lala_lulu
New member
Survei yang dilakukan di sejumlah kota besar di Indonesia ini menghasilkan data bahwa ada delapan keluhan yang disampaikan masyarakat terhadap sikap, perilaku, maupun kinerja aparat kepolisian. Menurut responden, polisi di tempat mereka kerap arogan, diskriminatif, koruptif (suka melakukan pungutan liar), lamban memberi respons, tidak tegas (terutama dalam menghadapi orang yang memiliki kekuasaan atau uang), suka merekayasa kasus, sering melakukan kriminalisasi terhadap pihak-pihak tertentu, tidak memiliki mekanisme akuntabilitas, dan masih melekatnya budaya militeristik.
Setelah berpisah dari TNI (dulu bernama ABRI), polisi tampaknya belum mampu memberikan keyakinan kepada pengambil keputusan politik dan juga publik bahwa mereka mampu melaksanakan misinya yaitu mewujudkan penegakan hukum yang objektif, transparan, akuntabel, dan mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan. Akibatnya, kini muncul gagasan untuk menjadikan Polri di bawah salah satu kementerian. Apakah itu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, atau Kementerian Pertahanan. Polisi saat ini masih ditarik dua kekuatan yang saling bertolak belakang, tarikan untuk menjadi alat kekuasaan yang sedang berkuasa dan tarikan untuk menjadi alat negara yang mampu memantulkan kebenaran dan keteladanan, melindungi, dan memberikan rasa aman kepada masyarakat dan korban kejahatan.
Pro dan kontra mewarnai wacana reposisi polisi. Bagi yang setuju agar polisi di bahwa kementerian menilai bahwa polisi sepertinya kehilangan kontrol dan berjalan tanpa pengawasan yang ketat. Mereka berpendapat hal itu terjadi karena Polri tidak berada dibawah salah seorang menteri di tingkat pusat dan tidak dikaitkan dengan pemerintah daerah, tidak ada pejabat politik yang memegang akuntabilitas politik atas Polri, baik di pusat maupun di daerah. Karena itu, polisi praktis menentukan dan melaksanakan keputusan politik, kebijakan, dan anggarannya sendiri sehingga berpotensi mengingkari sistem kontrol dan checks and balances dari kaidah demokrasi. Dengan demikian, polisi telah menjadikan dirinya sebagai “TNI kedua” dengan dosa yang lebih besar disebabkan jauh dari kontrol publik.
Adapun pihak yang kontra menilai,meletakkan kembali polisi di bawah kementerian bukanlah solusi agar polisi tidak berwajahdua, melainkan menimbulkan masalah baru yang lebih berat. Sistem politik di Indonesia belum kuat dan sempurna dan masih menempatkan pimpinan partai sebagai menteri di kabinet, Jika polisi dikembalikan ke bawah kementerian, dikhawatirkan polisi akan menjadi “laskar” partai. Profesi polisi sebagai penegak hukum akan sangat rawan dipolitisasi dan bisa dijadikan alat untuk membunuh lawan-lawan politik.
Sumber : Sindo
Setelah berpisah dari TNI (dulu bernama ABRI), polisi tampaknya belum mampu memberikan keyakinan kepada pengambil keputusan politik dan juga publik bahwa mereka mampu melaksanakan misinya yaitu mewujudkan penegakan hukum yang objektif, transparan, akuntabel, dan mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan. Akibatnya, kini muncul gagasan untuk menjadikan Polri di bawah salah satu kementerian. Apakah itu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, atau Kementerian Pertahanan. Polisi saat ini masih ditarik dua kekuatan yang saling bertolak belakang, tarikan untuk menjadi alat kekuasaan yang sedang berkuasa dan tarikan untuk menjadi alat negara yang mampu memantulkan kebenaran dan keteladanan, melindungi, dan memberikan rasa aman kepada masyarakat dan korban kejahatan.
Pro dan kontra mewarnai wacana reposisi polisi. Bagi yang setuju agar polisi di bahwa kementerian menilai bahwa polisi sepertinya kehilangan kontrol dan berjalan tanpa pengawasan yang ketat. Mereka berpendapat hal itu terjadi karena Polri tidak berada dibawah salah seorang menteri di tingkat pusat dan tidak dikaitkan dengan pemerintah daerah, tidak ada pejabat politik yang memegang akuntabilitas politik atas Polri, baik di pusat maupun di daerah. Karena itu, polisi praktis menentukan dan melaksanakan keputusan politik, kebijakan, dan anggarannya sendiri sehingga berpotensi mengingkari sistem kontrol dan checks and balances dari kaidah demokrasi. Dengan demikian, polisi telah menjadikan dirinya sebagai “TNI kedua” dengan dosa yang lebih besar disebabkan jauh dari kontrol publik.
Adapun pihak yang kontra menilai,meletakkan kembali polisi di bawah kementerian bukanlah solusi agar polisi tidak berwajahdua, melainkan menimbulkan masalah baru yang lebih berat. Sistem politik di Indonesia belum kuat dan sempurna dan masih menempatkan pimpinan partai sebagai menteri di kabinet, Jika polisi dikembalikan ke bawah kementerian, dikhawatirkan polisi akan menjadi “laskar” partai. Profesi polisi sebagai penegak hukum akan sangat rawan dipolitisasi dan bisa dijadikan alat untuk membunuh lawan-lawan politik.
Sumber : Sindo