jainudin
New member
Konflik tanah sudah jelas mengancam di depan mata kita. Dalam dua hari,
satu konflik agrania terjadi. Semua pihak sudah resah. Mereka menuntut
presiden mengambil tindakan konkret dan cepat!
Tanah adalah benda yang suci di benak umat manusia. Bahkan, tanah
dipandang sebagai eksistensi kehidupan. Berbagai kisah peperangan sudah
jelas banyak mengisyaratkan betapa pentingnya posisi tanah itu. Tanah
adalah suatu hal yang suci dan terus diperebutkan dari masa ke masa dan
dari rezim ke rezim berbagai pemerintahan.
Harus diakui banyak cerita yang terkait soal penguasaan tanah. Di satu
sisi, ada cerita yang luhur, tapi ternyata banyak sekali cerita sedih di
balik ini, Pada masa lalu, banyak sekali raja di nusantara yang zalim dan
tega berkuasa mutlak sehingga memperlakukan, rakyat seenak perutnya saja.
Rakyat dianggap hanya sekadar budak yang bekerja di atas tanah yang
menjadi wilayah kekuasaannya.
Muhammad Tauchid. dalam bukunya Masalah Agraria Sebab gak Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat (Penerima Cakrawala 1983), mencontohkan
betapa rakyat selalu terpapár haknya cerita menuntut hak atas tanah.
Sebagai illustrasi. dicontohkan situasi di Kerajaun Mataram, baik di
Yogyakarta maupun di Surakarta. Para penguasa di dua kerajaan ini
menyatakan bahwa tanah itu “kagungan dalem”. Artinya. tanah adalah milik
sultan dan sunan. Rakyat hanya sebagai deelbouwer (pemaro) dan hanya
berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah.
yang menjadi wilayah kekuasaannya.
Muhammad Tauchid, dalam bukunya Masalah Agraria Sebagai Masalah
Penghidupan dan kemakmuran Rakyat (Penerbita Cakrawala 1983),
mencontohkan betapa rakyat selalu terpapal’ haknya ketika menuntut hak
atas tanah. Sebagai illustrasi, dicontohkan situasi di Kerajaan Mataram,
baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Para penguasa di dua kerajaan ini
menyatakan bahwa tanah itu “kagungan dalem”. Artinya, tanah adalah milik
sultan dan sunan. Rakyat hanya sebagai dee’Sbouwer (pemaro) dan hanya
berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah.
Hal serupa juga terjadi di Gorontalo. Pada hari pengobatan raja, para
kepala adat (bete-bete) menyerukan ucapan di hadapan raja, yang artinya
kira-kira, “Angin, api. air, tanah, dan semua orang yang ada di sini
adalah kepunyaan sri paduka.” Begitu juga di daerah-daerah lainnya hampir
di seantero nusantara di mana raja memerintah, menganggap bahwa segala isi
negerinya termasuk dan terutama tanah adalah hak mutlak dan raja.
Menurut Tauchid, sistem feodalisme saat itu merupakan. perbudakan, baik
dalam arti ekonomi, politik, maupun sosial kultural. Tanah dikuasai raja,
sementara rakyat yang mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan sebagian besar hasilnya. Rakyat
dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja karena
segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja
sebagai pemegang kuasa.
“Peniudakan saat itu juga disempurnakan dengan idiom-idiom
kulturalreligius, seperti dengan kata-kata ‘manunggaling kawula gusti’.
Raja menganggap dirinya sebagal wakil Tuhan di dunia untuk melindungi
rakyatnya sehingga rakyat berkewajiban mengabdi kepada raja sebagai bentuk
manifestasi pengabulan kepada Tuhan. Karena itu, pemerasan terhadap rakyat
justru dirupakan sebagai kewajiban rahiah untuk bakti sebagai kewajiban
moral spiritual yang harus dipenuhi. Rakyat bukan hanya takut karena
hukuman dan undang-undang, tetapi juga takut atas murka dan kutukan ‘Ibban
yang dimanifestasikan pada ketundukan total terhadap tatah raja,” tulis
dia.
Kepaparan rakyat ini terus terjadi. Pada kurun zaman Belanda terus
berlanjut. Meski model penguasaan tanah oleh raja dihapuskan, kepapaan
rakyat terus berlanjut. Gubernur Jenderal Raffles pada 1811 menitahkan,
“Raja-raja sudah hilang. Gubernur menjadi yang menggantikannya. Karena itulah,
Gubernur merintah yang menerima hak-hak yang dulu ada padaraja, yaitu hak
memiliki semua tanah, juga teraga rakyat bilamana diperlukan.”
“Pada saat itulah muncul beragam pengaturan atas tanah yang didasarkan
atas Ondonansi Belanda, seperti itulah Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht,
serta Hak Pakai dengan segala implikasi dari beban sosial politik yang
menyertainya,” tulis Thuchid.
Perampasan tanah rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda makin jelas
ketika pada 1870 muncul terbit agar Agrarische Wet. Saat itu, negara
Belanda ingin meraup keuntungan sebesar mungkin atas tanah jajahannya.
Maka, mereka pun membuka area tanah jajahannya untuk dijadikan ‘ladang
investasi’. Dan, berdasarkan aturan itulah kemudian rakyat beserta
komunitas adatnya digusur dari tanahnya alesan dengan bawah tanah itu
adalah ‘milik negara’. Kesengsaraan milik terus berlanjut hingga datangnya
penjara
setelah datangnya masa kemerdekaan memang terlihat mulai ada usaha terus
untuk menata soal pertanahaan. Selepas
perang kemerdekaan tampak ada usaha untuk menertibkan berbagai soal
tentang agraria. Pada dekade 1950-an, mulai muncul wacana politik mengenai
Iandrefann (reformasi agrania). Soal tanah pun dijadikan ‘perang politik’
di ajang Pemilu 1955. Usaha ini kemudian memuncak dengan disahkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal sebagai UU Pokok Agrania.
Semenjak adanya perundangan tersebut, pembicaraan dan diskusi publik
semakin kencang dengan soal kepemilikan tanah untuk rakyat. Sayangnya,
perdebatan ini kemudian terhenti setelah munculnya pemberontakan PKI 1965.
Akibatnya, semua pembicaraan mengenai tandreform dibungkam habis. Apabila
ada pihak yang berani mengatakannya maka dia segera dicap sebagai pengikut
kaum komunis dan nisikonya akan segera hidup tersia-sia karena mengalami
‘kematian perdata’. Penataan soal agamapun kurang dilaksanakan sampai
sekarang. Apalagi, kemudian muncul berbagai perundangan yang mengebiri
perundangan tersebut, yakni muneu]nya perundangan penamanam modal,
pertambangan, hingga yang paling mutakhir, perundangan tentang penentuan
kawasan dan perlmndungan hutan. Rakyat benan-benar tersia-sia.
Akibat situasi itu, maka kini sangat terasa munculnya berbagai ledakan
konflik yang disebabkan kasus sengketa tanah. Sebanyak 4.000 kasus tanah
kini menumpuk di kantor Badan Pertanahan Nasional, Jumlah ini masih sangat
sedikit biia dibandingkan jumlah keseluruhan kasus yang terdeteksi, yang
diperkirakan jumlah sudah melebihi 10 ribu kasus, Konsonsium Pembaruan
Agrania (KPS) mencatat, dalam kurun setahun terakhir, yakni pada 2012,
tercatat 176 kasus konflik tanah, Jadi, bila dirata-rata, konflik tanah di
Indonesia sudah terjadi sekali dalam dua han.
“Data KPA ada sekitar 8.000 konflik tanah pertanahan yang belum
terselesaikan di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Yang pasti, misalnya,
kami sudah menemukan 1.700 konflikagraria, Sawit Watch menyebutkan ada 660
kasus di perkebunan sawit. Begitu juga koalisi Rakyat untuk Keadilan
(Kiara) menyebutkan konflik.
menggilanya’ konflik tanah membuat para akademisi, peneliti, dan pemerhati
masalah agraria merasa sangat prihatin. Mereka kemudian membuat pelisi
agar kepala negara segera bertindak cepat mengatasinya. Sebab, bila terus
dibiarkan maka eskalasinya akan semakin berbahaya dan meluas. Kerusuhan
dan konflik sosial akan muncul di mana-mana.
“Konflik-konflik agrania yang masih dan berdampak luas merupakan penistiwa
luarbiasa. Untuk itu, dipenlukankemauan politik yang nyata untuk
mengatasinya,” kata guru besar Fakultas Hukum UGM, Manida Sumardjono.
Tak hanya kalangan akademisi yang resah melihat makin menggilanya konflik
agrania, kalangan politikus yang ada di berbagai daerah sudah melihat hal
itu sebagai ancaman serius bagi integnasi bangsa. Anggota DPRD I Provinsi
sulawesi Barat Naharuddmn mengaku, kondisi konflik agrania kini sudah
dalam posisi siap meledak. Rakyat di wilayahnya sudah memendam kemarahan
akui setelah tahu hanyak lahan pribadi dan adat mereka dialihkan secara
semena-mena oleh pemerintah atas nama kemajuan pembangunan.
Perasaan siap berkonflik itu sudah sampai ke leher. Tinggal menunggu
saja pemicunya. Situasi di bawah sudah seperti rumput kering yang siap
terbakar kapan saja. Masalah sepele seperti perkelahian anak muda,
kebut-kebutan motor, persaingan pemilukada, atau hal sepele lainnya dapat
menjadi pemicunya. Dan, seeara keeil-kecilan, konflik tanah itu pun memang
sudah terjadi. kita tinggal menunggu eskalasinya kalau tidak segera
diambil tindakan pencegahan yang drastis. Ke depan, kita bisa terus
diundang konflik,” tandas Naharuddin.
Nah, kalau begitu, tinggal lihat apa sikap kepala negara kita. Apakah
masih terus menunggu sehingga bara meledak? Yang penting lagi, apakah
masih merasa tak peduli bila rakyat kecil kini banyak sekali hidup
tersia-sia karena hak hidup atas tanahnya dirampas?
Jawabnya, mungkin hanya waktu yang bisa tahu.
Sumber : republika
satu konflik agrania terjadi. Semua pihak sudah resah. Mereka menuntut
presiden mengambil tindakan konkret dan cepat!
Tanah adalah benda yang suci di benak umat manusia. Bahkan, tanah
dipandang sebagai eksistensi kehidupan. Berbagai kisah peperangan sudah
jelas banyak mengisyaratkan betapa pentingnya posisi tanah itu. Tanah
adalah suatu hal yang suci dan terus diperebutkan dari masa ke masa dan
dari rezim ke rezim berbagai pemerintahan.
Harus diakui banyak cerita yang terkait soal penguasaan tanah. Di satu
sisi, ada cerita yang luhur, tapi ternyata banyak sekali cerita sedih di
balik ini, Pada masa lalu, banyak sekali raja di nusantara yang zalim dan
tega berkuasa mutlak sehingga memperlakukan, rakyat seenak perutnya saja.
Rakyat dianggap hanya sekadar budak yang bekerja di atas tanah yang
menjadi wilayah kekuasaannya.
Muhammad Tauchid. dalam bukunya Masalah Agraria Sebab gak Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat (Penerima Cakrawala 1983), mencontohkan
betapa rakyat selalu terpapár haknya cerita menuntut hak atas tanah.
Sebagai illustrasi. dicontohkan situasi di Kerajaun Mataram, baik di
Yogyakarta maupun di Surakarta. Para penguasa di dua kerajaan ini
menyatakan bahwa tanah itu “kagungan dalem”. Artinya. tanah adalah milik
sultan dan sunan. Rakyat hanya sebagai deelbouwer (pemaro) dan hanya
berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah.
yang menjadi wilayah kekuasaannya.
Muhammad Tauchid, dalam bukunya Masalah Agraria Sebagai Masalah
Penghidupan dan kemakmuran Rakyat (Penerbita Cakrawala 1983),
mencontohkan betapa rakyat selalu terpapal’ haknya ketika menuntut hak
atas tanah. Sebagai illustrasi, dicontohkan situasi di Kerajaan Mataram,
baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Para penguasa di dua kerajaan ini
menyatakan bahwa tanah itu “kagungan dalem”. Artinya, tanah adalah milik
sultan dan sunan. Rakyat hanya sebagai dee’Sbouwer (pemaro) dan hanya
berhak meminjam (wewenang anggaduh) atas tanah.
Hal serupa juga terjadi di Gorontalo. Pada hari pengobatan raja, para
kepala adat (bete-bete) menyerukan ucapan di hadapan raja, yang artinya
kira-kira, “Angin, api. air, tanah, dan semua orang yang ada di sini
adalah kepunyaan sri paduka.” Begitu juga di daerah-daerah lainnya hampir
di seantero nusantara di mana raja memerintah, menganggap bahwa segala isi
negerinya termasuk dan terutama tanah adalah hak mutlak dan raja.
Menurut Tauchid, sistem feodalisme saat itu merupakan. perbudakan, baik
dalam arti ekonomi, politik, maupun sosial kultural. Tanah dikuasai raja,
sementara rakyat yang mengerjakan tanah mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan sebagian besar hasilnya. Rakyat
dijadikan alat untuk kepentingan kekuasaan dan kehormatan raja karena
segala peraturan dan hukum-hukum juga dikendalikan seluruhnya oleh raja
sebagai pemegang kuasa.
“Peniudakan saat itu juga disempurnakan dengan idiom-idiom
kulturalreligius, seperti dengan kata-kata ‘manunggaling kawula gusti’.
Raja menganggap dirinya sebagal wakil Tuhan di dunia untuk melindungi
rakyatnya sehingga rakyat berkewajiban mengabdi kepada raja sebagai bentuk
manifestasi pengabulan kepada Tuhan. Karena itu, pemerasan terhadap rakyat
justru dirupakan sebagai kewajiban rahiah untuk bakti sebagai kewajiban
moral spiritual yang harus dipenuhi. Rakyat bukan hanya takut karena
hukuman dan undang-undang, tetapi juga takut atas murka dan kutukan ‘Ibban
yang dimanifestasikan pada ketundukan total terhadap tatah raja,” tulis
dia.
Kepaparan rakyat ini terus terjadi. Pada kurun zaman Belanda terus
berlanjut. Meski model penguasaan tanah oleh raja dihapuskan, kepapaan
rakyat terus berlanjut. Gubernur Jenderal Raffles pada 1811 menitahkan,
“Raja-raja sudah hilang. Gubernur menjadi yang menggantikannya. Karena itulah,
Gubernur merintah yang menerima hak-hak yang dulu ada padaraja, yaitu hak
memiliki semua tanah, juga teraga rakyat bilamana diperlukan.”
“Pada saat itulah muncul beragam pengaturan atas tanah yang didasarkan
atas Ondonansi Belanda, seperti itulah Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht,
serta Hak Pakai dengan segala implikasi dari beban sosial politik yang
menyertainya,” tulis Thuchid.
Perampasan tanah rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda makin jelas
ketika pada 1870 muncul terbit agar Agrarische Wet. Saat itu, negara
Belanda ingin meraup keuntungan sebesar mungkin atas tanah jajahannya.
Maka, mereka pun membuka area tanah jajahannya untuk dijadikan ‘ladang
investasi’. Dan, berdasarkan aturan itulah kemudian rakyat beserta
komunitas adatnya digusur dari tanahnya alesan dengan bawah tanah itu
adalah ‘milik negara’. Kesengsaraan milik terus berlanjut hingga datangnya
penjara
setelah datangnya masa kemerdekaan memang terlihat mulai ada usaha terus
untuk menata soal pertanahaan. Selepas
perang kemerdekaan tampak ada usaha untuk menertibkan berbagai soal
tentang agraria. Pada dekade 1950-an, mulai muncul wacana politik mengenai
Iandrefann (reformasi agrania). Soal tanah pun dijadikan ‘perang politik’
di ajang Pemilu 1955. Usaha ini kemudian memuncak dengan disahkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal sebagai UU Pokok Agrania.
Semenjak adanya perundangan tersebut, pembicaraan dan diskusi publik
semakin kencang dengan soal kepemilikan tanah untuk rakyat. Sayangnya,
perdebatan ini kemudian terhenti setelah munculnya pemberontakan PKI 1965.
Akibatnya, semua pembicaraan mengenai tandreform dibungkam habis. Apabila
ada pihak yang berani mengatakannya maka dia segera dicap sebagai pengikut
kaum komunis dan nisikonya akan segera hidup tersia-sia karena mengalami
‘kematian perdata’. Penataan soal agamapun kurang dilaksanakan sampai
sekarang. Apalagi, kemudian muncul berbagai perundangan yang mengebiri
perundangan tersebut, yakni muneu]nya perundangan penamanam modal,
pertambangan, hingga yang paling mutakhir, perundangan tentang penentuan
kawasan dan perlmndungan hutan. Rakyat benan-benar tersia-sia.
Akibat situasi itu, maka kini sangat terasa munculnya berbagai ledakan
konflik yang disebabkan kasus sengketa tanah. Sebanyak 4.000 kasus tanah
kini menumpuk di kantor Badan Pertanahan Nasional, Jumlah ini masih sangat
sedikit biia dibandingkan jumlah keseluruhan kasus yang terdeteksi, yang
diperkirakan jumlah sudah melebihi 10 ribu kasus, Konsonsium Pembaruan
Agrania (KPS) mencatat, dalam kurun setahun terakhir, yakni pada 2012,
tercatat 176 kasus konflik tanah, Jadi, bila dirata-rata, konflik tanah di
Indonesia sudah terjadi sekali dalam dua han.
“Data KPA ada sekitar 8.000 konflik tanah pertanahan yang belum
terselesaikan di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Yang pasti, misalnya,
kami sudah menemukan 1.700 konflikagraria, Sawit Watch menyebutkan ada 660
kasus di perkebunan sawit. Begitu juga koalisi Rakyat untuk Keadilan
(Kiara) menyebutkan konflik.
menggilanya’ konflik tanah membuat para akademisi, peneliti, dan pemerhati
masalah agraria merasa sangat prihatin. Mereka kemudian membuat pelisi
agar kepala negara segera bertindak cepat mengatasinya. Sebab, bila terus
dibiarkan maka eskalasinya akan semakin berbahaya dan meluas. Kerusuhan
dan konflik sosial akan muncul di mana-mana.
“Konflik-konflik agrania yang masih dan berdampak luas merupakan penistiwa
luarbiasa. Untuk itu, dipenlukankemauan politik yang nyata untuk
mengatasinya,” kata guru besar Fakultas Hukum UGM, Manida Sumardjono.
Tak hanya kalangan akademisi yang resah melihat makin menggilanya konflik
agrania, kalangan politikus yang ada di berbagai daerah sudah melihat hal
itu sebagai ancaman serius bagi integnasi bangsa. Anggota DPRD I Provinsi
sulawesi Barat Naharuddmn mengaku, kondisi konflik agrania kini sudah
dalam posisi siap meledak. Rakyat di wilayahnya sudah memendam kemarahan
akui setelah tahu hanyak lahan pribadi dan adat mereka dialihkan secara
semena-mena oleh pemerintah atas nama kemajuan pembangunan.
Perasaan siap berkonflik itu sudah sampai ke leher. Tinggal menunggu
saja pemicunya. Situasi di bawah sudah seperti rumput kering yang siap
terbakar kapan saja. Masalah sepele seperti perkelahian anak muda,
kebut-kebutan motor, persaingan pemilukada, atau hal sepele lainnya dapat
menjadi pemicunya. Dan, seeara keeil-kecilan, konflik tanah itu pun memang
sudah terjadi. kita tinggal menunggu eskalasinya kalau tidak segera
diambil tindakan pencegahan yang drastis. Ke depan, kita bisa terus
diundang konflik,” tandas Naharuddin.
Nah, kalau begitu, tinggal lihat apa sikap kepala negara kita. Apakah
masih terus menunggu sehingga bara meledak? Yang penting lagi, apakah
masih merasa tak peduli bila rakyat kecil kini banyak sekali hidup
tersia-sia karena hak hidup atas tanahnya dirampas?
Jawabnya, mungkin hanya waktu yang bisa tahu.
Sumber : republika