Mrs_Sumart1
New member
Agustus 1980 silam, Presiden Libya, Moamar Qadhafi pernah menyerukan agar orang Kristen di jazirah Arab segera bertobat. Menurut Qadhafi, ?Seorang Arab yang beragama Kristen merupakan suatu penyimpangan.? Pernyataan ini diungkapkannya saat diwawancarai sebuah media harian di Libia ketika ia ditanya tentang nasib sepuluh juta orang Kristen di Arab. Tidak disangkal lagi, pendapat ini bermuatan politis. Atau kalau mau berprasangka buruk, sebenarnya Qadhafi tidak memahami sejarah kekristenan di Arab. Pemahaman Qadhafi tentang Arab dan Islam tampak reduksionis, sebagaimana umumnya orang Indonesia melihat Arab adalah Islam dan Islam adalah Arab; dua sisi mata uang. Kesalahan orang memandang sejarah mengakibatkan efek domino, seolah-olah Islam dan Kristen lahir dari dua kutub dunia yang berbeda, yakni Barat dan Timur. Kristen sampai sekarang kesannya agama Eropa yang identik dengan gaya hidup dan cara berpikir Barat. Kristen padahal muncul di zaman Isa di kawasan Arab. Hanya saja karena perjalanan panjang sejarah, Kristen lebih berkembang di Eropa dan menemukan karakternya yang khas sebagai agama orang Barat. Sampai-sampai beragam simbol kekristenan, bahkan raut muka Yesus dan Bunda Maria pun lebih mengesankan wajah Barat ketimbang Yerusalem. Sementara itu, Islam yang lebih banyak berkembang di Arab dinyatakan sebagai agama Arab. Sesuatu yang problematis tentunya.
Masa lalu Kristen ArabMemang tidak keliru kalau ada anggapan masyarakat Arab tidak menerima ajaran Kristen sebagai salah satu agama resmi di Jazirah Arab. Asumsi ini berawal setidaknya dari dua hal. Pertama, Kristen tidak mudah diterima oleh orang Arab, padahal kemunculannya lebih awal ketimbang Islam. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad lebih cocok sebagai agama Arab karena karakteristiknya yang ?modern?, politis, dan progresif. Ini sejalan dengan watak dan gaya hidup orang Arab yang kebanyakan nomad. Asumsi ini juga diperkuat oleh kenyataan dominasi politik orang Islam, setelah Muhamad berkuasa. Dengan kekuatan politiknya, Muhamad tidak hanya tampil sebagai juru dakwah, tetapi sebagai pelindung umat. Karisma Muhamad yang luar biasa menjadikan mayoritas orang Arab terikat secara ideologis dengan Islam. Sekalipun demikian kita tidak bisa menutupi fakta sejarah di masa sebelum Islam. Sejarah mencatat, kekristenan bukanlah sesuatu yang asing di negeri Arab. Di tahun 225 terdapat keuskupan di Beth-Katraye di wilayah Qatar. Kekristenan masuk ke wilayah kesukuan Himyar, Ghassan, Taghlib, Tanukh, Tayy, dan Quda?a, jauh sebelum kedatangan Islam. Seorang ratu Arab benama Maria beragama Kristen. Yang menarik adalah pendapat sejarawan Anton Wessels (1983) yang menguraikan sejarah kekristenan Arab melalui perspektif Alkitab. Dalam Kisah Para Rasul 2:11, para Rasul menceritakan, pada hari Pentakosta terdapat orang-orang Arab yang turut menyaksikan bersama para rasul, perihal perbuatan-perbuatan besar Allah, dalam bahasa mereka sendiri. Setelah pertobatan, Paulus pergi ke Arab(Galatia 1:17). Pada konsili-konsili awal ?gereja mula-mula? hadir para uskup yang berkebangsaan Arab. Ini senada dengan pendapat J Spencer dalam bukunya Christianity among The Arabs in Pre-Islamic Times (1979) yang mengatakan, pada masa pra-Islam, agama Kristen tersebar di antara orang-orang Arab. Bukti pendapat ini merujuk dari adanya gereja di wilayah yang sekarang disebut Arab Saudi, juga pada bagian selatan jazirah Arab. Pada abad kelima, terdapat keuskupan di negeri Arab. Di antaranya adalah keuskupan Hira di bawah uskup agung Nestorian yang dipimpin Kashkar. Keuskupan ini juga ditemukan di Bahrain, Qatar, dan Oman. Ada juga gereja-gereja di Kota Sana?a, Aden, dan Dhofar. Seabad kemudian, persekutuan Kristen bergerak masuk ke wilayah Yaman. Pada umumnya, orang Arab Kristen ini adalah pengikut gereja Timur, aliran Nestorian, sebagian menganut alirat Yakobit. Seorang bapa gereja bernama Isyoyabh (628-643) dari suku Seleukia, dikenal akrab dengan Nabi Muhamad, bahkan berlanjut pada masa awal kekuasaan Khalifah Umar. Umat Kristen yang mengikuti Isyoyabah merasa mendapat keuntungan karena keakraban hubungan tersebut. Para sahabat Muhamad pun tidak sungkan memanfaatkan orang Kristen dalam hal dagang dan politik. Di masa kekuasaan Muhamad, ada beberapa orang Kristen yang mendapat kedudukan di wilayah-wilayah Islam Persia seperti Kerman, Balkh, Bokhara, Seistan, Khorasan, dan Afganistan. (Joseph Stewart,1928) Di masa remaja, Muhamad juga pernah berjumpa dengan seorang rahib, bahkan mengikuti khotbah umum dari seorang pengkhotbah jalanan pada suatu pesta tahunan. Penelitian Anton Welles juga menyebutkan ada sepupu istri Muhamad yang sempat memeluk Kristen kemudian pindah Islam.
Arab, Islam, Muhamad, dan Kristen tidak melulu kita lihat sebagai fenomena teologis. Ini adalah wilayah kajian sosiologis. Wajar kalau kemudian hubungan Muhamad dengan umat beragama Kristen, bahkan Yahudi tidak bersifat konfrontatif.
Konflik PolitikUmat Kristen dan Yahudi dianggap Muhamad sebagai ?orang-orang yang dipenuhi ajaran kitab?, dan bukan orang kafir. Al-Quran sendiri tidak melihat orang-orang ahlul kitab ini sebagai musuh, kecuali mereka yang memerangi tanpa alasan yang jelas. Status kafir, menurut Al-Quran, lebih ditujukan kepada orang-orang penyembah berhala. Dari sini, jelaslah sudah tiada konflik keagamaan di jazirah Arab. Masalah kemudian muncul setelah hasrat politik lebih dominan dikedepankan ketimbang idealisme ajaran agama. Hasrat politik ini mulai masuk di lingkar kekuasaan Islam setelah beberapa tahun sahabat Nabi, Umar bin al-Khattab mulai menjalankan misi penaklukan kawasan di luar Arab yang beragama Kristen. Suku Najran dipaksa masuk Islam dan dipaksa tinggal di Irak. Pemimpin wilayah yang beragama non-Islam diganti pemimpin Islam tanpa alasan yang jelas. Hubungan Islam-Kristen makin buruk ketika Umar mengeluarkan kebijakan pajak lebih besar kepada orang Kristen. Kebijakan lain adalah melarang orang tua pemeluk Kristen membaptis anak-anaknya, dan mewajibkan mempelajari ajaran Islam. Merasa semakin terdesak, orang Kristen mencoba bertahan dengan segala upaya, termasuk meminta bantuan kekuasaan Bizantium. Suku-suku Kristen lalu bergabung dengan pasukan Yunani dan memberontak atas kebijakan Umar. Setelah Muhamad wafat tahun 632 tampaknya hampir semua penerusnya lebih memaksimalkan dakwahnya melalui instrumen politik. Tentu tren politisasi ini sejalan dengan politisasi agama Kristen di luar Arab waktu itu. Perebutan kawasan, penaklukan suku-suku sedang menjadi tren pasukan-pasukan kenegaraan. Suku Nomad seperti Banu Salih, berpegang teguh pada kekristenan, ketika di tahun 779 Khalifah al-Mahdi (775-785) hendak memaksakan agama Islam kepada mereka. Orang Kristen yang tak mau dipaksa masuk Islam terpaksa harus mengungsi ke luar negeri.Tampaknya, untuk mewujudkan tata hubungan damai antaragama, kekuasaan memang memegang peranan yang kuat. Ini dibuktikan Pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) yang mencoba menghindari wilayah keagamaan dalam politik. Harun tampaknya tidak ingin mengulang sikap al-Mahdi yang tidak simpatik kepada orang Kristen. Simpati Harun ditunjukkannya dengan merekrut resmi beberapa tokoh Kristen berada dalam istananya. Seorang dokter pribadi Harun bahkan adalah pemeluk Kristen aliran Nestorian yang taat. Kaum Nestorian yang sebelumnya diusir Mahdi bisa nyaman kembali ke kampung halamannya. Pengalaman di negeri asing selama beberapa tahun membuat orang-orang Kristen ini memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik. Oleh Harun, mereka direkrut jadi penerjemah diplomasi. Sebagaian besar mereka dijadikan tenaga pengajar bahasa di sekolah-sekolah perkotaan. Sayangnya, pada masa selanjutnya, tahun 823 khalifah al-Makmun (813-833) kembali memusuhi orang-orang Kristen. Perlakuan al-Makmun sangat diskriminatif melebihi kalifah Mahdi. Pada abad kesembilan, lenyaplah jejak terakhir kekristenan Nestorian di negeri Arab.
Sekulerisasi
Kelanjutan sejarah hubungan Islam-Kristen di masa awal di atas memuncak pada Perang Salib. Hingga kini, konflik politik itulah yang meneguhkan ciri khas konflik Islam-Kristen, termasuk di Indonesia. Sejarah konflik Islam-Kristen di atas memperlihatkan bagaimana politik independen menjadi keharusan. Istilah yang agak kurang akrab adalah sekulerisasi agama. Sekulerisasi adalah tonggak di mana agama tidak menjadi hal yang ditonjolkan pemeluknya untuk mengatasi persoalan publik. Pahit-manisnya catatan sejarah adalah kenyataan. Kenyataan di mana orang beragama sekarang harus berani memutus mata-rantai sentimen politik. Kini, Arab dan Kristen sama-sama menjadi agama yang berkembang sarat dengan muatan politis. Berbagai konflik antarumat Islam versus Kristen terjadi di berbagai tempat. Sentimen itu, antara kedua umat sesama pemeluk agama ?abrahami? ini kemudian memunculkan konflik teologis. Alih-alih terjadi pendewasaan pergaulan beragama, yang terjadi justru pendangkalan teologis dalam ruang publik keagamaan. Orang Islam merasa Kristen menjadi ancaman karena praktik kristenisasinya. Orang Kristen pun merasa Islamisasi dan pendudukan kekuasaan yang sering dilakukan umat Islam menjadi ancaman besar bagi kekristenan. Pluralisme kini didakwahkan pemimpin Islam maupun pemimpin Kristen yang sadar bahwa konflik keagamaan tidak seharusnya berlangsung. Namun, kenyataannya, pluralisme sebatas slogan terbuka di ruang publik. Di tingkat lapisan masyarakat awam istilah pluralisme sendiri tidak masuk dalam kamus keagamaan mereka. Orang Islam hidup berinteraksi dengan semangat keislaman yang sudah baku. Demikian juga dengan orang Kristen yang memiliki semangat konservatif. Sentimen tetap sentimen, terus mengalir tanpa muara. Beruntung, keberagamaan kita sudah agak rasional. Ini bisa dilihat dari kalangan Islam, NU, dan Muhamadiyah, yang sudah semakin akrab menjalin komunikasi dengan kelompok Kristen, Katholik, Buddha, dan agama lainnya. Sayangnya ini masih dalam bentuk gerakan elite. Sikap ortodoksi dan sentimen keagamaan yang cenderung irasional di kalangan pemimpin agama tradisional sampai kini masih berpotensi sebagai lahan subur politik sektarian. Kristen bukan agama Barat sebagaimana Islam bukan agama Arab. Yahudi bukan agama Israel sebagaimana Buddha bukan hak miliknya orang India. Semua agama memiliki prinsip universalitas. Dengan demikian semua orang penting memahami semangat kebajikan umat beragama lain
Masa lalu Kristen ArabMemang tidak keliru kalau ada anggapan masyarakat Arab tidak menerima ajaran Kristen sebagai salah satu agama resmi di Jazirah Arab. Asumsi ini berawal setidaknya dari dua hal. Pertama, Kristen tidak mudah diterima oleh orang Arab, padahal kemunculannya lebih awal ketimbang Islam. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad lebih cocok sebagai agama Arab karena karakteristiknya yang ?modern?, politis, dan progresif. Ini sejalan dengan watak dan gaya hidup orang Arab yang kebanyakan nomad. Asumsi ini juga diperkuat oleh kenyataan dominasi politik orang Islam, setelah Muhamad berkuasa. Dengan kekuatan politiknya, Muhamad tidak hanya tampil sebagai juru dakwah, tetapi sebagai pelindung umat. Karisma Muhamad yang luar biasa menjadikan mayoritas orang Arab terikat secara ideologis dengan Islam. Sekalipun demikian kita tidak bisa menutupi fakta sejarah di masa sebelum Islam. Sejarah mencatat, kekristenan bukanlah sesuatu yang asing di negeri Arab. Di tahun 225 terdapat keuskupan di Beth-Katraye di wilayah Qatar. Kekristenan masuk ke wilayah kesukuan Himyar, Ghassan, Taghlib, Tanukh, Tayy, dan Quda?a, jauh sebelum kedatangan Islam. Seorang ratu Arab benama Maria beragama Kristen. Yang menarik adalah pendapat sejarawan Anton Wessels (1983) yang menguraikan sejarah kekristenan Arab melalui perspektif Alkitab. Dalam Kisah Para Rasul 2:11, para Rasul menceritakan, pada hari Pentakosta terdapat orang-orang Arab yang turut menyaksikan bersama para rasul, perihal perbuatan-perbuatan besar Allah, dalam bahasa mereka sendiri. Setelah pertobatan, Paulus pergi ke Arab(Galatia 1:17). Pada konsili-konsili awal ?gereja mula-mula? hadir para uskup yang berkebangsaan Arab. Ini senada dengan pendapat J Spencer dalam bukunya Christianity among The Arabs in Pre-Islamic Times (1979) yang mengatakan, pada masa pra-Islam, agama Kristen tersebar di antara orang-orang Arab. Bukti pendapat ini merujuk dari adanya gereja di wilayah yang sekarang disebut Arab Saudi, juga pada bagian selatan jazirah Arab. Pada abad kelima, terdapat keuskupan di negeri Arab. Di antaranya adalah keuskupan Hira di bawah uskup agung Nestorian yang dipimpin Kashkar. Keuskupan ini juga ditemukan di Bahrain, Qatar, dan Oman. Ada juga gereja-gereja di Kota Sana?a, Aden, dan Dhofar. Seabad kemudian, persekutuan Kristen bergerak masuk ke wilayah Yaman. Pada umumnya, orang Arab Kristen ini adalah pengikut gereja Timur, aliran Nestorian, sebagian menganut alirat Yakobit. Seorang bapa gereja bernama Isyoyabh (628-643) dari suku Seleukia, dikenal akrab dengan Nabi Muhamad, bahkan berlanjut pada masa awal kekuasaan Khalifah Umar. Umat Kristen yang mengikuti Isyoyabah merasa mendapat keuntungan karena keakraban hubungan tersebut. Para sahabat Muhamad pun tidak sungkan memanfaatkan orang Kristen dalam hal dagang dan politik. Di masa kekuasaan Muhamad, ada beberapa orang Kristen yang mendapat kedudukan di wilayah-wilayah Islam Persia seperti Kerman, Balkh, Bokhara, Seistan, Khorasan, dan Afganistan. (Joseph Stewart,1928) Di masa remaja, Muhamad juga pernah berjumpa dengan seorang rahib, bahkan mengikuti khotbah umum dari seorang pengkhotbah jalanan pada suatu pesta tahunan. Penelitian Anton Welles juga menyebutkan ada sepupu istri Muhamad yang sempat memeluk Kristen kemudian pindah Islam.
Arab, Islam, Muhamad, dan Kristen tidak melulu kita lihat sebagai fenomena teologis. Ini adalah wilayah kajian sosiologis. Wajar kalau kemudian hubungan Muhamad dengan umat beragama Kristen, bahkan Yahudi tidak bersifat konfrontatif.
Konflik PolitikUmat Kristen dan Yahudi dianggap Muhamad sebagai ?orang-orang yang dipenuhi ajaran kitab?, dan bukan orang kafir. Al-Quran sendiri tidak melihat orang-orang ahlul kitab ini sebagai musuh, kecuali mereka yang memerangi tanpa alasan yang jelas. Status kafir, menurut Al-Quran, lebih ditujukan kepada orang-orang penyembah berhala. Dari sini, jelaslah sudah tiada konflik keagamaan di jazirah Arab. Masalah kemudian muncul setelah hasrat politik lebih dominan dikedepankan ketimbang idealisme ajaran agama. Hasrat politik ini mulai masuk di lingkar kekuasaan Islam setelah beberapa tahun sahabat Nabi, Umar bin al-Khattab mulai menjalankan misi penaklukan kawasan di luar Arab yang beragama Kristen. Suku Najran dipaksa masuk Islam dan dipaksa tinggal di Irak. Pemimpin wilayah yang beragama non-Islam diganti pemimpin Islam tanpa alasan yang jelas. Hubungan Islam-Kristen makin buruk ketika Umar mengeluarkan kebijakan pajak lebih besar kepada orang Kristen. Kebijakan lain adalah melarang orang tua pemeluk Kristen membaptis anak-anaknya, dan mewajibkan mempelajari ajaran Islam. Merasa semakin terdesak, orang Kristen mencoba bertahan dengan segala upaya, termasuk meminta bantuan kekuasaan Bizantium. Suku-suku Kristen lalu bergabung dengan pasukan Yunani dan memberontak atas kebijakan Umar. Setelah Muhamad wafat tahun 632 tampaknya hampir semua penerusnya lebih memaksimalkan dakwahnya melalui instrumen politik. Tentu tren politisasi ini sejalan dengan politisasi agama Kristen di luar Arab waktu itu. Perebutan kawasan, penaklukan suku-suku sedang menjadi tren pasukan-pasukan kenegaraan. Suku Nomad seperti Banu Salih, berpegang teguh pada kekristenan, ketika di tahun 779 Khalifah al-Mahdi (775-785) hendak memaksakan agama Islam kepada mereka. Orang Kristen yang tak mau dipaksa masuk Islam terpaksa harus mengungsi ke luar negeri.Tampaknya, untuk mewujudkan tata hubungan damai antaragama, kekuasaan memang memegang peranan yang kuat. Ini dibuktikan Pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) yang mencoba menghindari wilayah keagamaan dalam politik. Harun tampaknya tidak ingin mengulang sikap al-Mahdi yang tidak simpatik kepada orang Kristen. Simpati Harun ditunjukkannya dengan merekrut resmi beberapa tokoh Kristen berada dalam istananya. Seorang dokter pribadi Harun bahkan adalah pemeluk Kristen aliran Nestorian yang taat. Kaum Nestorian yang sebelumnya diusir Mahdi bisa nyaman kembali ke kampung halamannya. Pengalaman di negeri asing selama beberapa tahun membuat orang-orang Kristen ini memiliki kemampuan berbahasa asing yang baik. Oleh Harun, mereka direkrut jadi penerjemah diplomasi. Sebagaian besar mereka dijadikan tenaga pengajar bahasa di sekolah-sekolah perkotaan. Sayangnya, pada masa selanjutnya, tahun 823 khalifah al-Makmun (813-833) kembali memusuhi orang-orang Kristen. Perlakuan al-Makmun sangat diskriminatif melebihi kalifah Mahdi. Pada abad kesembilan, lenyaplah jejak terakhir kekristenan Nestorian di negeri Arab.
Sekulerisasi
Kelanjutan sejarah hubungan Islam-Kristen di masa awal di atas memuncak pada Perang Salib. Hingga kini, konflik politik itulah yang meneguhkan ciri khas konflik Islam-Kristen, termasuk di Indonesia. Sejarah konflik Islam-Kristen di atas memperlihatkan bagaimana politik independen menjadi keharusan. Istilah yang agak kurang akrab adalah sekulerisasi agama. Sekulerisasi adalah tonggak di mana agama tidak menjadi hal yang ditonjolkan pemeluknya untuk mengatasi persoalan publik. Pahit-manisnya catatan sejarah adalah kenyataan. Kenyataan di mana orang beragama sekarang harus berani memutus mata-rantai sentimen politik. Kini, Arab dan Kristen sama-sama menjadi agama yang berkembang sarat dengan muatan politis. Berbagai konflik antarumat Islam versus Kristen terjadi di berbagai tempat. Sentimen itu, antara kedua umat sesama pemeluk agama ?abrahami? ini kemudian memunculkan konflik teologis. Alih-alih terjadi pendewasaan pergaulan beragama, yang terjadi justru pendangkalan teologis dalam ruang publik keagamaan. Orang Islam merasa Kristen menjadi ancaman karena praktik kristenisasinya. Orang Kristen pun merasa Islamisasi dan pendudukan kekuasaan yang sering dilakukan umat Islam menjadi ancaman besar bagi kekristenan. Pluralisme kini didakwahkan pemimpin Islam maupun pemimpin Kristen yang sadar bahwa konflik keagamaan tidak seharusnya berlangsung. Namun, kenyataannya, pluralisme sebatas slogan terbuka di ruang publik. Di tingkat lapisan masyarakat awam istilah pluralisme sendiri tidak masuk dalam kamus keagamaan mereka. Orang Islam hidup berinteraksi dengan semangat keislaman yang sudah baku. Demikian juga dengan orang Kristen yang memiliki semangat konservatif. Sentimen tetap sentimen, terus mengalir tanpa muara. Beruntung, keberagamaan kita sudah agak rasional. Ini bisa dilihat dari kalangan Islam, NU, dan Muhamadiyah, yang sudah semakin akrab menjalin komunikasi dengan kelompok Kristen, Katholik, Buddha, dan agama lainnya. Sayangnya ini masih dalam bentuk gerakan elite. Sikap ortodoksi dan sentimen keagamaan yang cenderung irasional di kalangan pemimpin agama tradisional sampai kini masih berpotensi sebagai lahan subur politik sektarian. Kristen bukan agama Barat sebagaimana Islam bukan agama Arab. Yahudi bukan agama Israel sebagaimana Buddha bukan hak miliknya orang India. Semua agama memiliki prinsip universalitas. Dengan demikian semua orang penting memahami semangat kebajikan umat beragama lain