buddye8910i
New member
Pasar Imlek Semawis
Barangkali itulah kata yang cocok untuk menggambarkan para penjual jajanan dan makanan di kegiatan Pasar Imlek Semawis, yang berlangsung di Jalan Gang Pinggir, wilayah Pecinan Semarang, 2-5 Februari 2008. Kegiatan menjual makanan yang dimulai sore hari, kadang pada beberapa penjual, makanan sudah habis ketika hari belum terlalu malam. Padahal, kegiatan yang seperti pasar malam dengan aneka makanan/jajanan serta berbagai pertunjukan kesenian lokal itu berlangsung sampai tengah malam.
Para penjual makanan yang tampil di Pasar Imlek Semawis adalah mereka yang sehari-hari memang membuka kios makanan/jajanan di seputar kawasan Pecinan, seperti Gang Warung, Gang Baru, dan Gang Gambiran. Sejumlah pedagang dari gang-gang tadi pada acara Pasar Imlek Semawis berkesempatan membuka kiosnya di arena Pasar Imlek Semawis?yang setiap harinya dikunjungi manusia sampai berjubel, jalan pun kadang susah.
Mengapa pada kesempatan seperti itu mereka tak membuat makanan atau jajanannya dalam jumlah lebih banyak? ?Wis kesel... (Sudah capai),? kata seorang pedagang. Mungkin, memang seperti itulah virtue para pedagang di kawasan Pecinan Semarang itu: sebuah antitesis dari sesuatu yang bersifat massal.
Kecap Mirama
Lihat, misalnya, sekelumit cerita mengenai Kecap Mirama?produk yang sangat diakrabi oleh masyarakat Semarang. ?Anakku yang sekolah di Singapura atau siapa saja kenalan dari Semarang yang tinggal di luar negeri selalu akan meminta oleh-oleh Kecap Mirama. Makan nasi dengan kecap ini saja cukup,? kata Benita Eka Arijani. Dia termasuk penggerak kegiatan ini. Di seputar Pecinan, semua pedagang akan menyapanya. Di situ perempuan asal Salatiga ini seperti selebriti.
?Untuk membeli Kecap Mirama, diberlakukan kuota. Satu orang tak boleh membeli lebih dari dua botol,? kata Widya Wijayanti, arsitek yang juga punya peran dalam pelaksanaan acara ini. Widya menyunting buku Pasar Imlek Semawis 2006, yang di dalamnya tercatat riwayat kegiatan ini, termasuk riwayat beberapa usaha makanan legendaris di Semarang. Di salah satu kios penjual makanan, petang itu tampak Widya menikmati sate ayam, sampai berkeringat. ?Kecapnya Mirama,? katanya menunjuk saus untuk satenya.
Kecap memang terkait erat dengan kelokalan atau tradisi lokal. Tiap daerah punya unggulan kecap masing-masing. Itulah makanya ada sebutan, kecap selalu nomor satu?paling tidak untuk lidah daerah masing-masing. Untuk lidah Semarang, makanan baru afdal kalau dimasak dengan Kecap Mirama.
Lihat saja. Jalan-jalan petang hari di Pasar Imlek yang sangat hidup ini, pertama-tama menikmati apa yang disebut bakmi jowo. Dimasak dengan arang, bakmi goreng dengan ditambah kekian ini luar biasa sedap. Rasanya mau menggasak lebih dari satu porsi kalau tidak mengingat bahwa makanan-makanan lain perlu diberi tempat. Nasi goreng dan soto ayam di dekat situ menunjukkan lagi kualitasnya yang prima?juga dengan andalan kecapnya. Mengapa selalu Kecap Mirama? ?Wis kulino... (sudah terbiasa),? kata si pedagang. (Bukankah ada istilah bahasa Jawa juga, ?Tresno jalaran soko kulino??)
Makanan/jajanan di situ betapapun sederhananya, umumnya berakar pada tradisi yang panjang?ditumbuhkan dari kecintaan yang terpelihara dari generasi ke generasi. Kalau mau sedikit membandingkan dengan semangat zaman sekarang, itulah kelebihan mereka. Mereka tekun dan setia pada satu hal yang mereka cintai, yakni membuat makanan sampai roh pembuatnya seperti memanifestasi pada kelezatannya.
Kecap Mirama, misalnya, dibuat oleh nyonya yang katanya sangat hobi memasak, yakni Nyonya Kwik Sik Giem, pada sekitar tahun 1935. Yang meneruskan usahanya kini adalah pewaris kesekian. Tempat makan lain, Rumah Makan Air Mancur, sudah eksis sejak tahun 1940-an dan kini dilanjutkan oleh generasi ketiga. Meski namanya ?rumah makan?, jangan bayangkan satu tempat yang mewah. Tempatnya sederhana, menempati ruko dua lantai, dengan sajian nasi langgi, nasi berkat, lontong cap go meh, dan lain-lain. Dalam hal cita rasa, dia terasa lebih sedap dibandingkan dengan beberapa restoran peranakan yang sedang menghiasi kekenesan Jakarta.
Es puter Cong Lik
Setiap tempat makan di situ umumnya selalu punya sejarah panjang seperti itu. Bahkan juga es puter Cong Lik, dengan penampilan kiosnya yang sederhana. Es puter durian, kacang hijau, atau ketan hitamnya luar biasa, menyempurnakan petualangan makan sepanjang petang dan malam hari.
Menurut Yvonne, pemiliknya, usaha es putarnya ini sudah dimulai sejak tahun 1944. Tentu saja yang menjualnya waktu itu kakek buyutnya, yang katanya berjualan es puter dengan mendorong gerobak ketika umurnya masih sepuluh tahun. ?Makanya disebut cong (kacung) cilik (kecil),? kata Yvonne, ibu dua anak yang mengaku ?jomblo? ini sembari tertawa.
BRE/IND
? Kompas
Barangkali itulah kata yang cocok untuk menggambarkan para penjual jajanan dan makanan di kegiatan Pasar Imlek Semawis, yang berlangsung di Jalan Gang Pinggir, wilayah Pecinan Semarang, 2-5 Februari 2008. Kegiatan menjual makanan yang dimulai sore hari, kadang pada beberapa penjual, makanan sudah habis ketika hari belum terlalu malam. Padahal, kegiatan yang seperti pasar malam dengan aneka makanan/jajanan serta berbagai pertunjukan kesenian lokal itu berlangsung sampai tengah malam.
Para penjual makanan yang tampil di Pasar Imlek Semawis adalah mereka yang sehari-hari memang membuka kios makanan/jajanan di seputar kawasan Pecinan, seperti Gang Warung, Gang Baru, dan Gang Gambiran. Sejumlah pedagang dari gang-gang tadi pada acara Pasar Imlek Semawis berkesempatan membuka kiosnya di arena Pasar Imlek Semawis?yang setiap harinya dikunjungi manusia sampai berjubel, jalan pun kadang susah.
Mengapa pada kesempatan seperti itu mereka tak membuat makanan atau jajanannya dalam jumlah lebih banyak? ?Wis kesel... (Sudah capai),? kata seorang pedagang. Mungkin, memang seperti itulah virtue para pedagang di kawasan Pecinan Semarang itu: sebuah antitesis dari sesuatu yang bersifat massal.
Kecap Mirama
Lihat, misalnya, sekelumit cerita mengenai Kecap Mirama?produk yang sangat diakrabi oleh masyarakat Semarang. ?Anakku yang sekolah di Singapura atau siapa saja kenalan dari Semarang yang tinggal di luar negeri selalu akan meminta oleh-oleh Kecap Mirama. Makan nasi dengan kecap ini saja cukup,? kata Benita Eka Arijani. Dia termasuk penggerak kegiatan ini. Di seputar Pecinan, semua pedagang akan menyapanya. Di situ perempuan asal Salatiga ini seperti selebriti.
?Untuk membeli Kecap Mirama, diberlakukan kuota. Satu orang tak boleh membeli lebih dari dua botol,? kata Widya Wijayanti, arsitek yang juga punya peran dalam pelaksanaan acara ini. Widya menyunting buku Pasar Imlek Semawis 2006, yang di dalamnya tercatat riwayat kegiatan ini, termasuk riwayat beberapa usaha makanan legendaris di Semarang. Di salah satu kios penjual makanan, petang itu tampak Widya menikmati sate ayam, sampai berkeringat. ?Kecapnya Mirama,? katanya menunjuk saus untuk satenya.
Kecap memang terkait erat dengan kelokalan atau tradisi lokal. Tiap daerah punya unggulan kecap masing-masing. Itulah makanya ada sebutan, kecap selalu nomor satu?paling tidak untuk lidah daerah masing-masing. Untuk lidah Semarang, makanan baru afdal kalau dimasak dengan Kecap Mirama.
Lihat saja. Jalan-jalan petang hari di Pasar Imlek yang sangat hidup ini, pertama-tama menikmati apa yang disebut bakmi jowo. Dimasak dengan arang, bakmi goreng dengan ditambah kekian ini luar biasa sedap. Rasanya mau menggasak lebih dari satu porsi kalau tidak mengingat bahwa makanan-makanan lain perlu diberi tempat. Nasi goreng dan soto ayam di dekat situ menunjukkan lagi kualitasnya yang prima?juga dengan andalan kecapnya. Mengapa selalu Kecap Mirama? ?Wis kulino... (sudah terbiasa),? kata si pedagang. (Bukankah ada istilah bahasa Jawa juga, ?Tresno jalaran soko kulino??)
Makanan/jajanan di situ betapapun sederhananya, umumnya berakar pada tradisi yang panjang?ditumbuhkan dari kecintaan yang terpelihara dari generasi ke generasi. Kalau mau sedikit membandingkan dengan semangat zaman sekarang, itulah kelebihan mereka. Mereka tekun dan setia pada satu hal yang mereka cintai, yakni membuat makanan sampai roh pembuatnya seperti memanifestasi pada kelezatannya.
Kecap Mirama, misalnya, dibuat oleh nyonya yang katanya sangat hobi memasak, yakni Nyonya Kwik Sik Giem, pada sekitar tahun 1935. Yang meneruskan usahanya kini adalah pewaris kesekian. Tempat makan lain, Rumah Makan Air Mancur, sudah eksis sejak tahun 1940-an dan kini dilanjutkan oleh generasi ketiga. Meski namanya ?rumah makan?, jangan bayangkan satu tempat yang mewah. Tempatnya sederhana, menempati ruko dua lantai, dengan sajian nasi langgi, nasi berkat, lontong cap go meh, dan lain-lain. Dalam hal cita rasa, dia terasa lebih sedap dibandingkan dengan beberapa restoran peranakan yang sedang menghiasi kekenesan Jakarta.
Es puter Cong Lik
Setiap tempat makan di situ umumnya selalu punya sejarah panjang seperti itu. Bahkan juga es puter Cong Lik, dengan penampilan kiosnya yang sederhana. Es puter durian, kacang hijau, atau ketan hitamnya luar biasa, menyempurnakan petualangan makan sepanjang petang dan malam hari.
Menurut Yvonne, pemiliknya, usaha es putarnya ini sudah dimulai sejak tahun 1944. Tentu saja yang menjualnya waktu itu kakek buyutnya, yang katanya berjualan es puter dengan mendorong gerobak ketika umurnya masih sepuluh tahun. ?Makanya disebut cong (kacung) cilik (kecil),? kata Yvonne, ibu dua anak yang mengaku ?jomblo? ini sembari tertawa.
BRE/IND
? Kompas