nurcahyo
New member
Henry Saragih: Mengatasi kelaparan bukan hanya dengan mengejar target pertumbuhan produksi pangan
Dalam mengatasi masalah kelaparan di Indonesia bukan hanya dengan mengejar target pertumbuhan produksi pangan. Alasannya, meskipun jumlah produksi makanan meningkat, belum tentu angka pertumbuhan itu akan mengatasi problem kelaparan yang terjadi. Karena bisa terjadi produksi yang meningkat itu hanyalah dikuasai oleh segelintir orang saja, yakni petani-petani pemilik tanah yang luas, atau perusahaan pertanian.
Demikian paparan Henry Saragih sebagai Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dalam Diskusi Nasional "Kebijakan Pangan Nasional: Politik Beras dan Kedaulatan Pangan" pada 25 Januari lalu yang diselenggarakan FSPI bersama PPNSI.
"Orang kelaparan bukan karena tidak ada makanan semata. Ketika makanan melimpah pun, kelaparan dapat terjadi. Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik pada 2004, kelaparan terutama balita mencapai 28 persen, padahal di saat itu produksi padi kita melampaui kebutuhan domestik alias swasembada," ungkap Saragih.
Menurutnya yang diperlukan adalah suatu upaya memperbesar akses rakyat untuk memproduksi makanan tersebut, dan sekaligus orang-orang yang mengkonsumsinya. Untuk itu diperlukan upaya perombakan yang mendasar dalam penguasaan alat produksi, model produksi, dan distribusi produksi.
Aset dan akses reform atas tanah serta sarana lainnya bagi para buruh tani adalah jawaban bagi persoalan kelaparan. Produksi pangan tidak di tangan perusahaan tetapi justru dihasilkan dan dinikmati oleh keluarga tani. Sehingga perlu dilakukan distribusi dan redistribusi tanah pertanian pada petani.
Agar pelaksanaan pembaruan agraria dapat memenuhi rasa keadilan, maka pembaruan agraria harus dapat menyelesaikan semua konflik dan sengketa agraria yang telah terjadi dari masa lalu dan yang terjadi saat ini. Pemerintah juga harus berupaya untuk menciptakan peraturan yang tidak memberikan peluang terjadinya konflik agraria.
Penataan struktur agraria yang berhubungan di sektor pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksanaan program Landreform. Yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan.
Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan subsidi, pemilikan teknologi pertanian, sistem distribusi/perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya.
Kemandirian pangan
Sementara itu dalam kesempatan yang sama Menteri Pertanian (Mentan), Anton Apriyantono menjelaskan bahwa ketahanan pangan yang kuat dicirikan oleh kemandirian pangan yang tinggi dalam menjamin penyediaan kebutuhan pangan di tingkat nasional, daerah maupun rumah tangga, di samping menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang di tingkat rumah tangga sepanjang waktu.
Upaya meningkatkan kemandirian pangan dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya, budaya lokal, teknologi inovatif, peluang pasar, peningkatan ekonomi kerakyatan, dan pengentasan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan kemandirian pangan, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memfokuskan pengembangan pangan pada lima komoditas pangan strategis, yaitu: padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging sapi. Produksi kelima komoditas ini diharapkan dapat mencapai tingkat swasembada sehingga ketergantungan terhadap pasar impor dan kemungkinan gangguan instabilitas penyediaannya dapat diredam.
"Berdasarkan data produksi padi nasional, kita telah mengalami surplus sejak tahun 2004, begitu pula pada tahun 2006 dengan produksi sebesar 54,66 juta ton GKG setara 32,03 juta ton beras. Maka apabila memperhitungkan produksi dan konsumsi terdapat surplus sebesar 51 ribu ton," jelas Apriyantono.
Selanjutnya dilihat dari sasaran produksi padi pada tahun 2007 sebesar 58,18 juta ton GKG terdapat kenaikan sebesar 3,53 juta ton GKG atau kurang lebih dua juta ton beras dari tahun 2006. Selain itu pemerintah juga akan melakukan impor 500 ton pada Januari-Februari 2007.
Menanggapi terget peningkatan produksi dua juta beras tersebut, Suswono dari Komisi III DPR RI mempertanyakan darimana target itu didapatkan pemerintah. Menurutnya, anggaran yang telah disepakati DPR tidak memungkinkan untuk memenuhi target itu.
Namun demikian pihaknya tetap mendukung program peningkatan target produksi beras tersebut bila kebijakan pemerintah itu tepat dengan melihat saat produksi pangan dan paceklik, petani tetap sejahtera. Menurutnya pemerintah di sektor pertanian merupakan leading sector, sementara sektor lainnya mendukung. Namun sejauh ini belum ada koordinasi antar sektor pertanian, pekerjaan umum, pemda dan perdagangan.
Suswono juga menyatakan bahwa gerakan meningkatkan produksi pangan lebih tepatnya adalah gerakan ketahanan pangan. Dimana kemampuan petani untuk memproduksi dan membelinya dapat meningkat.
Dalam mengatasi masalah kelaparan di Indonesia bukan hanya dengan mengejar target pertumbuhan produksi pangan. Alasannya, meskipun jumlah produksi makanan meningkat, belum tentu angka pertumbuhan itu akan mengatasi problem kelaparan yang terjadi. Karena bisa terjadi produksi yang meningkat itu hanyalah dikuasai oleh segelintir orang saja, yakni petani-petani pemilik tanah yang luas, atau perusahaan pertanian.
Demikian paparan Henry Saragih sebagai Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dalam Diskusi Nasional "Kebijakan Pangan Nasional: Politik Beras dan Kedaulatan Pangan" pada 25 Januari lalu yang diselenggarakan FSPI bersama PPNSI.
"Orang kelaparan bukan karena tidak ada makanan semata. Ketika makanan melimpah pun, kelaparan dapat terjadi. Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik pada 2004, kelaparan terutama balita mencapai 28 persen, padahal di saat itu produksi padi kita melampaui kebutuhan domestik alias swasembada," ungkap Saragih.
Menurutnya yang diperlukan adalah suatu upaya memperbesar akses rakyat untuk memproduksi makanan tersebut, dan sekaligus orang-orang yang mengkonsumsinya. Untuk itu diperlukan upaya perombakan yang mendasar dalam penguasaan alat produksi, model produksi, dan distribusi produksi.
Aset dan akses reform atas tanah serta sarana lainnya bagi para buruh tani adalah jawaban bagi persoalan kelaparan. Produksi pangan tidak di tangan perusahaan tetapi justru dihasilkan dan dinikmati oleh keluarga tani. Sehingga perlu dilakukan distribusi dan redistribusi tanah pertanian pada petani.
Agar pelaksanaan pembaruan agraria dapat memenuhi rasa keadilan, maka pembaruan agraria harus dapat menyelesaikan semua konflik dan sengketa agraria yang telah terjadi dari masa lalu dan yang terjadi saat ini. Pemerintah juga harus berupaya untuk menciptakan peraturan yang tidak memberikan peluang terjadinya konflik agraria.
Penataan struktur agraria yang berhubungan di sektor pertanian dan kaum tani haruslah dimulai dari pelaksanaan program Landreform. Yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan.
Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan subsidi, pemilikan teknologi pertanian, sistem distribusi/perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya.
Kemandirian pangan
Sementara itu dalam kesempatan yang sama Menteri Pertanian (Mentan), Anton Apriyantono menjelaskan bahwa ketahanan pangan yang kuat dicirikan oleh kemandirian pangan yang tinggi dalam menjamin penyediaan kebutuhan pangan di tingkat nasional, daerah maupun rumah tangga, di samping menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang di tingkat rumah tangga sepanjang waktu.
Upaya meningkatkan kemandirian pangan dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya, budaya lokal, teknologi inovatif, peluang pasar, peningkatan ekonomi kerakyatan, dan pengentasan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan kemandirian pangan, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memfokuskan pengembangan pangan pada lima komoditas pangan strategis, yaitu: padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging sapi. Produksi kelima komoditas ini diharapkan dapat mencapai tingkat swasembada sehingga ketergantungan terhadap pasar impor dan kemungkinan gangguan instabilitas penyediaannya dapat diredam.
"Berdasarkan data produksi padi nasional, kita telah mengalami surplus sejak tahun 2004, begitu pula pada tahun 2006 dengan produksi sebesar 54,66 juta ton GKG setara 32,03 juta ton beras. Maka apabila memperhitungkan produksi dan konsumsi terdapat surplus sebesar 51 ribu ton," jelas Apriyantono.
Selanjutnya dilihat dari sasaran produksi padi pada tahun 2007 sebesar 58,18 juta ton GKG terdapat kenaikan sebesar 3,53 juta ton GKG atau kurang lebih dua juta ton beras dari tahun 2006. Selain itu pemerintah juga akan melakukan impor 500 ton pada Januari-Februari 2007.
Menanggapi terget peningkatan produksi dua juta beras tersebut, Suswono dari Komisi III DPR RI mempertanyakan darimana target itu didapatkan pemerintah. Menurutnya, anggaran yang telah disepakati DPR tidak memungkinkan untuk memenuhi target itu.
Namun demikian pihaknya tetap mendukung program peningkatan target produksi beras tersebut bila kebijakan pemerintah itu tepat dengan melihat saat produksi pangan dan paceklik, petani tetap sejahtera. Menurutnya pemerintah di sektor pertanian merupakan leading sector, sementara sektor lainnya mendukung. Namun sejauh ini belum ada koordinasi antar sektor pertanian, pekerjaan umum, pemda dan perdagangan.
Suswono juga menyatakan bahwa gerakan meningkatkan produksi pangan lebih tepatnya adalah gerakan ketahanan pangan. Dimana kemampuan petani untuk memproduksi dan membelinya dapat meningkat.