Parpol Lebih Senang Jadi "Broker"

nurcahyo

New member
Parpol Lebih Senang Jadi "Broker"

Kapanlagi.com - Pencaharian pemimpin masa depan tak mudah dilakukan kalau hanya mengandalkan kekuasaan partai politik (parpol) seperti sistem yang ada saat ini karena parpol tidak serius menjalankan tugas sebagai pemasok kader pemimpin, sebab parpol justru mejadi perantara atau broker politik.

"Partai politik saat ini cenderung menjadi broker politik dalam memunculkan pemimpin, seperti dalam penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah sehingga untuk memunculkan pemimpin yang berkualitas tidaklah mudah," kata pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Lembaga SurveiIndonesia (LSI) Saiful Mujani dalam Dialektika Demokrasi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (24/11).

Dia menegaskan, partai tidak lagi memikirkan apakah orang yang dicalonan itu merupakan kader terbaiknya atau tidak. Yang penting sosok yang diajukan datang ke partai dan bisa memenuhi syarat-sayarat yang telah ditetapkan.

"Seperti PDIP, kalau saya jadi orang PDIP tersinggung karena banyak orang yang datang ke partai ini meski bukan kadernya dan lucunya bisa dicalonkan sebagai kepala daerah," katanya.

Sebenarnya hal ini merupakan konsekuensi dari parpol yang terbuka seperti PDIP. Tetapi sangat disayangkan ketika PDIP tidak mempertimbangkan soal kualitas dan loyalitas kadernya kepada partai.

"Seperti Barnabas Suaebu menjadi Gubernur Papua berangkat dari PDIP, tetapi baru beberapa saat dia kembali ke Golkar dan ditetapkan sebagai penasehat partai tersebut," katanya.

Kader "Antri"

Di sisi lain, kata Mujani, di PDIP banyak kader partai yang sudah lama mengantri untuk menjadi pemimpin. Tapi kenyataannya kalau yang diambil orang-orang dari luar partai menjadi kader untuk dicalonkan dalam pemilihan justru pembinaan kader menjadi sia-sia. " Lalu untuk apa jadi anggota partai bila tidak jadi pemimpin. Lebih baik jadi pengusaha yang bisa membeli partai," katanya.

Mengingat parpol yang lebih senang menjadi broker, maka pemimpin berkualitas sulit dimunculkan. Di Indonesia, akan sulit menampilkan pemimpin berkualitas, seperti Presiden Iran Ahmadinejad atau Evo Morale dari Bolivia.Tokoh yang akan muncul di Indonesia adalah sosok yang moderat.

Namun, Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait membantah bahwa PDIP hanyalah partai broker. Menurut dia, merekrut orang luar untuk menjadi pimpinan PDIP merupakan strategi partai.

"Seperti Barnabas Suaebu. Meskipun ada SK DPP Golkar yang mengangkatnya sebagai penasehat partai, dalam suatu pertemuan dia bertekad tidak akan melupakan PDIP," katanya.

Demikian pula PDIP di Sulawesi Selatan yang memilih HZB Palaguna sebagai pimpinan partai meskipun sebelumnya dia kader Golkar. Menurut Maruarar, hal ini merupakan strategi karena di wilayah itu, PDIP tak pernah menang.

"Bukan berarti kita harus selalu mengangkat kader yang sudah antri lama," katanya.

"Buktinya di beberapa wilayah Sumatera yang merupakan basis PDIP, pencalonan kader-kader partai ternyata dalam pilkadanya kalah semua".

Sedangkan di daerah lain yang mencalonkan tokoh di luar partai, justru PDIP meraih kemenangan.

Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas berani dan jujur di Indonesia saat ini memang tergantung oleh partai politik. Karena itu, partai politik menurut UU memang menjadi penentu posisi pemimpin.

"Kalau ditanya apakah di Indonesia bisa lahir seorang pemimpin seperti Ahmaddinejad dari Iran atau Evo Morales dari Bolivia, itu sangat bisa," katanya.
Dari sejumlah calon Ketua Umum PPP yang mulai muncul saat ini, lanjut Patongai, figur Surya Darma Ali dan Yunus Yosfiah memiliki nilai jual tinggi.

"Tapi tidak menutup kemungkinan ada calon lain," katanya.

Sekretaris DPC PPP Poso, Syamsuyadi, yang dihubungi terpisah mengatakan pihaknya belum menentukan siapa figur yang akan diusung dalam Muktamar.

Sekalipun demikian, Syamsuyadi mematok calon yang akan dipilih DPC PPP Poso merupakan figur yang mengakar di partai, bukan kader kutu loncat atau figur di luar partai yang ingin menjadikan PPP sebagai kuda tunggangan menjelang pemilu 2009.

"Kami baru memberi batasan figur seperti itu," ujarnya.
 
Back
Top