HaraShe
New member
PELUNCURAN dan diskusi buku Etnis Tionghoa di indonesia karya Sosiolog Mely G. Tan, membawa cerminan bagi kehidupan masyarakat suku Tionghoa di Tanah Air. Buku yang berisi 12 tulisan Mely dalam hahasa Inggris dan Indonesia itu sangat relevan menjadi pegangan bagi langkah masyarakat Tionghoa di Indonesia. ?Butuh proses sepuluh tahun untuk membuat buku ini.
Karena ini berisi tulisan saya dari kurun waktu 1990an- 2004. Semuanya mempakan bentuk pemikiran dan penelitian saya terhadap perkembangan etnis Tionghoa Indonesia,? jelas wanita Tionghoa yang kini berusia 78 tahun pada peluncuran di Yayasan Obor Indonesia, Plaju, Jakarta Pusat, Rabu (16/7) lalu.
Dalam diskusi buku yang berlangsung sekitar 1 jam, banyak sekali pemaparan yang diungkapkannya. Mulai dari tulisan Bung Karno soal keberagaman etnis di tanah air, dimensi sosio kultural masyarakat Tionghoa, strategi bisnis etnis Tionghoa, penekanan etnis Tionghoa dan sisi penggunaan istilah (pada era rezim Soeharto), sampai persoalan kuliner.
Dia menjelaskan, dirinya sengaja memilah tulisannya secara menyeluruh. Tujuannya, supaya buku itu bisa menjadi referensi sejarah perkembangan Tionghoa di Indonesia yang mengalami pasang surut.
?Pada era 1920an, kita masih menggunakan istilah Tioughoa. Lantas, pendiskreditan etnis dengan mengubah istilah Tionghoa menjadi Cina (sebagai unsur penekanan dan penghinaan) terjadi pada era Soeharto. Dan kembali menjadi Tionghoa pada era reformasi,? urainya. Maalah istilah itu, lanjutnya, menunjukkan betapa etnis Tionghoa pernah berada pada posisi sulit dan saat ini mulai bisa kembali ambil bagian sebagai masyarakat Indonesia seutuhnya.
Meski begitu, dirinya mengingatkan, masih banyak hal yang harus dilakukan masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan pengakuan utuh dari masyarakat luas. Dirinya juga tidak memungkiri bahwa ekslusivitas masih kerap ditunjukkan masyarakat Tionghoa. ?Hal itu mungkin tidak bisa dilihat di wilayah Selatan Jakarta. Di sana, semua etnis bisa berbaur dengan baik. Tapi, coba kalau kita lihat kawasan Kelapa Gading, sudah pasti terbentuk imej bahwa ada ekslusifitas,? paparnya mengenai kondisi saat ini. Tapi, lanjutnya, itu tidak bisa juga diperdebatkan. ?Semua orang, dan etnis manapun, pasti akan merasa nyaman berada di lingkungan suku mereka sendiri. Contohnya, masyarakat Minang dan masyarakat Jawa,? kilahnya.
Apalagi, sambungnya, selama lebih dan 32 tahun, masyarakat etnis Tionghoa termarginalkan. Tidak heran, menurut Mely, jika ada beberapa kawasan yang ?terbentuk? seakan-akan hanya untuk komunitas Tionghoa. ?Mereka menemukan kenyamanan di sana. Its Ok,? tegasnya. (indopos)