gusrus
New member
Sering sekali terjadi perbedaan pandangan ketika komunikasi antara dokter dengan pasien dan keluarga yang tergolong awam dengan istilah medis. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat memahami makna dari bahasa kedokteran. Kalau saja dokter punya waktu untuk menjelaskannya kepada setiap pasien maka itu berarti memakan waktu yang lama dan panjang apalagi bila dilakukan di tempat praktek. Tidak juga bisa kita harapkan sama masyarakat agar mengetahui semua istilah dan bahasa kedokteran. Sehingga bisa saja menimbulkan kesalahpahaman akibat miskomunikasi antara dokter dan pasien.
Termasuk juga salah satu contohnya adalah parameter penyakit. Ada perbedaan pengertian yang dimaksudkan oleh masyarakat bahwa sembuh itu adalah tidak lagi merasakan sakit sehingga dikatakan penyakitnya hilang. Memang sangat subjektif. Karena itu tidaklah mungkin kalau kita sepakat bahwa pengertian subjektif masyarakat yang akan kita jadikan standar parameter penyakit atau sembuh. Bisa jadi ada sebagian masyarakat yang tidak mau dilakukan operasi maka tiba-tiba saja katanya sembuh hanya karena tidak merasakan lagi sakit atau pura-pura sembuh padahal masih saja terasa sakit namun ditahankan saja oleh empunya badan.
Masyarakat boleh saja mengatakan seribu satu alasan bahwa penyakitnya sembuh karena tidak lagi merasakan sakit, namun tetap secara objektif harus dibuktikan terlebih dulu apakah memang benar-benar sembuh. Pemeriksaan yang objektif inilah yang disarankan pada pasien yang mengaku sakitnya telah sembuh. Banyak sekali contoh-contoh pemeriksaan penunjang yang objektif itu mulai dari pemeriksaan darah untuk laboratorium, pemeriksaan radiologi seperti rontgen, USG, CT Scan, MRI dll., demikian juga dengan pemeriksaan patologi seperti biopsi, pap-smears, dan sitologi jaringan. Tentunya pemeriksaan penunjang ini hanya untuk membuktikan apakah memang benar diagnosa klinis yang dibuat oleh dokter, seperti kecurigaan adanya tumor payudara, tumor otak, pembesaran jantung, perdarahan otak, batu ginjal, batu empedu, kehamilan ektopik dll. Semua pemeriksaan penunjang itu dinamakan dengan diagnostic tools.
Tidak mungkin seorang dokter itu cuma mengatakan bahwa saudara terkena batu empedu namun tidak berdasarkan ultrasonograpi, atau saudara mengidap tumor otak hanya berdasarkan penglihatan kasat mata saja.
Bagaimana dengan reaksi dari masyarakat bila ada dokter yang memvonis suatu penyakit tanpa pemeriksaan penunjang ?
Jelas saja, terjadi reaksi yang hebat dari masyarakat terhadap dokter tersebut. Karena itu berarti si dokter tidak beda jauh dengan dukun atau katakanlah orang pintar yang menerawang penyakit tanpa diagnostic tools.
Lalu masyarakat pun menjadi takut dengan tindakan operasi yang akan disarankan oleh dokter tersebut.
Dokter akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat kalau dia tidak mampu membuktikan dugaan sakit tadi benar atau salah. Namun sebaliknya, dokter pun akan menjadi terhormat bilamana berhasil meyakinkan pasien akan diagnosanya dengan bukti-bukti dari pemeriksaan penunjang yang disarankannya yang dikenal dengan diagnostic tools tadi.
Diagnostic tools ini adalah istilah yang menggambarkan seperangkat alat kesehatan yang digunakan untuk membuktikan diagnosa klinis seorang dokter.
Ada beberapa pertanyaan yang diperlukan untuk menggambarkan kegunaan diagnostic tools tersebut seperti :
Apakah kita percaya saja bila dokter mengatakan bahwa saudara terkena stroke tanpa dilakukan CT Scan Kepala ?
Apakah saudara percaya kalau dokter bilang istri anda mengidap kanker payudara tanpa dilakukan pemeriksaan biopsi dan sitologi jaringan mamae ?
Apakah kita boleh percaya bila dokter mengatakan bahwa saudara mulai sekarang mempunyai diabetes melitus tanpa pemeriksaan darah seperti hba1c dan gula darah sewaktu ?
Apakah saudara juga percaya saat dokter memvonis penyakit anda adalah batu ginjal tanpa melalui pemeriksaan USG dan BNO-IVP pada diri anda sebagai pasien ?
Apakah anda setuju diamputasi karena dokter bilang tulang kering anda patah tanpa adanya pemeriksaan rontgen ?
Tentunya sebagai dokter seharusnya meyakinkan kepada pasien bahwa gejala dan tanda yang dikeluhkan oleh pasien memerlukan pembuktian penyakit, yang selanjutnya akan ditentukan pula tindakan apa yang tepat apakah hanya obat ataukah operasi.
Setelah ada hasil dari pemeriksaan penunjang tadi maka keluarlah diagnosa pasti seperti tumor otak, kanker payudara, patah tulang, batu empedu, batu ginjal, diabetes dan lain-lainnya.
Dari diagnosa pasti inilah pasien nantinya diberitahukan tindakan apa yang akan dilakukan.
Disamping istilah diagnosa pasti, ada juga dengan istilah prognosis, dimana pengertiannya adalah ramalan dari suatu penyakit bila tidak diobati maupun setelah diberikan terapi. Misalnya kasus tumor otak, prognosisnya 60% dalam 5 tahun angka harapan hidupnya, atau kanker darah leukemia mempunyai 40-80% angka harapan hidup dalam 5 tahun ke depan. Tentunya angka itu dihitung berdasarkan fakta-fakta dilapangan.
Prognosis juga dipakai untuk mengevaluasi keberhasilan suatu tindakan, apakah kemoterapi,radioterapi atau operasi.
Misalkan saja pada kasus asma bronkial, dalam ilmu kedokteran, asma dibagi menjadi tiga macam berdasarkan tingkat kekambuhan seperti asma intermiten, asma persisten dan asma terkontrol. Banyak sekali perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai tingkat kekambuhan asma ini, sehingga bila dalam satu bulan saja tidak kumat maka ramai-ramai menyebutkan dirinya sudah sembuh, padahal dunia kedokteran bilang itu asma yang terkontrol artinya masih punya resiko untuk kambuh lagi.
Demikian juga halnya tentang diabetes melitus,yang selalu masyarakat katakan bahwa diabetesnya sudah sembuh padahal dunia kedokteran bilang itu diabetes terkontrol, namun sayangnya tidak banyak masyarakat yang menerima vonis dokter bahwa diabetesnya belum sembuh, katanya selalu ada saja alasan dokter itu mencari-cari pemeriksaan darah yang tidak pro sama rakyat. Padahal menurut kaca mata dokter, diabetes itu tidak mungkin sembuh hanya saja terkontrol, sebab sulit sekali menurunkan kadar HbA1c sebagai parameter sembuh tidaknya diabetes dan tidak hanya melihat kadar gula darah.
Perdebatan parameter penyakit ini tidak banyak dianut dan dimengerti oleh pasien dan keluarganya karena yang penting bagi mereka adalah tidak ada lagi keluhan dan rasa sakit dalam tubuhnya, masa bodoh dokter mau bilang diabetes mereka belum sembuh.
Ada juga komponen masyarakat awam yang mengadopsi istilah medis ini untuk pembenaran tindakan pengobatan alternatif yang mereka lakukan itu dengan mengatakan penyakit diabetes saudara sembuh setelah dilakukan pengobatan alternatif. Akibatnya pasien atau masyarakat yang divonis sembuh tadi tidak lagi diet diabetes dan akhirnya timbul lah komplikasi diabetes seperti stroke, jantung koroner dan gagal ginjal yang mengharuskan mereka menjalankan cuci darah.
Tidak seharusnya pengobat alternatif itu mengadopsi istilah medis seperti diagnosa medis yang dibuat oleh dokter terkecuali latar belakang pengobat tadi memang dari kalangan dokter seperti dari perkumpulan CAM.
Hanya saja disayangkan tidak semua pengobat alternatif itu memilikki latar belakang ilmu kedokteran sehingga mereka ikut pula memakai istilah yang digunakan oleh dokter seperti diagnosa, padahal untuk menegakkan suatu diagnosa klinik tadi sangat tergantung dengan diagnostic tools.
Dimana letak rasionalisasi diagnosa medis yang ditegakkan oleh mereka yang bukan dokter ?
Jelas saja sangat tidak rasional. Itu namanya tebak-tebakan diagnosa medis.
Itulah yang para dokter sebutkan adalah parameter penyakit.
Ketika seorang dinyatakan menderita batu ginjal oleh dokter berdasarkan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan salah satu diagnostic tools seperti BNO IVP maka itu benar dan disarankan agar operasi pengangkatan batu ginjal tersebut dan bila diperiksakan lagi BNO IVP maka batu ginjal tadi hilang karena telah dioperasi.
Lalu ketika pengobat alternatifnya mengatakan bahwa batu ginjalnya hilang hanya karena tindakan alternatifnya lantas timbul pertanyaan dari mana buktinya ? Kemudian setelah disarankan oleh dokter agar dibuktikan dengan BNO IVP malah batu ginjalnya sama sekali tidak hilang. Itu hanya sugesti yang diberikan oleh pengobat alternatif kepada pasien, namun penyakitnya (batu ginjal) tidak sembuh sama sekali.
Disitulah perbedaan parameter penyakit antara pasien,dokter dan pengobat alternatif.
Lantas disepakati bahwa parameter penyakit apa yang kita sepakati agar pasien,dokter dan pengobat alternatif bisa sama-sama mengatakan penyakitnya sembuh ?
Tentu saja kita harus sepakat dulu bahwa parameter penyakit itu ditentukan dari diagnostic tools dan itulah yang bisa menjembatani para komunitas pengobat.
Pertanyaannya adalah kenapa diagnostic tools ?
Jawabnya adalah tegaknya diagnosa klinis pasti itu berdasarkan diagnostic tools punyanya dokter. Berdasarkan diagnosa dokterlah maka ramai-ramai masyarakat menggunakannya baik untuk kepentingan mencari pengobatan alternatif maupun konvensional.
Lalu bagaimana dengan parameter kesembuhan penyakit ?
Seharusnya masyarakat juga harus sepakat bahwa melalui diagnostic tools juga lah bisa kita tentukan apakah suatu penyakit itu sudah mengalami remisi, sembuh total, ataukah cacat.
Katakanlah stroke, setelah menjalani pengobatan alternatif dan dinyatakan sembuh tanpa pemeriksaan diagnostic tools apakah anda yakin bahwa stroke nya benar-benar telah sembuh ?
Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat antara sembuh menurut masyarakat awam belum tentu sembuh menurut persepsi dokter.
Perbedaan pendapat itu tidak lain dan tidak bukan karena tidak semuanya parameter penyakit itu di fahami oleh masyarakat awam maupun pengobat alternatif.
Mari kita bersama-sama mulai sekarang memahami makna dari parameter penyakit agar semua masyarakat bisa menilai dengan sangat jelas mana yang sembuh palsu dan mana yang sembuh beneran.
Termasuk juga salah satu contohnya adalah parameter penyakit. Ada perbedaan pengertian yang dimaksudkan oleh masyarakat bahwa sembuh itu adalah tidak lagi merasakan sakit sehingga dikatakan penyakitnya hilang. Memang sangat subjektif. Karena itu tidaklah mungkin kalau kita sepakat bahwa pengertian subjektif masyarakat yang akan kita jadikan standar parameter penyakit atau sembuh. Bisa jadi ada sebagian masyarakat yang tidak mau dilakukan operasi maka tiba-tiba saja katanya sembuh hanya karena tidak merasakan lagi sakit atau pura-pura sembuh padahal masih saja terasa sakit namun ditahankan saja oleh empunya badan.
Masyarakat boleh saja mengatakan seribu satu alasan bahwa penyakitnya sembuh karena tidak lagi merasakan sakit, namun tetap secara objektif harus dibuktikan terlebih dulu apakah memang benar-benar sembuh. Pemeriksaan yang objektif inilah yang disarankan pada pasien yang mengaku sakitnya telah sembuh. Banyak sekali contoh-contoh pemeriksaan penunjang yang objektif itu mulai dari pemeriksaan darah untuk laboratorium, pemeriksaan radiologi seperti rontgen, USG, CT Scan, MRI dll., demikian juga dengan pemeriksaan patologi seperti biopsi, pap-smears, dan sitologi jaringan. Tentunya pemeriksaan penunjang ini hanya untuk membuktikan apakah memang benar diagnosa klinis yang dibuat oleh dokter, seperti kecurigaan adanya tumor payudara, tumor otak, pembesaran jantung, perdarahan otak, batu ginjal, batu empedu, kehamilan ektopik dll. Semua pemeriksaan penunjang itu dinamakan dengan diagnostic tools.
Tidak mungkin seorang dokter itu cuma mengatakan bahwa saudara terkena batu empedu namun tidak berdasarkan ultrasonograpi, atau saudara mengidap tumor otak hanya berdasarkan penglihatan kasat mata saja.
Bagaimana dengan reaksi dari masyarakat bila ada dokter yang memvonis suatu penyakit tanpa pemeriksaan penunjang ?
Jelas saja, terjadi reaksi yang hebat dari masyarakat terhadap dokter tersebut. Karena itu berarti si dokter tidak beda jauh dengan dukun atau katakanlah orang pintar yang menerawang penyakit tanpa diagnostic tools.
Lalu masyarakat pun menjadi takut dengan tindakan operasi yang akan disarankan oleh dokter tersebut.
Dokter akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat kalau dia tidak mampu membuktikan dugaan sakit tadi benar atau salah. Namun sebaliknya, dokter pun akan menjadi terhormat bilamana berhasil meyakinkan pasien akan diagnosanya dengan bukti-bukti dari pemeriksaan penunjang yang disarankannya yang dikenal dengan diagnostic tools tadi.
Diagnostic tools ini adalah istilah yang menggambarkan seperangkat alat kesehatan yang digunakan untuk membuktikan diagnosa klinis seorang dokter.
Ada beberapa pertanyaan yang diperlukan untuk menggambarkan kegunaan diagnostic tools tersebut seperti :
Apakah kita percaya saja bila dokter mengatakan bahwa saudara terkena stroke tanpa dilakukan CT Scan Kepala ?
Apakah saudara percaya kalau dokter bilang istri anda mengidap kanker payudara tanpa dilakukan pemeriksaan biopsi dan sitologi jaringan mamae ?
Apakah kita boleh percaya bila dokter mengatakan bahwa saudara mulai sekarang mempunyai diabetes melitus tanpa pemeriksaan darah seperti hba1c dan gula darah sewaktu ?
Apakah saudara juga percaya saat dokter memvonis penyakit anda adalah batu ginjal tanpa melalui pemeriksaan USG dan BNO-IVP pada diri anda sebagai pasien ?
Apakah anda setuju diamputasi karena dokter bilang tulang kering anda patah tanpa adanya pemeriksaan rontgen ?
Tentunya sebagai dokter seharusnya meyakinkan kepada pasien bahwa gejala dan tanda yang dikeluhkan oleh pasien memerlukan pembuktian penyakit, yang selanjutnya akan ditentukan pula tindakan apa yang tepat apakah hanya obat ataukah operasi.
Setelah ada hasil dari pemeriksaan penunjang tadi maka keluarlah diagnosa pasti seperti tumor otak, kanker payudara, patah tulang, batu empedu, batu ginjal, diabetes dan lain-lainnya.
Dari diagnosa pasti inilah pasien nantinya diberitahukan tindakan apa yang akan dilakukan.
Disamping istilah diagnosa pasti, ada juga dengan istilah prognosis, dimana pengertiannya adalah ramalan dari suatu penyakit bila tidak diobati maupun setelah diberikan terapi. Misalnya kasus tumor otak, prognosisnya 60% dalam 5 tahun angka harapan hidupnya, atau kanker darah leukemia mempunyai 40-80% angka harapan hidup dalam 5 tahun ke depan. Tentunya angka itu dihitung berdasarkan fakta-fakta dilapangan.
Prognosis juga dipakai untuk mengevaluasi keberhasilan suatu tindakan, apakah kemoterapi,radioterapi atau operasi.
Misalkan saja pada kasus asma bronkial, dalam ilmu kedokteran, asma dibagi menjadi tiga macam berdasarkan tingkat kekambuhan seperti asma intermiten, asma persisten dan asma terkontrol. Banyak sekali perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai tingkat kekambuhan asma ini, sehingga bila dalam satu bulan saja tidak kumat maka ramai-ramai menyebutkan dirinya sudah sembuh, padahal dunia kedokteran bilang itu asma yang terkontrol artinya masih punya resiko untuk kambuh lagi.
Demikian juga halnya tentang diabetes melitus,yang selalu masyarakat katakan bahwa diabetesnya sudah sembuh padahal dunia kedokteran bilang itu diabetes terkontrol, namun sayangnya tidak banyak masyarakat yang menerima vonis dokter bahwa diabetesnya belum sembuh, katanya selalu ada saja alasan dokter itu mencari-cari pemeriksaan darah yang tidak pro sama rakyat. Padahal menurut kaca mata dokter, diabetes itu tidak mungkin sembuh hanya saja terkontrol, sebab sulit sekali menurunkan kadar HbA1c sebagai parameter sembuh tidaknya diabetes dan tidak hanya melihat kadar gula darah.
Perdebatan parameter penyakit ini tidak banyak dianut dan dimengerti oleh pasien dan keluarganya karena yang penting bagi mereka adalah tidak ada lagi keluhan dan rasa sakit dalam tubuhnya, masa bodoh dokter mau bilang diabetes mereka belum sembuh.
Ada juga komponen masyarakat awam yang mengadopsi istilah medis ini untuk pembenaran tindakan pengobatan alternatif yang mereka lakukan itu dengan mengatakan penyakit diabetes saudara sembuh setelah dilakukan pengobatan alternatif. Akibatnya pasien atau masyarakat yang divonis sembuh tadi tidak lagi diet diabetes dan akhirnya timbul lah komplikasi diabetes seperti stroke, jantung koroner dan gagal ginjal yang mengharuskan mereka menjalankan cuci darah.
Tidak seharusnya pengobat alternatif itu mengadopsi istilah medis seperti diagnosa medis yang dibuat oleh dokter terkecuali latar belakang pengobat tadi memang dari kalangan dokter seperti dari perkumpulan CAM.
Hanya saja disayangkan tidak semua pengobat alternatif itu memilikki latar belakang ilmu kedokteran sehingga mereka ikut pula memakai istilah yang digunakan oleh dokter seperti diagnosa, padahal untuk menegakkan suatu diagnosa klinik tadi sangat tergantung dengan diagnostic tools.
Dimana letak rasionalisasi diagnosa medis yang ditegakkan oleh mereka yang bukan dokter ?
Jelas saja sangat tidak rasional. Itu namanya tebak-tebakan diagnosa medis.
Itulah yang para dokter sebutkan adalah parameter penyakit.
Ketika seorang dinyatakan menderita batu ginjal oleh dokter berdasarkan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan salah satu diagnostic tools seperti BNO IVP maka itu benar dan disarankan agar operasi pengangkatan batu ginjal tersebut dan bila diperiksakan lagi BNO IVP maka batu ginjal tadi hilang karena telah dioperasi.
Lalu ketika pengobat alternatifnya mengatakan bahwa batu ginjalnya hilang hanya karena tindakan alternatifnya lantas timbul pertanyaan dari mana buktinya ? Kemudian setelah disarankan oleh dokter agar dibuktikan dengan BNO IVP malah batu ginjalnya sama sekali tidak hilang. Itu hanya sugesti yang diberikan oleh pengobat alternatif kepada pasien, namun penyakitnya (batu ginjal) tidak sembuh sama sekali.
Disitulah perbedaan parameter penyakit antara pasien,dokter dan pengobat alternatif.
Lantas disepakati bahwa parameter penyakit apa yang kita sepakati agar pasien,dokter dan pengobat alternatif bisa sama-sama mengatakan penyakitnya sembuh ?
Tentu saja kita harus sepakat dulu bahwa parameter penyakit itu ditentukan dari diagnostic tools dan itulah yang bisa menjembatani para komunitas pengobat.
Pertanyaannya adalah kenapa diagnostic tools ?
Jawabnya adalah tegaknya diagnosa klinis pasti itu berdasarkan diagnostic tools punyanya dokter. Berdasarkan diagnosa dokterlah maka ramai-ramai masyarakat menggunakannya baik untuk kepentingan mencari pengobatan alternatif maupun konvensional.
Lalu bagaimana dengan parameter kesembuhan penyakit ?
Seharusnya masyarakat juga harus sepakat bahwa melalui diagnostic tools juga lah bisa kita tentukan apakah suatu penyakit itu sudah mengalami remisi, sembuh total, ataukah cacat.
Katakanlah stroke, setelah menjalani pengobatan alternatif dan dinyatakan sembuh tanpa pemeriksaan diagnostic tools apakah anda yakin bahwa stroke nya benar-benar telah sembuh ?
Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat antara sembuh menurut masyarakat awam belum tentu sembuh menurut persepsi dokter.
Perbedaan pendapat itu tidak lain dan tidak bukan karena tidak semuanya parameter penyakit itu di fahami oleh masyarakat awam maupun pengobat alternatif.
Mari kita bersama-sama mulai sekarang memahami makna dari parameter penyakit agar semua masyarakat bisa menilai dengan sangat jelas mana yang sembuh palsu dan mana yang sembuh beneran.