Salah satu astronom Musm, alBattani, melontarkan pujian pada astronomi. Bagi dia, astronomi merupakan ilmu mulia dan bermartabat. Ilmu ini menempati urutan kedua setelah ilmu agama. Pujian terhadap ilmu ini bukan semata klaim para praktisi, tapi merupakan kebenaran sejarah.
Mengutip Ensikiopedi Oxford, Dunia Islam Modern, astronomi adalah satu-satunya ilmu alam yang tidak dikecam oleh kaum Muslim di abad pertengahan yang menentang ilmu-ilmu sekuler. Bahkan, astronomi memperoleh tempat terhormat di masjid-masjid dan dihormati oleh kalangan agama arus utama.
Astronomi menjadi satu-satunya ilmu pasti Islam yang bertahan hingga zaman modern dan berkembang setelah serangan Mongol atas Baghdad, yang menyebabkan aktivitas ilmiah Islam merosot. Astronomi yang berguna menentukan arah kiblat, perhitungan waktu shalat, dan pembuatan almanak dilindungi penguasa sepanjang sejarah.
Dalam perspektif ilmiah, astronomi berjasa melahirkan ilmu trigonometri, kreasi Muslim yang mengagumkan. Berpijak pada astronomi pula, banyak sekali perkembangan penting lainnya terjadi pada bidang matematika, terutama pada teknik kuantitatif dan geometri. Sebab, semua ilmu itu dibutuhkan oleh para astronom Muslim.
Perlu dicatat, astronomi adalah upaya internasional Muslim. Usaha bersama yang melibatkan orang-orang dari seluruh dunia Islam, termasuk para ahli dari Cina dan India. Oleh karena itu, penilaian yang disampaikan al-Battani bukanlah merupakan hal yang berlebihan.
Asal-usul astronomi Islam, menurut Ensiklopdi Oxford, Dunia Islam Modern, bersifat eklektik atau dirumuskan dan berbagai sumber terbaik. Risalah astronomi berbahasa Arab paling awal adalah kumpulan tabel astronomis yang dikenal dengan zij. Ditulis pada paruh pertama abad kedelapan di Sind dan Qandahar.
Risalah ini ditulis berdasarkan sumber-sumber berbahasa Sansekerta, tetapi juga memuat materi berbahasa Pahiavi atau Persia kuno. Turunanturunan dan karya Iran dan India inilah yang merupakan fase pertama astronomi Islam. Masuknya materi-materi dari Iran dan India lebih lanjut menandai fase kedua astronomi Islam.
Masa itu juga bersamaan dengan karya astronomi Yunani dan Ptolemeus yang berbahasa Pahlavi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Aktivitas ini berlangsung selama masa pemerintahan Khalifah al-Manshur dan Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Pada periode awal Abbasiyah, dikenal tiga sistem astronomi.
Ketiganya adalah sistem India (Sindhind), Iran (Zij aI-Syah), dan Ptolemaik yang dalam banyak hal saling bertentangan. Para astronom berusaha keras untuk mempertemukan ketiganya, tetapi akhirnya menyimpulkan bahwa sistern Ptolemaik yang terbaik di antara sistem-sistem yang ada.
Pada abad kesepuluh hadir al-Battani yang menjadi saat menentukan, astronomi Islam menerapkan Ptolemaisasi. Dan, karya Ptolemeus berjudul Almagest diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Karya lainnya, Planetary Hypothesis, juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dari sisi ini, sejarah astronomi Islam bercirikan sesuatu yang. oleh Thomas Kuhn disebut sebagai pemecahan teka-teki’ dalam paradigma Ptolemaik. Pada masa selanjutnya, Ibnu Haitsam membantah teori planet Ptolerneus. Dua abad kemudian ada Nashir al-Dun al-Thusi, kepala observatorium Maraghah, yang terus membuat penyempurnaan.
Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, menyatakan astronomi Islam menyumbang observatorium astnonomi pada dunia ilmu. Astronomi Islam pun melahirkan trigonometri. Dan di Maraghah, astronomi Islam mampu memicu pengembangan peralatan baru dan teknik matematis yang hebat. Para sejarawan sepakat, astronomi Islam merupakan yang terbaik pada zamannya.
Republika, ferry kisihandi