alanlejac
New member
Suatu hari di kamp tahanan Auschwitz Nazi Jerman yang dikenal sebagai kamp tahan paling kejam dalam perang dunia kedua, seorang komandan kamp yang bernama Karl Fritsch dan dijuluki “Tukang Jagal” oleh para tahanan, memerintahkan para tahanan dari blok dimana pastor Kolbe ditahan untuk berbaris, dan kemudian memilih 10 orang dari mereka untuk dimasukkan ke dalam sel dibawah tanah dimana tidak ada satu cahaypun bisa masuk dan kemudian dibiarkan kelaparan, telanjang tanpa selimut penahan dingin, tanpa makanan dan air, dan para tahanan akan dibiarkan mati perlahan-lahan. Hal ini merupakan bukti dari ancaman sang “Tukang Jagal”, bahwa apabila ada seorang tahanan yang berani melarikan diri, maka 10 orang akan mati sebagai konsekwensinya, dan pada hari tersebut, seorang tahanan di sel pastor Kolbe menghilang dan dianggap telah melarikan diri.
Setelah berjam-jam, dan banyak tahanan jatuh pingsan ke tanah dilemahkan rasa lapar dan panas matahari, Karl Fritsch mulai menghitung kesepuluh orang yang akan dimasukkan ke dalam sel tahanan di bawah tanah. Salah satu diantaranya adalah anggota pertahanan Polandia, Franciszek Gajowniczek; ia berteriak putus asa, “ Istriku yang malang, anak-anakku yang malang. Akan jadi apa mereka ? “.
Tak tergugah oleh tangisan kesepuluh pria malang ini, “Tukang Jagal” Fritsch memandangi sebagian kecil dari kemanusiaan yang hidup dan matinya ada di tangannya. Ia tanpa belas kasihan. Tetapi sebelum dia berpaling, seorang tahanan yang tidak terpilih di sebelah kiri, berjalan cepat ke arahnya dan berbicara kepadanya. Fritsch tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh orang tersebut. “Apa yang diinginkan oleh babi Polandia ini ? “ tanyanya kepada penjaga. Orang tersebut menunjuk kepada Franciszek Gajowniczek dan berkata, “ Saya seorang pastor Katolik. Biarkan saya menggantikan tempatnya. Saya sudah tua. Ia punya istri dan anak. “.
Tahanan lain menduga bahwa pastor ini hanya akan membuat tentara Nazi lebih marah lagi, malah akan menghukum mati keduanya. Mereka terkejut, begitu pula si “ Tukang Jagal.” Untuk waktu yang lama ia tidak merespon, hanya memandangi pastor kecil itu seakan-akan ia gagal memahami apa yang telah dikatakan oleh si pastor tua. Perwujudan kejahatan bertemu dengan perwujudan cinta, dan keluhuran belas kasih, idealisme yang lebih tinggi dari seorang yang ia anggap berasal dari ras yang lebih rendah, pastilah membuat ragu Fritsch, meskipun sekilas saja. Seorang tahanan yang kelak berhasil bertahan hidup mengingat peristiwa ini. “ Komandan itu sepertinya diam seribu bahasa karena takjub, Setelah beberapa saat ia memberi tanda dengan tangannya. Ia hanya mengatakan satu kata : “ pergi.”
Gajownick kembali ke barisan tahanan lain yang tidak dipilih, dan si pastor kemudian digiring memasuki sel pelaparan bersama 9 tahanan lain. “ Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan pandangan mata, “ ingat Gajowniczek. “ Saya takjub dan sulit sepenuhnya menangkap apa yang terjadi. Kepekatan peristiwan itu: saya, yang dihukum, dapat hidup, sementara seseorang bersedia menawarkan hidupnya bagi saya-seorang asing. Apakah ini mimpi ? Berita ini segera menyebar ke seluruh kamp. Itulah peristiwa pertama dan terakhir yang pernah terjadi di sepanjang sejarah Auschwitz. “
Tahanan lain yang berhasil hidup mengingat efek dari pengorbanan diri sang pastor pada tahanan lain sebagai “ suatu kejutan penuh harapan, memunculkan hidup dan kekuatan baru...seperti kilasan cahaya yang kuat ditengah kegelapan. “
Pastor katolik tersebut adalah Maximilian Kolbe, seorang pastor dari Polandia. Ia lahir pada tahun 1894 dari orang tua yang saleh, Julius dan Maria, yang berharap pada suatu hari dapat mengabdikan diri mereka kepada Gereja. Ketika ketiga putra mereka diterima di seminari junior Fransiskan di Lwow, Polandia, mereka berdua mengumumkan niat untuk memasuki hidup religius. Di seminari itu, putra kedua mereka yang bernama Raymond sangat menonjol dalam matematika dan fisika. Niat kedua orang tuanya itu membuat Raymond terdorong untuk meninggalkan cita-citanya dalam karir militer. Ia akan terlibat dalam perang spiritual daripada perang duniawi, membebaskan jiwa-jiwa rakyatnya daripada tanah airnya. Ia diterima di novisiat (sekolah calon biarawan) ordo Fransiskan pada tahun 1910, dan diberi nama maximilian. Delapan tahun kemudian ia ditahbiskan sebagai pastor, dan menambahkan nama Maria pada nama religiusnya, sebagai tanda dan bukti terhadap kasih dan cintanya kepada Bunda Maria.
Sebagai mahasiswa yang menonjol, ia mempelajari teologi dan filsafat di universitas Jesuit Gregorian dan Kolese Serafico, roma, dari tahun 1912 sampai 1919, dan memperoleh gelar doktoral di kedua bidang ini. Ketika masih diseminari, ia menyaksikan orang-orang Freemasons berdemonstrasi melawan Gereja Katolik di Roma, dan ia bersumpah untuk membentuk sebuah organisasi religius demi menahan serangan iman mereka. Dengan beberapa murid seminari lain, ia membentuk Milita Immaculata, yang bertujuan “ menobatkan para pendosa, pemurtadan, dan pemecah belah umat (skismatik), terutama Freemasons,” kepada cinta Kristus melalui campur tangan Bunda Maria.
Setelah kembali ke Polandia pada tahun 1919 dan mengajar di seminari krakow, hanya dengan satu paru-paru yang rusak dan satunya lagi lumpuh karena tuberkulosis, tetapi tak pernah membiarkan penyakit kronis ini mengalihkan dirinya dari tujuan suci, ia mencurahkan diri ke dalam kerja Militia Immaculata, mendirikan kelompok-kelompok di seluruh Polandia dan menerbitkan majalah bulanan, Knight of the Immaculate. Dalam beberapa tahun, majalah ini menjangkau seratus ribu orang beriman polandia, dan perjuangan maximilian Kolbe telah tumbuh terlalu besar bagi biara kecil tempat dia tinggal.
Kemudian ia memutuskan mendirikan biara baru, City of The Immaculate (Kota Suci), di dekat Warsawa, tempat “kami akan menjalankan kepatuhan dan kepapaan, dengan semangat St. Fransiskus.” Biara ini berkembang. Dan dalam sepuluh tahun telah menjadi biara terbesar di dunia, berisi ratusan bruder, pastor, dan siswa seminari. Pada 1930-an penerbitan Milita Immaculate setiap bulan mencetak 750.000 majalah Knight, dan mulai menerbitkan harian populer. Dan seperti niat awalnya, perjuangan itu mempengaruhi seluruh bangsanya. Sebagian besar karena pewartaan dan penerbitan Militia, orang Polandia dari berbagai golongan jadi lebih religius.
Kemerdekaan Polandia yang singkat setelah Perang Dunia pertama berakhir dengan penyerangan pasukan Nazi Jerman pada tahun 1939 dan awal Perang Dunia Kedua. Tentara Jerman menduduki biara Pastor Kolbe, City of the Immaculate. Setelah ditahan dan dikirimkan ke Jerman di bulan September 1939, dua bulan kemudian, Pastor Kolbe dan para paderi serta brudernya dilepaskan. Kembali ke Polandia, kemudian mereka melanjutkan penerbitan knight dan publikasi lain, termasuk yang dianggap anti ideologi Nazi. Mereka juga membangun tempat bernaung dan rumah sakit bagi pengungsi Polandia, yang berjumlah ribuan dan sebagian besar adalah orang Yahudi yang diburu oleh Nazi Jerman. Tindakan ini tampaknya sebagai tantangan langsung kepada penguasa Nazi. Menanggapi ini semua, Pastor kolbe dalam alah satu khotbah atas namanya sendiri, di majalah knight menulis : “ Konflik sebenarnya ialah konflik di dalam diri. Di balik tentara pendudukan dan ruang bawah tanah kamp-kamp konsentrasi, ada dua musuh yang yang tidak termaafkan di kedalaman setiap jiwa, yaitu baik dan buruk, dosa dan cinta. Dan apa gunanya kemenangan di medan perang jika kita sendiri kalah di kedalaman diri. “
Pada Februari 1941, Gestapo menyerbu pusat penerbitan dan menahan Pastor Kolbe dan saudara-saudaranya. “ Beranikan diri,” katanya kepada mereka, “ Kita akan pergi menjalankan misi kita. “. Pertama-tama ia ditahan di di penjara Warsawa. Seorang sipir Nazi melihat pastor kecil ini, berjubah hitam, berkeliling penjaran melayani tahanan lain, ia menghentikan Pastor Kolbe dan bertanya apakah ia percaya kepada Kristus, “ Ya, saya percaya,” jawabnya, dan jawaban itu segera memberikan pukulan kepada sang pastor. Beberapa kali pertanyaan ini diajukan, dan jawabannya tetap sama. “ Ya, saya percaya. Ya, saya percaya. “ Ia dipukuli untuk setiap jawaban itu.
Pada Mei 1941, Pastor Kolbe dipndahkan ke Auschwitz, mengenakan seragam penjara bergaris dan ditato nomor 16670, dimana peristiwa tersebut diatas terjadi. Meski hanya punya satu paru-paru dan kesehatannya tambah buruk, ia diberi pekerjaan terberat dan diawasi oleh penjaga-penjaga paling kejam, yang merasakan kebencian kepada pastor yang rapuh ini. Kolbe diharuskan menarik gerobak berisi batu kapur untuk membangun krematorium. Pekerjaan ini harus dilakukan sambil berlari. Bila ia tidak cukup cepat, para penjaga akan memukulinya atau memerintahkan anjing-anjing mereka menyerangnya. Pastor Kolbe tidak pernah berteriak kesakitan, tetapi diam-diam berdoa untuk penyerangnya. Ketika tahanan lain berusaha menolongnya, ia menolak. “jangan meresikokan kehidupan demi saya,” katanya kepada mereka. Dan ia hanya berharap kepada Tuhan yang memberi kekuatan.
Pada situasi sesulit itu diam-diam ia tetap melanjutkan kerasulan. Ia menerima pengakuan dosa, mengkhotbahkan cinta dan pengampunan, memberkati orang sakit dan sekarat, berdoa bagi mereka, ketika para tahanan yang lapar saling mendorong saat antre makanan, Pastor Kolbe menunggu sampai semua orang menerima jatah roti dan sup mereka sebelum mengambil jatahnya. Sering ia tidak dapat makanan. Ketika ia menerima sedikit jatahnya, ia berbagi dengan orang lain. Melewati semua horor dan penyiksaan, tiada seorang pun yang melihat Pastor Kolbe pernah meragukan imannya atau berhenti mengilhami cinta dan keselamatan kepada orang lain.
Kembali peristiwa diatas, dalam sel kelaparan, pengorbanan ini berlangsung selama dua minggu. Tak terdengar tangisan dari sel pelaparan, hanya suara orang berdoa dan lagu-lagu pujian. Ketika mereka semakin melemah, doa mereka terdengar sebagai bisikan. Penderitaan mereka sangat ekstrem. Karena sangat kehausan, mereka sampai menjilati kelembaban dari dinding makan dan meminum air kencing mereka sendiri. Satu persatu, mereka mati perlahan. Tetapi Pastor Kolbe melanjutkan amal kebaikannya. Seorang tahanan yang ditugaskan memindahkan jenazah dari sel pelaparan itu ingat sakan semangat belas kasih terakhir dari pastor itu:” Pada setiap pemeriksaan, ketika nyaris semua orang berbaring di lantai, Pastor Kolbe tampak berlutut atau berdiri di tengah ketika ia memandang orang-orang Nazi dengan wajah gembira, Ia tak pernah meminta apapun atau mengeluh, ia malah meneguhkan orang lain, mengatakan bahwa mungkin pelarian itu akan ditemukan dan mereka akan dibebaskan, “ Seorang penjaga Naxi berkomentar: “Pastor ini sungguh orang besar. Kami tidak melihat orang seperti dia. “ Setelah dua minggu, hanya empat orang yang masih hidup, dan hanya satu oang yang masih sadar, dialah Pastor Kolbe.
Karena sel itu diperlukan untuk keperluan lain, maka keluar perintah untuk menyuntikkan racun kepada orang-orang yang masih hidup. Ketika pelaksana hukum mati mendekatinya, ia tersenyum kepadanya, membisikkan doa, dan mengangkat lengan kiri untuk menerima suntikkan, Ketika tahanan lain datang untuk mengangkut jenazahnya, ia “menemukan Pastor Kolbe bersandar ke tembok dalam posisi duduk dengan mata terbuka...wajahnya tenang dan bersinar. “ Tubuhnya dikremasi keesokan harinya, kebetulan bertepatan hari Pesta Pengangkatan Maria ke Surga. Bertahun-tahun sebelumnya, pastor Kolbe telah menyatakan bahwa ia, “ ingin menggunakan diri sepenuhnya dalam melayani immaculata, dan untuk menghilang tanpa bekas, seperti angin membawa abuku se sudut-sudut terjauh dunia. “
Pastor Kolbe telah menggunakan dirnya dalam melayani Tuhan dan kemanusiaan, tetapi ia meninggalkan banyak bekas, terutama cinta dan kasih, karena ia yakin bahwa cinta Tuhan ada dimana-mana, seperti yang diungkapkan dalam sebuah surat kepada ibunya setelah dipindahkan ke Auscwitz, mengatakan tempat dia berada, agar ibunya tidak mengkhawatirkan kesehatannya. “ KARENA TUHAN YANG BAIK ADA DIMANA-MANA DAN MENYEDIAKAN SEGALANYA DENGAN CINTA..”
Angin membawa kenangan dan pelajaran dari pengorbanan dan belas kasihnya ke empat ujung dunia, mengilhami jutaan orang untuk “berperang” melawan kebencian dengan cinta yang militan. Pastor Kolbe dianggap orang kudis bukan saja oleh orang katolik, tetapi juga oleh orang dari berbagai iman dan kepercayaan. Teman Polandianya, Paus Johannes Paulus II, meresmikannya sebagai orang kudus atau santo pada tahun 1981, menyebutnya “ Orang kudus pelindung abad kita yang sulit. “Bahkan di Auschwitz, tempat keputusasaan total berlangsung, pengorbanannya merupakan peneguhan bagi kemanusiaan. Mereka yang melihatnya mustahil melupakannya.
Franciszek Gajowniczek hidup sampai sembilan puluh lima tahun, lima puluh tiga tahun setelah Pastor Kolbe menyelamatkannya, sementara tahanan yang ditubuh melarikan diri sampai sepuluh orang dimasukkan ke sel pelaparan, ternyata kemudian hari diketemukan tenggelam di kolam pembuangan kamp.
“ Lama sekali saya merasa sedih jika mengingat Pastor Maximilian Kolbe, “ kenang Franciszek Gajowniczek. “ …. tetapi sekarang, setelah merenung-renung, saya mengerti bahwa orang seperti dia tidak akan tidak melakukannya. “
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menguatkan iman kita selaku pengikut Kristus..
Setelah berjam-jam, dan banyak tahanan jatuh pingsan ke tanah dilemahkan rasa lapar dan panas matahari, Karl Fritsch mulai menghitung kesepuluh orang yang akan dimasukkan ke dalam sel tahanan di bawah tanah. Salah satu diantaranya adalah anggota pertahanan Polandia, Franciszek Gajowniczek; ia berteriak putus asa, “ Istriku yang malang, anak-anakku yang malang. Akan jadi apa mereka ? “.
Tak tergugah oleh tangisan kesepuluh pria malang ini, “Tukang Jagal” Fritsch memandangi sebagian kecil dari kemanusiaan yang hidup dan matinya ada di tangannya. Ia tanpa belas kasihan. Tetapi sebelum dia berpaling, seorang tahanan yang tidak terpilih di sebelah kiri, berjalan cepat ke arahnya dan berbicara kepadanya. Fritsch tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh orang tersebut. “Apa yang diinginkan oleh babi Polandia ini ? “ tanyanya kepada penjaga. Orang tersebut menunjuk kepada Franciszek Gajowniczek dan berkata, “ Saya seorang pastor Katolik. Biarkan saya menggantikan tempatnya. Saya sudah tua. Ia punya istri dan anak. “.
Tahanan lain menduga bahwa pastor ini hanya akan membuat tentara Nazi lebih marah lagi, malah akan menghukum mati keduanya. Mereka terkejut, begitu pula si “ Tukang Jagal.” Untuk waktu yang lama ia tidak merespon, hanya memandangi pastor kecil itu seakan-akan ia gagal memahami apa yang telah dikatakan oleh si pastor tua. Perwujudan kejahatan bertemu dengan perwujudan cinta, dan keluhuran belas kasih, idealisme yang lebih tinggi dari seorang yang ia anggap berasal dari ras yang lebih rendah, pastilah membuat ragu Fritsch, meskipun sekilas saja. Seorang tahanan yang kelak berhasil bertahan hidup mengingat peristiwa ini. “ Komandan itu sepertinya diam seribu bahasa karena takjub, Setelah beberapa saat ia memberi tanda dengan tangannya. Ia hanya mengatakan satu kata : “ pergi.”
Gajownick kembali ke barisan tahanan lain yang tidak dipilih, dan si pastor kemudian digiring memasuki sel pelaparan bersama 9 tahanan lain. “ Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan pandangan mata, “ ingat Gajowniczek. “ Saya takjub dan sulit sepenuhnya menangkap apa yang terjadi. Kepekatan peristiwan itu: saya, yang dihukum, dapat hidup, sementara seseorang bersedia menawarkan hidupnya bagi saya-seorang asing. Apakah ini mimpi ? Berita ini segera menyebar ke seluruh kamp. Itulah peristiwa pertama dan terakhir yang pernah terjadi di sepanjang sejarah Auschwitz. “
Tahanan lain yang berhasil hidup mengingat efek dari pengorbanan diri sang pastor pada tahanan lain sebagai “ suatu kejutan penuh harapan, memunculkan hidup dan kekuatan baru...seperti kilasan cahaya yang kuat ditengah kegelapan. “
Pastor katolik tersebut adalah Maximilian Kolbe, seorang pastor dari Polandia. Ia lahir pada tahun 1894 dari orang tua yang saleh, Julius dan Maria, yang berharap pada suatu hari dapat mengabdikan diri mereka kepada Gereja. Ketika ketiga putra mereka diterima di seminari junior Fransiskan di Lwow, Polandia, mereka berdua mengumumkan niat untuk memasuki hidup religius. Di seminari itu, putra kedua mereka yang bernama Raymond sangat menonjol dalam matematika dan fisika. Niat kedua orang tuanya itu membuat Raymond terdorong untuk meninggalkan cita-citanya dalam karir militer. Ia akan terlibat dalam perang spiritual daripada perang duniawi, membebaskan jiwa-jiwa rakyatnya daripada tanah airnya. Ia diterima di novisiat (sekolah calon biarawan) ordo Fransiskan pada tahun 1910, dan diberi nama maximilian. Delapan tahun kemudian ia ditahbiskan sebagai pastor, dan menambahkan nama Maria pada nama religiusnya, sebagai tanda dan bukti terhadap kasih dan cintanya kepada Bunda Maria.
Sebagai mahasiswa yang menonjol, ia mempelajari teologi dan filsafat di universitas Jesuit Gregorian dan Kolese Serafico, roma, dari tahun 1912 sampai 1919, dan memperoleh gelar doktoral di kedua bidang ini. Ketika masih diseminari, ia menyaksikan orang-orang Freemasons berdemonstrasi melawan Gereja Katolik di Roma, dan ia bersumpah untuk membentuk sebuah organisasi religius demi menahan serangan iman mereka. Dengan beberapa murid seminari lain, ia membentuk Milita Immaculata, yang bertujuan “ menobatkan para pendosa, pemurtadan, dan pemecah belah umat (skismatik), terutama Freemasons,” kepada cinta Kristus melalui campur tangan Bunda Maria.
Setelah kembali ke Polandia pada tahun 1919 dan mengajar di seminari krakow, hanya dengan satu paru-paru yang rusak dan satunya lagi lumpuh karena tuberkulosis, tetapi tak pernah membiarkan penyakit kronis ini mengalihkan dirinya dari tujuan suci, ia mencurahkan diri ke dalam kerja Militia Immaculata, mendirikan kelompok-kelompok di seluruh Polandia dan menerbitkan majalah bulanan, Knight of the Immaculate. Dalam beberapa tahun, majalah ini menjangkau seratus ribu orang beriman polandia, dan perjuangan maximilian Kolbe telah tumbuh terlalu besar bagi biara kecil tempat dia tinggal.
Kemudian ia memutuskan mendirikan biara baru, City of The Immaculate (Kota Suci), di dekat Warsawa, tempat “kami akan menjalankan kepatuhan dan kepapaan, dengan semangat St. Fransiskus.” Biara ini berkembang. Dan dalam sepuluh tahun telah menjadi biara terbesar di dunia, berisi ratusan bruder, pastor, dan siswa seminari. Pada 1930-an penerbitan Milita Immaculate setiap bulan mencetak 750.000 majalah Knight, dan mulai menerbitkan harian populer. Dan seperti niat awalnya, perjuangan itu mempengaruhi seluruh bangsanya. Sebagian besar karena pewartaan dan penerbitan Militia, orang Polandia dari berbagai golongan jadi lebih religius.
Kemerdekaan Polandia yang singkat setelah Perang Dunia pertama berakhir dengan penyerangan pasukan Nazi Jerman pada tahun 1939 dan awal Perang Dunia Kedua. Tentara Jerman menduduki biara Pastor Kolbe, City of the Immaculate. Setelah ditahan dan dikirimkan ke Jerman di bulan September 1939, dua bulan kemudian, Pastor Kolbe dan para paderi serta brudernya dilepaskan. Kembali ke Polandia, kemudian mereka melanjutkan penerbitan knight dan publikasi lain, termasuk yang dianggap anti ideologi Nazi. Mereka juga membangun tempat bernaung dan rumah sakit bagi pengungsi Polandia, yang berjumlah ribuan dan sebagian besar adalah orang Yahudi yang diburu oleh Nazi Jerman. Tindakan ini tampaknya sebagai tantangan langsung kepada penguasa Nazi. Menanggapi ini semua, Pastor kolbe dalam alah satu khotbah atas namanya sendiri, di majalah knight menulis : “ Konflik sebenarnya ialah konflik di dalam diri. Di balik tentara pendudukan dan ruang bawah tanah kamp-kamp konsentrasi, ada dua musuh yang yang tidak termaafkan di kedalaman setiap jiwa, yaitu baik dan buruk, dosa dan cinta. Dan apa gunanya kemenangan di medan perang jika kita sendiri kalah di kedalaman diri. “
Pada Februari 1941, Gestapo menyerbu pusat penerbitan dan menahan Pastor Kolbe dan saudara-saudaranya. “ Beranikan diri,” katanya kepada mereka, “ Kita akan pergi menjalankan misi kita. “. Pertama-tama ia ditahan di di penjara Warsawa. Seorang sipir Nazi melihat pastor kecil ini, berjubah hitam, berkeliling penjaran melayani tahanan lain, ia menghentikan Pastor Kolbe dan bertanya apakah ia percaya kepada Kristus, “ Ya, saya percaya,” jawabnya, dan jawaban itu segera memberikan pukulan kepada sang pastor. Beberapa kali pertanyaan ini diajukan, dan jawabannya tetap sama. “ Ya, saya percaya. Ya, saya percaya. “ Ia dipukuli untuk setiap jawaban itu.
Pada Mei 1941, Pastor Kolbe dipndahkan ke Auschwitz, mengenakan seragam penjara bergaris dan ditato nomor 16670, dimana peristiwa tersebut diatas terjadi. Meski hanya punya satu paru-paru dan kesehatannya tambah buruk, ia diberi pekerjaan terberat dan diawasi oleh penjaga-penjaga paling kejam, yang merasakan kebencian kepada pastor yang rapuh ini. Kolbe diharuskan menarik gerobak berisi batu kapur untuk membangun krematorium. Pekerjaan ini harus dilakukan sambil berlari. Bila ia tidak cukup cepat, para penjaga akan memukulinya atau memerintahkan anjing-anjing mereka menyerangnya. Pastor Kolbe tidak pernah berteriak kesakitan, tetapi diam-diam berdoa untuk penyerangnya. Ketika tahanan lain berusaha menolongnya, ia menolak. “jangan meresikokan kehidupan demi saya,” katanya kepada mereka. Dan ia hanya berharap kepada Tuhan yang memberi kekuatan.
Pada situasi sesulit itu diam-diam ia tetap melanjutkan kerasulan. Ia menerima pengakuan dosa, mengkhotbahkan cinta dan pengampunan, memberkati orang sakit dan sekarat, berdoa bagi mereka, ketika para tahanan yang lapar saling mendorong saat antre makanan, Pastor Kolbe menunggu sampai semua orang menerima jatah roti dan sup mereka sebelum mengambil jatahnya. Sering ia tidak dapat makanan. Ketika ia menerima sedikit jatahnya, ia berbagi dengan orang lain. Melewati semua horor dan penyiksaan, tiada seorang pun yang melihat Pastor Kolbe pernah meragukan imannya atau berhenti mengilhami cinta dan keselamatan kepada orang lain.
Kembali peristiwa diatas, dalam sel kelaparan, pengorbanan ini berlangsung selama dua minggu. Tak terdengar tangisan dari sel pelaparan, hanya suara orang berdoa dan lagu-lagu pujian. Ketika mereka semakin melemah, doa mereka terdengar sebagai bisikan. Penderitaan mereka sangat ekstrem. Karena sangat kehausan, mereka sampai menjilati kelembaban dari dinding makan dan meminum air kencing mereka sendiri. Satu persatu, mereka mati perlahan. Tetapi Pastor Kolbe melanjutkan amal kebaikannya. Seorang tahanan yang ditugaskan memindahkan jenazah dari sel pelaparan itu ingat sakan semangat belas kasih terakhir dari pastor itu:” Pada setiap pemeriksaan, ketika nyaris semua orang berbaring di lantai, Pastor Kolbe tampak berlutut atau berdiri di tengah ketika ia memandang orang-orang Nazi dengan wajah gembira, Ia tak pernah meminta apapun atau mengeluh, ia malah meneguhkan orang lain, mengatakan bahwa mungkin pelarian itu akan ditemukan dan mereka akan dibebaskan, “ Seorang penjaga Naxi berkomentar: “Pastor ini sungguh orang besar. Kami tidak melihat orang seperti dia. “ Setelah dua minggu, hanya empat orang yang masih hidup, dan hanya satu oang yang masih sadar, dialah Pastor Kolbe.
Karena sel itu diperlukan untuk keperluan lain, maka keluar perintah untuk menyuntikkan racun kepada orang-orang yang masih hidup. Ketika pelaksana hukum mati mendekatinya, ia tersenyum kepadanya, membisikkan doa, dan mengangkat lengan kiri untuk menerima suntikkan, Ketika tahanan lain datang untuk mengangkut jenazahnya, ia “menemukan Pastor Kolbe bersandar ke tembok dalam posisi duduk dengan mata terbuka...wajahnya tenang dan bersinar. “ Tubuhnya dikremasi keesokan harinya, kebetulan bertepatan hari Pesta Pengangkatan Maria ke Surga. Bertahun-tahun sebelumnya, pastor Kolbe telah menyatakan bahwa ia, “ ingin menggunakan diri sepenuhnya dalam melayani immaculata, dan untuk menghilang tanpa bekas, seperti angin membawa abuku se sudut-sudut terjauh dunia. “
Pastor Kolbe telah menggunakan dirnya dalam melayani Tuhan dan kemanusiaan, tetapi ia meninggalkan banyak bekas, terutama cinta dan kasih, karena ia yakin bahwa cinta Tuhan ada dimana-mana, seperti yang diungkapkan dalam sebuah surat kepada ibunya setelah dipindahkan ke Auscwitz, mengatakan tempat dia berada, agar ibunya tidak mengkhawatirkan kesehatannya. “ KARENA TUHAN YANG BAIK ADA DIMANA-MANA DAN MENYEDIAKAN SEGALANYA DENGAN CINTA..”
Angin membawa kenangan dan pelajaran dari pengorbanan dan belas kasihnya ke empat ujung dunia, mengilhami jutaan orang untuk “berperang” melawan kebencian dengan cinta yang militan. Pastor Kolbe dianggap orang kudis bukan saja oleh orang katolik, tetapi juga oleh orang dari berbagai iman dan kepercayaan. Teman Polandianya, Paus Johannes Paulus II, meresmikannya sebagai orang kudus atau santo pada tahun 1981, menyebutnya “ Orang kudus pelindung abad kita yang sulit. “Bahkan di Auschwitz, tempat keputusasaan total berlangsung, pengorbanannya merupakan peneguhan bagi kemanusiaan. Mereka yang melihatnya mustahil melupakannya.
Franciszek Gajowniczek hidup sampai sembilan puluh lima tahun, lima puluh tiga tahun setelah Pastor Kolbe menyelamatkannya, sementara tahanan yang ditubuh melarikan diri sampai sepuluh orang dimasukkan ke sel pelaparan, ternyata kemudian hari diketemukan tenggelam di kolam pembuangan kamp.
“ Lama sekali saya merasa sedih jika mengingat Pastor Maximilian Kolbe, “ kenang Franciszek Gajowniczek. “ …. tetapi sekarang, setelah merenung-renung, saya mengerti bahwa orang seperti dia tidak akan tidak melakukannya. “
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menguatkan iman kita selaku pengikut Kristus..