gerak-geriknya.
“Dik Vienka kan? Lho, kok belum pulang?” harusnya aku yang bertanya begitu, kenapa dokter juga belum pulang.
”Emmm,... iya dok, e.....” Aku bingung mau menjawab apa karena tidak mungkin aku bilang ’aku lagi ngikutin dokter abis penasaran sih’ bisa mati karena malu aku.
”Kenapa? Ada perlu dengan saya? Ko rela ngikuti saya sampai sini?” Deg!! Benar-benar ketahuan aku mengikuti dokter Ghamal sampai belakang Rumah Sakit.
“Oh, iya saya ada perlu..... em, begini.. saya mau bertanya tentang cara menentukan diagnosis BPH dengan kanker prostat dari pemeriksaan fisiknya, dok... seperti kasus Pak Darwin tadi itu lho, dok... supaya tepat begitu... iya itu.... hehe....” Hah, dasar Vienka pembohong, apanya yang bertanya tadi sudah dijelaskan dokter Paul dengan begitu gamblang. Fiuh, semoga aku tak nampak seperti terdakwa di kursi pengadilan.
“Ya ampun, dik... saya kira ada apa? Kenapa tidak tanya ke dokter Paul saja yang tadi memberikan materinya? Saya kan baru residen, beliau kan sudah profesor, kamu ini lucu ya...........” Bagus, aku semakin terlihat bodoh dan selangkah lagi aku akan benar-benar ketahuan sedang mengikutinya.
”I... iya sih, tapi.... dokter Paul kan sudah pulang... lagipula beliau bilang besok tidak datang.... sebetulnya juga saya mau bertanya tips dan trik supaya pada rectal touche untuk perabaan konsistensi prostatnya itu bisa tepat bagaimana, iya begitu.... ” Aha, alasanku luamayanlah.
”Oh, kalau itu kan dokter Paul juga bilang, BPH dalam perabaan konsistensinya lunak... iya kan? Kalau masalah ketepatan diagnosis saat men”touche” ya... alah bisa karena biasa, begitu, dik.... tipsnya banyak-banyaklah mencoba supaya tahu dengan benar perbedaannya... itu ada di rasa, dik..... bagaimana? Ada lagi yang ingin ditanyakan?”
”Itu saja, dok... terima kasih... kalau begitu maaf saya sudah ngikutin dokter sampai sini tapi Cuma mau tanya tentang itu... habisnya... saya suka penasaran kalau belum terjawab, terima kasih banyak, dok..... kalau begitu saya pulang dulu.....” Pembohong, pembohong, pembohong..... sudahlah, aku sudah terlanjur berbohong, mungkin penyelidikan berikutnya harus lebih hati-hati, hehe....
Di rumah aku mondar-mandir karena bingung, apa yang dilakukan dokter Ghamal di belakang Rumah Sakit ya. Jangan-jangan transaksi obat bius atau melakukan ritual-ritual mistis atau menemui retailer di luar pengetahuan pihak Rumah Sakit atau....... ya, berbagai atau atau lainnya bersarang di kepalaku, ah jangan suudzon, mana mungkin dokter sebaik dan seramah ia melakukan hal-hal aneh seperti yang ada di pikiranku ini. Dasar Vienka suka mengkhayal, batinku. Hanya permainan pikiran yang terobsesi menjadi Shinichi Kudo mungkin.
Daripada sibuk menganalisis tanpa kepastian lebih baik kulanjutkan saja membaca The Secretnya Rhonda Byrne.
Hari ini aku harus masuk ruang operasi untuk menemani spesialis dan residen bertarung dengan ropanasuri mereka. Tapi aku tak bisa fokus, aku memperhatikan pekerjaan dokter Ghamal, nampak begitu berbeda dengan dokter Riri yang terlihat kuat dan tegas memainkan pisaunya, dokter Ghamal begitu lembut dan teliti, dokter Ghamal nampak mengerjakan operasi dengan penuh kasih sayang. Aku tersenyum sendiri, dalam pikiranku terselip pikiran aneh, jangan-jangan mereka bertukar jiwa, dokter Riri yang wanita justru tegas sedangkan dokter Ghamal yang pria kok malah lembut ya, hihi....
Saat jadwal pulang, aku melanjutkan penyelidikan terhadap dokter Ghamal. Siang ini ia menuju ke belakang Rumah Sakit lagi, suasana belakang Rumah Sakit memang sepi dan sedikit mengerikan, hanya satu dua orang petugas kebersihan Rumah Sakit yang berlalu-lalang untuk menyapu rumput-rumput kering yang jatuh di taman bagian belakang Rumah Sakit ini, aku pun mengintip dari balik tembok. Mataku berakomodasi maksimum untuk melihat dengan jelas apa yang dilakukan dokter Ghamal.
ASTAGA!!! Aku terperanjat demi menyaksikan pemandangan di depan mataku; dokter Ghamal begitu lembut merawat 3 ekor kucing yang kesemuanya kurus dan yang membuat lututku lemas adalah aku melihat kucing yang kakinya terlindas ban atozku juga ada di sana dengan satu kaki dibalut perban, bulu cokelat yang kukenal aku pastikan itu kucing yang kupikir sudah melayang nyawanya. Ya Rabb, beliau adalah seorang residen bedah dan aku hanyalah co assisten, namun beliau begitu penuh kasih sayang pada siapapun dan pada apapun, ya sekalipun itu kucing, dokter Ghamal rela berlutut untuk merawat mereka, sedangkan aku dengan ego dan kesombongan yang begitu menjulang dengan mudah melukai seekor kucing dan membiarkannya tetap terluka. Padahal manusia adalah makhluk yang sempurna tapi mengapa nuraniku begitu cacat demi menghindari kemarahan dokter Riri aku korbankan seekor kucing yang tak bersalah, ya kucing itu tak bersalah, akulah yang bangun kesiangan sehingga terburu-buru mengendarai atozku hingga melindas kakinya. Mengapa aku melupakan kisah seorang pelacur yang masuk surga karena memberikan minum pada anjing yang kehausan, mengapa aku tak mengingat sedikit pun kisah Imam Ghazali yang membiarkan seekor lalat meminum tintanya hingga si lalat hilang dahaganya dan dengan amalnya itu Imam Ghazali pun dimasukkan ke dalam surga-Nya. Aku hanyalah seorang Vienka Yaseer, malah hampir melenyapkan nyawa makhluk-Nya, ampuni aku ya Allah................