nizhami
New member
Ada seorang pedagang sayur mempunyai seekor burung beo yang dapat bicara dan merdu suaranya.
Sambil bertengger di atas bangku, dia mengawasi kedai apabila pemiliknya sedang tidak berada di kedai dan berbicara lembut kepada semua pedagang.
Jika ia berbicara dengan manusia, maka ia akan bercakap seperti manusia. Ia pun lihai menyanyikan kicau burung beo lain.
Suatu kali ia melompat dari bangku dan terbang; sebuah botol berisi minyak tumpah membentur tubuhnya.
Pemiliknya datang dari arah rumahnya dan duduk di atas bangku seenaknya seperti biasanya seorang pedagang.
Dilihatnya bangku penuh tumpahan minyak dan bajunya kotor; ditangkapnya kepala burung beo itu, lalu ia gunduli.
Selama beberapa hari burung beo itu tidak mau bicara; si pedagang sayur penuh penyesalan menarik napas dalam-dalam.
Janggutnya basah kuyup oleh air mata dan berkata, "Sialan! Matahari kelimpahanku kini telah lenyap di bawah arakan mendung. Apa tanganku akan lunglai tanpa daya? Bagaimana aku mestinya menghajar kepala burung beo yang bersuara merdu itu?"
Dia memberikan sedekah kepada setiap darwis, agar ia bisa mendengar kembali suara burungnya.
Sesudah tiga hari tiga malam, ia duduk lagi di bangku kedainya, sedih dan bingung seperti orang putus asa, sambil menceritakan segala keajaiban burungnya dengan harapan beo itu bisa berbicara lagi.
Ketika itu seorang darwis sedang lewat, mengenakan jubah bulu domba, dan kepalanya gundul seperti cawan dan kolam di luar.
Ini membuat burung itu kembali berbicara, meneriaki sang darwis, dan berkata, "Hai ikhwan! Mengapa kepalamu botak, hai Gundul? Apa kau menumpahkan minyak dari botol seperti aku?"
Orang yang melihat tertawa mendengar ucapan burung itu, sebab ia beranggapan pemakai jubah bulu domba itu seperti dirinya.
Sumber : Matsnawi, Senandung Cinta Abadi. Volume I hal 39, PT Bentang Pustaka, Jalaluddin Rumi
Sambil bertengger di atas bangku, dia mengawasi kedai apabila pemiliknya sedang tidak berada di kedai dan berbicara lembut kepada semua pedagang.
Jika ia berbicara dengan manusia, maka ia akan bercakap seperti manusia. Ia pun lihai menyanyikan kicau burung beo lain.
Suatu kali ia melompat dari bangku dan terbang; sebuah botol berisi minyak tumpah membentur tubuhnya.
Pemiliknya datang dari arah rumahnya dan duduk di atas bangku seenaknya seperti biasanya seorang pedagang.
Dilihatnya bangku penuh tumpahan minyak dan bajunya kotor; ditangkapnya kepala burung beo itu, lalu ia gunduli.
Selama beberapa hari burung beo itu tidak mau bicara; si pedagang sayur penuh penyesalan menarik napas dalam-dalam.
Janggutnya basah kuyup oleh air mata dan berkata, "Sialan! Matahari kelimpahanku kini telah lenyap di bawah arakan mendung. Apa tanganku akan lunglai tanpa daya? Bagaimana aku mestinya menghajar kepala burung beo yang bersuara merdu itu?"
Dia memberikan sedekah kepada setiap darwis, agar ia bisa mendengar kembali suara burungnya.
Sesudah tiga hari tiga malam, ia duduk lagi di bangku kedainya, sedih dan bingung seperti orang putus asa, sambil menceritakan segala keajaiban burungnya dengan harapan beo itu bisa berbicara lagi.
Ketika itu seorang darwis sedang lewat, mengenakan jubah bulu domba, dan kepalanya gundul seperti cawan dan kolam di luar.
Ini membuat burung itu kembali berbicara, meneriaki sang darwis, dan berkata, "Hai ikhwan! Mengapa kepalamu botak, hai Gundul? Apa kau menumpahkan minyak dari botol seperti aku?"
Orang yang melihat tertawa mendengar ucapan burung itu, sebab ia beranggapan pemakai jubah bulu domba itu seperti dirinya.
Sumber : Matsnawi, Senandung Cinta Abadi. Volume I hal 39, PT Bentang Pustaka, Jalaluddin Rumi
Last edited: