Dipi76
New member
Familiar dengan nama Ngatiyem, Painem, Tukiyem, Paijo, Paino dan lain sebagainya? Apa yang ada dibenak kalian ketika mendengar orang dengan nama seperti ini? Corny, ndeso, nggak modern, katrok, you name it. Itu adalah sederet nama2 tradisional di masyarakat Jawa, yang saya khawatir sudah akan punah dalam waktu dekat seiring dengan pergantian generasi. Berapa banyak anak yang lahir di era sekarang ini dan diberi nama seperti contoh di atas? Atau sederhanakan pertanyaan, berapa banyak anak yang lahir di sekeliling lingkungan kalian diberi nama2 itu? Even di Jawa pun saat ini sudah sangat jarang. Alasannya ya itu tadi, nama itu terkesan ndeso, corny dan nggak modern, sehingga orang tua khawatir pemberian nama itu akan 'membebani' si anak ketika dia dewasa nanti.
Nama-nama jawa tradisional ini terancam punah akibat penurunan gengsi. Bagi sebagian orang memiliki nama lokal kedaerahan seperti di atas adalah sesuatu yang memalukan pada jaman sekarang ini. Era globalisasi yang serba canggih ini menggeser trend penamaan anak pada nama2 yang dianggap lebih modern dan berbau luar negeri.
Tetapi apakah nama jawa selalu identik dengan ke-ndeso-an? Tidak juga. Karena banyak sekali varian penamaan dalam tradisi jawa. Apabila kita melihat nama-nama orang Jawa pada periode klasik ketika masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu maupun awal kedatangan Islam di Jawa, maka banyak kita temukan pemakaian nama yang mengambil totem hewan. Hal ini merupakan imbas dari pola pikir masyarakat Jawa yang mempercayai kekuatan-kekuatan adikodrati di sekitarnya. Totem hewan dianggap mempunyai kekuatan spiritual tinggi, seperti harimau, kerbau, ular, sapi, dan lain sebagainya. Contoh pemakaian nama dengan totem hewan: Kebo Anabrang, Kebo Ijo, Gajah Mada, Mahesa Jenar, Banyak Wide, Rara Wilis, Lembu Sora, dll.
Pada masa klasik banyak juga nama-nama orang Jawa yang memakai bahasa-bahasa Sansekerta, gejala ini muncul karena masyarakat Jawa memandang tinggi pada sastra Sansekerta yang kosakata serta peristilahan yang khas, dan pemungutan kata Sansekerta untuk nama juga didasarkan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut bisa menerima pengaruh kebudayaan yang lebih tinggi dan secara otomatis berharap bisa menaikkan serta menambah status serta gengsinya. Contoh pemakaian nama dengan kata Sansekerta: Sura Pati, Rangga Wijaya, Kartika, Surya, Ratna (Retna), Indra, Yoga, Putra, Satya (Setya), Dipa, dan lain sebagainya.
Pemberian nama pada kalangan masyarakat biasa, cenderung kebih sederhana kemungkinan hal ini terjadi karena pada golongan masyarakat ini jauh dari informasi sastra maupun budaya yang kebanyakan didominasi kalangan bangsawan maupun kalangan terpelajar. Selain itu masyarakat di pedesaan juga mempercayai apabila mereka memberi nama kepada anak-anaknya tidak sesuai dengan martabat yang mereka miliki, maka justru berakibat buruk kepada si anak. Atau dalam istilah jawanya kabotan jeneng. Dan biasanya untuk mengantisipasi sering diadakan slametan sebelum pemberian nama. Karena orang Jawa seperti disinggung di atas tadi memandang segala sesuatunya dengan mistik atau hal-hal adikodrati, begitu pula mengenai nama.
Adapun kebanyakan dari kalangan masyarakat ini memberi nama kepada anak-anaknya berdasarkan pada hari lahir atau pasarannya, atau nama lain yang khas bernuansa desa dan petani serta sedikit kata sansekerta. Contoh dalam pemakaian nama: Senin, Rebo, Pon, Sudiyem, Ngadinem, Pariyem, Sumandar, Beja, Teja, Slamet, Basuki, Gudel, Sarimin, Sarkiya, dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan di luar negeri, yang nama2 orangnya sering kita anggap keren dan modern? Ternyata sama saja. Ada beberapa nama yang terkesan ndeso itu tadi. Di Inggris Raya serta negara-negara turunannya semisal Amerika Serikat misalnya, ada beberapa nama yang senasib dengan Ngatiyem dan kawan2. Hal ini terjadi karena nama2 yang dimaksud adalah nama kuno ataupun nama tradisional sehingga mulai jarang dipakai orang, disamping juga karena ketradisionalannya itu jadi dianggap tidak mengakomodir sebuah bentuk modernitas.
Nama2 semacam Gertrude, Olive, Edna, Irene, Ethel, Ada, Norah, Norman, Walter, Percy, Harold, Ernest, Clifford adalah sebagian nama yang dianggap kampungan dan norak.
Menurut laporan National Statistic di Inggris menyebutkan bahwa orang tua di Inggris dan Wales yang menamakan anaknya Edna atau Norman hampir tidak ada sejak tahun 2000. Dan dikhawatirkan nama Edna atau Norman akan segera punah pemakaiannya. Sama halnya dengan nama Olive, yang pada era modern tidak ada orang yang menggunakannya, karena Olive sudah dimoderenisasi menjadi Olivia.
Laporan lainnya disebutkan bahwa pada tahun 1907 ada 1.048 bayi yang terlahir dengan nama Gertrude, tapi pada tahun 2000-an tidak ada sama sekali. Begitupun dengan Norman, yang pada tahun 1907 ada sekitar 1.991 bayi yang diberi nama itu, tapi pada tahun 2000-an hanya ada 2 orang bayi.
Tapi di Inggris Raya, terutama di Irlandia, beberapa nama tradisional masih dipakai, walaupun itu cuma sekedar nama belakang. Hal ini biasanya berhubungan dengan nama famili. Seperti penggunaan nama 'O' atau 'Mc' atau 'MaC'. 'O' menunjukkan 'cucu dari...', semisal Dipi O'Graddy, itu menunjukkan bahwa Dipi adalah cucu dari Graddy. Sedangkan 'Mc' atau 'MaC' menunjukkan 'anak dari...', misalnya Dipi McGraddy, itu menunjukkan bahwa Dipi adalah anak dari keluarga Graddy. Sayangnya, beberapa nama tradisional Irlandia lainnya juga dikhawatirkan punah, seperti Niall, Eoin dan Art.
Nama2 tersebut kalah pamor dengan nama2 yang berbau keluarga kerajaan, sehingga para orang tua jaman sekarang lebih memilih nama2 seperti Thomas, Jack, William, Elizabeth, Anne, Charles dll.
Balik lagi ke nama jawa yang ndeso, kalau bagi saya, saat ini nama2 itu hanya pantas diberikan kepada anak2 yang diharapkan mampu mempunyai kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Karena nggak semua orang pada jaman sekarang ini sanggup mempunyai nama2 tersebut.
Eniwei, Kalau nanti bertemu orang yang lebih memilih nama Irene, Olive atau Edna ketimbang Ngatinem, Ngatiyem atau Partini karena nama2 pertama itu dirasakan lebih modern dan trendy, silahkan ketawain orang itu, karena ketahuan kalau orang itu adalah orang yang ndeso.
-dipi-
Nama-nama jawa tradisional ini terancam punah akibat penurunan gengsi. Bagi sebagian orang memiliki nama lokal kedaerahan seperti di atas adalah sesuatu yang memalukan pada jaman sekarang ini. Era globalisasi yang serba canggih ini menggeser trend penamaan anak pada nama2 yang dianggap lebih modern dan berbau luar negeri.
Tetapi apakah nama jawa selalu identik dengan ke-ndeso-an? Tidak juga. Karena banyak sekali varian penamaan dalam tradisi jawa. Apabila kita melihat nama-nama orang Jawa pada periode klasik ketika masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu maupun awal kedatangan Islam di Jawa, maka banyak kita temukan pemakaian nama yang mengambil totem hewan. Hal ini merupakan imbas dari pola pikir masyarakat Jawa yang mempercayai kekuatan-kekuatan adikodrati di sekitarnya. Totem hewan dianggap mempunyai kekuatan spiritual tinggi, seperti harimau, kerbau, ular, sapi, dan lain sebagainya. Contoh pemakaian nama dengan totem hewan: Kebo Anabrang, Kebo Ijo, Gajah Mada, Mahesa Jenar, Banyak Wide, Rara Wilis, Lembu Sora, dll.
Pada masa klasik banyak juga nama-nama orang Jawa yang memakai bahasa-bahasa Sansekerta, gejala ini muncul karena masyarakat Jawa memandang tinggi pada sastra Sansekerta yang kosakata serta peristilahan yang khas, dan pemungutan kata Sansekerta untuk nama juga didasarkan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut bisa menerima pengaruh kebudayaan yang lebih tinggi dan secara otomatis berharap bisa menaikkan serta menambah status serta gengsinya. Contoh pemakaian nama dengan kata Sansekerta: Sura Pati, Rangga Wijaya, Kartika, Surya, Ratna (Retna), Indra, Yoga, Putra, Satya (Setya), Dipa, dan lain sebagainya.
Pemberian nama pada kalangan masyarakat biasa, cenderung kebih sederhana kemungkinan hal ini terjadi karena pada golongan masyarakat ini jauh dari informasi sastra maupun budaya yang kebanyakan didominasi kalangan bangsawan maupun kalangan terpelajar. Selain itu masyarakat di pedesaan juga mempercayai apabila mereka memberi nama kepada anak-anaknya tidak sesuai dengan martabat yang mereka miliki, maka justru berakibat buruk kepada si anak. Atau dalam istilah jawanya kabotan jeneng. Dan biasanya untuk mengantisipasi sering diadakan slametan sebelum pemberian nama. Karena orang Jawa seperti disinggung di atas tadi memandang segala sesuatunya dengan mistik atau hal-hal adikodrati, begitu pula mengenai nama.
Adapun kebanyakan dari kalangan masyarakat ini memberi nama kepada anak-anaknya berdasarkan pada hari lahir atau pasarannya, atau nama lain yang khas bernuansa desa dan petani serta sedikit kata sansekerta. Contoh dalam pemakaian nama: Senin, Rebo, Pon, Sudiyem, Ngadinem, Pariyem, Sumandar, Beja, Teja, Slamet, Basuki, Gudel, Sarimin, Sarkiya, dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan di luar negeri, yang nama2 orangnya sering kita anggap keren dan modern? Ternyata sama saja. Ada beberapa nama yang terkesan ndeso itu tadi. Di Inggris Raya serta negara-negara turunannya semisal Amerika Serikat misalnya, ada beberapa nama yang senasib dengan Ngatiyem dan kawan2. Hal ini terjadi karena nama2 yang dimaksud adalah nama kuno ataupun nama tradisional sehingga mulai jarang dipakai orang, disamping juga karena ketradisionalannya itu jadi dianggap tidak mengakomodir sebuah bentuk modernitas.
Nama2 semacam Gertrude, Olive, Edna, Irene, Ethel, Ada, Norah, Norman, Walter, Percy, Harold, Ernest, Clifford adalah sebagian nama yang dianggap kampungan dan norak.
Menurut laporan National Statistic di Inggris menyebutkan bahwa orang tua di Inggris dan Wales yang menamakan anaknya Edna atau Norman hampir tidak ada sejak tahun 2000. Dan dikhawatirkan nama Edna atau Norman akan segera punah pemakaiannya. Sama halnya dengan nama Olive, yang pada era modern tidak ada orang yang menggunakannya, karena Olive sudah dimoderenisasi menjadi Olivia.
Laporan lainnya disebutkan bahwa pada tahun 1907 ada 1.048 bayi yang terlahir dengan nama Gertrude, tapi pada tahun 2000-an tidak ada sama sekali. Begitupun dengan Norman, yang pada tahun 1907 ada sekitar 1.991 bayi yang diberi nama itu, tapi pada tahun 2000-an hanya ada 2 orang bayi.
Tapi di Inggris Raya, terutama di Irlandia, beberapa nama tradisional masih dipakai, walaupun itu cuma sekedar nama belakang. Hal ini biasanya berhubungan dengan nama famili. Seperti penggunaan nama 'O' atau 'Mc' atau 'MaC'. 'O' menunjukkan 'cucu dari...', semisal Dipi O'Graddy, itu menunjukkan bahwa Dipi adalah cucu dari Graddy. Sedangkan 'Mc' atau 'MaC' menunjukkan 'anak dari...', misalnya Dipi McGraddy, itu menunjukkan bahwa Dipi adalah anak dari keluarga Graddy. Sayangnya, beberapa nama tradisional Irlandia lainnya juga dikhawatirkan punah, seperti Niall, Eoin dan Art.
Nama2 tersebut kalah pamor dengan nama2 yang berbau keluarga kerajaan, sehingga para orang tua jaman sekarang lebih memilih nama2 seperti Thomas, Jack, William, Elizabeth, Anne, Charles dll.
Balik lagi ke nama jawa yang ndeso, kalau bagi saya, saat ini nama2 itu hanya pantas diberikan kepada anak2 yang diharapkan mampu mempunyai kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Karena nggak semua orang pada jaman sekarang ini sanggup mempunyai nama2 tersebut.
Eniwei, Kalau nanti bertemu orang yang lebih memilih nama Irene, Olive atau Edna ketimbang Ngatinem, Ngatiyem atau Partini karena nama2 pertama itu dirasakan lebih modern dan trendy, silahkan ketawain orang itu, karena ketahuan kalau orang itu adalah orang yang ndeso.
-dipi-