nurcahyo
New member
Obesitas Anak Pacu Penyakit Jantung
Umurnya baru 13 tahun. Tapi Rustandi Leksono punya tubuh ekstra. Bayangkan, siswa yang masih duduk di bangku kelas II SMP IV Depok, Jawa Barat, ini memiliki tinggi 165 cm. Dan yang mengkhawatirkan, beratnya mencapai 75 kg. Bila menggunakan patokan indeks masa tubuh (BMI) untuk mengukur idealnya tubuh, ia tergolong overweight alias kelebihan berat badan. BMI-nya mencapai 27,55. Padahal, normalnya 18,5 ? 24,9. BMI diukur dari berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m2).
Adi ? panggilan Rustandi Leksono ? makan tiga kali sehari seperti yang lainnya. Cuma, setiap kali makan, ia kerap kali nambah. Tatkala Adi bermain videogame dan nonton tv, makanan ringan pasti ada di sampingnya. Ia juga kerap menyantap makanan cepat saji, permen, dan panganan yang dijajakan di sejumlah warung. ?Tapi sekarang sudah jarang makan makanan seperti itu,? katanya sambil tertawa.
Ia juga mengaku berolahraga sepekan sekali. Itu pun hanya mengikuti pelajaran olahraga di kelasnya. Tih, Warga Depok ini mengakui, anaknya gemuk karena bawaan sejak lahir. Ketika lahir, badan Adi sudah melar. Bobotnya 4,4 kg dan tinggi 55 cm. Ia, bahkan senang melihat anaknya gemuk. ?Makannya gampang. Dikasih apa saja mau,? ujar Ruwan.
Adi tak sendirian. Belakangan ini, banyak anak-anak yang sudah kelewat gemuk. Riset mengenai obsitas anak pernah digarap Tinuk Agung Meilany, dokter spesialis anak pada Rumah Sakit Anak Bersalin Harapan Kita, Jakarta, pada 2002. Ketika itu, prevalensi obsitas anak di tiga sekolah dasar swasta di kawasan Jakarta Timur berjumlah 27,5%. Sedangkan data rekam medik mengenai kasus baru obesitas di Poliklinik Gizi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta, periode 1995-2000 ada 100 pasien, 35% balita.
Dari tahun ke tahun, obesitas pada anak terus membengkak. Departemen Kesehatan Nasional pada 1989. Data yang terkumpul menunjukkan, prevalensi obesitas anak di perkotaan memang masih kecil. Anak laki-lakinya sebesar 4,6% dari total penderita obesitas. Sedangkan anak perempuan 5,6%. Empat tahun kemudian, studi serupa digarap. Hasilnya: anak laki-laki yang obsess menjadi 6,3 %, dan perempuan 8%.
Baru-baru ini, Himpunan Obesitas Indonesia juga melakukan studi di sejumlah sekolah dasar favorit di Jakarta. Hasilnya, prevalensi obesitas anak-anak sudah mencapai 20% dari total penderita obesitas. Suatu lonjakan cukup mengejutkan. Penelitian di Semarang menunjukkan, dari 1.730 anak usia enam hingga tujuh tahun, diketahui 12 % menderita obesitas dan 9 % kelebihan berat badan. Kini penelitian serupa sedang diadakan di sekolah-sekolah di Padang, Semarang, Yogyakarta, Manado, dan Bandung.
Peningkatan persentase obesitas anak di Indonesia tak jauh berbeda dengan angka di Amerika Serikat. Prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6%-10,8% menjadi 13%-14%. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9% menjadi 19%. Anak obeses tentu tak tampak ideal dan menyehatkan. Ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memilih topik ?Tubuh Ideal, Tubuh Sehat? sebagai tema Hari Jantung Sedunia pada 25 September ini.
Dokter Genesja Harimurti, dokter spesialis jantung anak pada Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, menyebutkan bahwa fenomena ini di pengaruhi perubahan gaya hidup. ?Anak-anak sekarang mengandrungi junk-food yang cenderung tidak sehat,? katanya. Restoran cepat saji menjamur sampai ke kota-kota kecil. Selain itu, makanan ringan berkalori dan berkadar garam tinggi juga sudah mengepung konsumsi anak-anak. Makanan yang mengandung gula pun banyak beredar di pasaran. Permen, es, dan biskuit berkadar gula tinggi kerap dipromosikan dan dijual produsen makanan.
Orang tua juga kerap ingin serba praktis. Daripada rapot memasak, mereka memenuhi rengekan anaknya untuk menyantap makanan yang serba instan begitu saja. Ia tak tahu, atau mungkin tak mau tahu, bahwa kebiasaan buruk ini justru bisa mengundang penyakit di kemudian hari. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas fisik yang minim. Studi yang digarap Ida Ayu Padmiari dari Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan, Denpasar, Bali, membuktikan hal itu. Riset terhadap 154 anak SD itu menunjukkan adanya korelasi antara konsumsi makan fastfood dan kegemukan pada anak.
Disamping pola makan dan gaya hidup, faktor genetik juga mempengaruhi perkembangan obesitas. Anak-anak yang punya orangtua yang mengalami obesitas kemungkinan mengalami obesitas 10 kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki orangtua dengan berat badan normal. Anak-anak yang punya berat badan berlebih cenderung overweight ketika dewasa. Padahal, banyak resiko yang bisa timbul. Genesja menunjukkan kolesterol dan hipertensi. Kolesterol yang terus-menerus bertambah bisa menumpuk dan menempel di dinding pembuluh darah. Lama-kelamaan menebal dan menghambat aliran darah. Resiko serangan jantung bakal muncul. Itu barangkali baru ketahuan jika anak menginjak remaja atau dewasa. Sedangkan kadar garam yang tinggi bisa menimbulkan tekanan darah tinggi.
Pada saat anak-anak, mereka mungkin belum ketahuan kena penyakit jantung. Menurut Ganesja, baru satu pasien anak obesitas berusia 14 tahun mengalami kerusakan pada jantungnya yang ia tangani di Harapan Kita. Operasi jantung anak di sumah sakit itu per tahun sebanyak 500-600. Dan, sampai kini masih didominasi oleh penyakit jantung bawaan, seperti sekat jantung bocor dan kelainan pembuluh darah jantung. Selain resiko kena penyakit jantung dan hipertensi, banyak resiko lain. Umpamanya diabetes, radang hati, dan gangguan tidur berupa mendengkur.
Untuk mencegah obesitas, selain dengan meningkatkan aktivitas fisik, juga mengurangi makanan berkolesterol, berkadar gula, dan berkadar garam tinggi. Jika belum berhasil, tentu harus diterapi dengan obat penurun berat badan. Salah satunya, orlistat. Obat ini sudah diakui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk anak berusia 12-16 tahun. Sebelumnya hanya untuk orang dewasa.
Anggapan bahwa penyakit jantung monopoli orang tua harus dipupus. Karena percaya bahwa penyakit jantung hanya dialami orang tua, Ruwan tak pernah menggubris pola makan anaknya. ?Masak masih muda sudah kena penyakit jantung,? kata Ruwan. Ia tek merasa perlu membawa anaknya ke dokter atau memintanya mengurangi konsumsi makanan pemicu obesitas.
Resiko Lain Obesitas
OBESITAS pada anak-anak ternyata membawa resiko tidak kecil. Tak Cuma kena penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Dalam jangka pendek dan panjang, anak kegemukan bisa menghadapi beragam gangguan.
Pertama, gangguan psikososial, rasa rendah diri, depresi, dan menarik diri dari lingkungan. Hal ini terjadi karena anak obes sering menjadi bahan olok-olok teman amin dan teman sekolahnya. Mereka kerap dijauhkan karena tak bsia bergerak aktif. Padahal, pada usia seperti itu, justru banyak anak yang suka berlari-lari. Jika depresi ini terus dibiarkan, memicu terjadinya bunuh diri.
Kedua, pertumbuhan fisik dan tulang dipacu lebih dari usia biologisnya. Seperti dialami Rustandi Leksono. Dalam usia 14 tahun, ia sudah punya badan setinggi 165cm dan berat 75kg. Tentu, dengan tulang yang belum begitu kuat, berat berlebih bisa mempengaruhi struktur tulang. Bentuk tulang bisa menjadi tidak normal.
Ketiga, gangguan pernapasan. Anak yang menderita obesitas kerap tidur ngorok dan sering mengantuk pada siang hari. Ini akan mengganggu konsentrasi mereka saat bersekolah.
Kiat Mencegas Obesitas
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak mengonsumsi makanan berserat, seperti sayur dan buah-buahan.
-[FONT="] [/FONT]Batasi kebiasaan makan diluar rumah, terutama bila yang dikonsumsi makanan jenis cepat saji.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan makan diluar rumah pada jam makan.
-[FONT="] [/FONT]Beri porsi yang kecil untuk anak saat mengkonsumsi makanan cepat saji.
-[FONT="] [/FONT]Hindari asupan kalori tambahan dalam jumlah besar dengan mengonsumsi es krim atau minuman ringan setelah makan.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak melakukan kegiatan fisik diluar sekolah selama 20-30 menit per hari.
Kiat Menangani Obesitas
-[FONT="] [/FONT]Beri pengobatan pada anak yang sudah pasti memenuhi kriteria obesitas.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak mengomsumsi makanan berserat, seperti sayuran dan buah-buahan.
-[FONT="] [/FONT]Kurangi asupan kalori atau energi dengan makanan yang sesuai.
-[FONT="] [/FONT]Hindari anak mengonsumsi makanan tambahan berkalori tinggi, seperti es krim, cokelat, atau minuman ringan.
-[FONT="] [/FONT]Tingkatkan pengeluaran dan penggunaan energi dengan aktivitas fisik, seperti berolahraga teratur.
-[FONT="] [/FONT]Pada bayi, jangan lakukan diet ketat, pertahankan bobotnya karena pertumbuhan linearnya masih terus berlanjut.
sumber : www.ditplb.or.id
Umurnya baru 13 tahun. Tapi Rustandi Leksono punya tubuh ekstra. Bayangkan, siswa yang masih duduk di bangku kelas II SMP IV Depok, Jawa Barat, ini memiliki tinggi 165 cm. Dan yang mengkhawatirkan, beratnya mencapai 75 kg. Bila menggunakan patokan indeks masa tubuh (BMI) untuk mengukur idealnya tubuh, ia tergolong overweight alias kelebihan berat badan. BMI-nya mencapai 27,55. Padahal, normalnya 18,5 ? 24,9. BMI diukur dari berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m2).
Adi ? panggilan Rustandi Leksono ? makan tiga kali sehari seperti yang lainnya. Cuma, setiap kali makan, ia kerap kali nambah. Tatkala Adi bermain videogame dan nonton tv, makanan ringan pasti ada di sampingnya. Ia juga kerap menyantap makanan cepat saji, permen, dan panganan yang dijajakan di sejumlah warung. ?Tapi sekarang sudah jarang makan makanan seperti itu,? katanya sambil tertawa.
Ia juga mengaku berolahraga sepekan sekali. Itu pun hanya mengikuti pelajaran olahraga di kelasnya. Tih, Warga Depok ini mengakui, anaknya gemuk karena bawaan sejak lahir. Ketika lahir, badan Adi sudah melar. Bobotnya 4,4 kg dan tinggi 55 cm. Ia, bahkan senang melihat anaknya gemuk. ?Makannya gampang. Dikasih apa saja mau,? ujar Ruwan.
Adi tak sendirian. Belakangan ini, banyak anak-anak yang sudah kelewat gemuk. Riset mengenai obsitas anak pernah digarap Tinuk Agung Meilany, dokter spesialis anak pada Rumah Sakit Anak Bersalin Harapan Kita, Jakarta, pada 2002. Ketika itu, prevalensi obsitas anak di tiga sekolah dasar swasta di kawasan Jakarta Timur berjumlah 27,5%. Sedangkan data rekam medik mengenai kasus baru obesitas di Poliklinik Gizi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta, periode 1995-2000 ada 100 pasien, 35% balita.
Dari tahun ke tahun, obesitas pada anak terus membengkak. Departemen Kesehatan Nasional pada 1989. Data yang terkumpul menunjukkan, prevalensi obesitas anak di perkotaan memang masih kecil. Anak laki-lakinya sebesar 4,6% dari total penderita obesitas. Sedangkan anak perempuan 5,6%. Empat tahun kemudian, studi serupa digarap. Hasilnya: anak laki-laki yang obsess menjadi 6,3 %, dan perempuan 8%.
Baru-baru ini, Himpunan Obesitas Indonesia juga melakukan studi di sejumlah sekolah dasar favorit di Jakarta. Hasilnya, prevalensi obesitas anak-anak sudah mencapai 20% dari total penderita obesitas. Suatu lonjakan cukup mengejutkan. Penelitian di Semarang menunjukkan, dari 1.730 anak usia enam hingga tujuh tahun, diketahui 12 % menderita obesitas dan 9 % kelebihan berat badan. Kini penelitian serupa sedang diadakan di sekolah-sekolah di Padang, Semarang, Yogyakarta, Manado, dan Bandung.
Peningkatan persentase obesitas anak di Indonesia tak jauh berbeda dengan angka di Amerika Serikat. Prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6%-10,8% menjadi 13%-14%. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9% menjadi 19%. Anak obeses tentu tak tampak ideal dan menyehatkan. Ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memilih topik ?Tubuh Ideal, Tubuh Sehat? sebagai tema Hari Jantung Sedunia pada 25 September ini.
Dokter Genesja Harimurti, dokter spesialis jantung anak pada Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, menyebutkan bahwa fenomena ini di pengaruhi perubahan gaya hidup. ?Anak-anak sekarang mengandrungi junk-food yang cenderung tidak sehat,? katanya. Restoran cepat saji menjamur sampai ke kota-kota kecil. Selain itu, makanan ringan berkalori dan berkadar garam tinggi juga sudah mengepung konsumsi anak-anak. Makanan yang mengandung gula pun banyak beredar di pasaran. Permen, es, dan biskuit berkadar gula tinggi kerap dipromosikan dan dijual produsen makanan.
Orang tua juga kerap ingin serba praktis. Daripada rapot memasak, mereka memenuhi rengekan anaknya untuk menyantap makanan yang serba instan begitu saja. Ia tak tahu, atau mungkin tak mau tahu, bahwa kebiasaan buruk ini justru bisa mengundang penyakit di kemudian hari. Kondisi ini diperparah oleh aktivitas fisik yang minim. Studi yang digarap Ida Ayu Padmiari dari Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan, Denpasar, Bali, membuktikan hal itu. Riset terhadap 154 anak SD itu menunjukkan adanya korelasi antara konsumsi makan fastfood dan kegemukan pada anak.
Disamping pola makan dan gaya hidup, faktor genetik juga mempengaruhi perkembangan obesitas. Anak-anak yang punya orangtua yang mengalami obesitas kemungkinan mengalami obesitas 10 kali lipat dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki orangtua dengan berat badan normal. Anak-anak yang punya berat badan berlebih cenderung overweight ketika dewasa. Padahal, banyak resiko yang bisa timbul. Genesja menunjukkan kolesterol dan hipertensi. Kolesterol yang terus-menerus bertambah bisa menumpuk dan menempel di dinding pembuluh darah. Lama-kelamaan menebal dan menghambat aliran darah. Resiko serangan jantung bakal muncul. Itu barangkali baru ketahuan jika anak menginjak remaja atau dewasa. Sedangkan kadar garam yang tinggi bisa menimbulkan tekanan darah tinggi.
Pada saat anak-anak, mereka mungkin belum ketahuan kena penyakit jantung. Menurut Ganesja, baru satu pasien anak obesitas berusia 14 tahun mengalami kerusakan pada jantungnya yang ia tangani di Harapan Kita. Operasi jantung anak di sumah sakit itu per tahun sebanyak 500-600. Dan, sampai kini masih didominasi oleh penyakit jantung bawaan, seperti sekat jantung bocor dan kelainan pembuluh darah jantung. Selain resiko kena penyakit jantung dan hipertensi, banyak resiko lain. Umpamanya diabetes, radang hati, dan gangguan tidur berupa mendengkur.
Untuk mencegah obesitas, selain dengan meningkatkan aktivitas fisik, juga mengurangi makanan berkolesterol, berkadar gula, dan berkadar garam tinggi. Jika belum berhasil, tentu harus diterapi dengan obat penurun berat badan. Salah satunya, orlistat. Obat ini sudah diakui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk anak berusia 12-16 tahun. Sebelumnya hanya untuk orang dewasa.
Anggapan bahwa penyakit jantung monopoli orang tua harus dipupus. Karena percaya bahwa penyakit jantung hanya dialami orang tua, Ruwan tak pernah menggubris pola makan anaknya. ?Masak masih muda sudah kena penyakit jantung,? kata Ruwan. Ia tek merasa perlu membawa anaknya ke dokter atau memintanya mengurangi konsumsi makanan pemicu obesitas.
Resiko Lain Obesitas
OBESITAS pada anak-anak ternyata membawa resiko tidak kecil. Tak Cuma kena penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Dalam jangka pendek dan panjang, anak kegemukan bisa menghadapi beragam gangguan.
Pertama, gangguan psikososial, rasa rendah diri, depresi, dan menarik diri dari lingkungan. Hal ini terjadi karena anak obes sering menjadi bahan olok-olok teman amin dan teman sekolahnya. Mereka kerap dijauhkan karena tak bsia bergerak aktif. Padahal, pada usia seperti itu, justru banyak anak yang suka berlari-lari. Jika depresi ini terus dibiarkan, memicu terjadinya bunuh diri.
Kedua, pertumbuhan fisik dan tulang dipacu lebih dari usia biologisnya. Seperti dialami Rustandi Leksono. Dalam usia 14 tahun, ia sudah punya badan setinggi 165cm dan berat 75kg. Tentu, dengan tulang yang belum begitu kuat, berat berlebih bisa mempengaruhi struktur tulang. Bentuk tulang bisa menjadi tidak normal.
Ketiga, gangguan pernapasan. Anak yang menderita obesitas kerap tidur ngorok dan sering mengantuk pada siang hari. Ini akan mengganggu konsentrasi mereka saat bersekolah.
Kiat Mencegas Obesitas
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak mengonsumsi makanan berserat, seperti sayur dan buah-buahan.
-[FONT="] [/FONT]Batasi kebiasaan makan diluar rumah, terutama bila yang dikonsumsi makanan jenis cepat saji.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan makan diluar rumah pada jam makan.
-[FONT="] [/FONT]Beri porsi yang kecil untuk anak saat mengkonsumsi makanan cepat saji.
-[FONT="] [/FONT]Hindari asupan kalori tambahan dalam jumlah besar dengan mengonsumsi es krim atau minuman ringan setelah makan.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak melakukan kegiatan fisik diluar sekolah selama 20-30 menit per hari.
Kiat Menangani Obesitas
-[FONT="] [/FONT]Beri pengobatan pada anak yang sudah pasti memenuhi kriteria obesitas.
-[FONT="] [/FONT]Biasakan anak mengomsumsi makanan berserat, seperti sayuran dan buah-buahan.
-[FONT="] [/FONT]Kurangi asupan kalori atau energi dengan makanan yang sesuai.
-[FONT="] [/FONT]Hindari anak mengonsumsi makanan tambahan berkalori tinggi, seperti es krim, cokelat, atau minuman ringan.
-[FONT="] [/FONT]Tingkatkan pengeluaran dan penggunaan energi dengan aktivitas fisik, seperti berolahraga teratur.
-[FONT="] [/FONT]Pada bayi, jangan lakukan diet ketat, pertahankan bobotnya karena pertumbuhan linearnya masih terus berlanjut.
sumber : www.ditplb.or.id