spirit
Mod
Fitur pada tengkorak ini sama dengan manusia masa awal dan manusia masa kini. (Georgian National Museum/National Geographic)
Kondisi kerangka yang ditemukan dalam pemakaman tak normal itu menunjukkan bahwa korban mengalami kekerasan sebelum dan sesudah kematiannya.
Tata cara pengurusan jenazah bervariasi antara satu budaya dengan budaya lainnya dari waktu ke waktu. Akan tetapi, pada tingkat paling dasar, pemakaman di Gurun Sonoran ribuan tahun lalu hampir serupa dengan pemakaman modern. Jenazah almarhum diantarkan oleh keluarga dan rekan-rekan untuk dikuburkan secara terhormat.
Namun dalam beberapa kasus, jenazah diperlakukan jauh dari kata terhormat. Jenazah justru dilemparkan sembarangan dengan kepala terlebih dahulu, ke tempat peristirahatan abadi mereka. Tak jarang, jenazah mengalami cedera post-mortem, menambah cedera dan luka akibat kekerasan yang ia alami sebelum tewas.
Penguburan tak normal ini mendorong bioarkeolog James Watson dari University of Arizona, untuk meneliti faktor sosial dan biologis yang mungkin menjadi motivasi pembunuhan dengan kekerasan dan penguburan tak layak pada masa pertanian awal. Selain itu, ia juga meneliti bagaimana beberapa faktor yang sama masih relevan hingga hari ini.
Dalam penelitian terbarunya yang dipublikasikan di jurnal Current Anthropology, Watson menganalisis serangkaian situs pemakaman tak normal dari 2100 SM-50 M yang terletak di barat daya Amerika Serikat dan di barat laut Meksiko.
Pemakaman yang dianalisis Watson menunjukkan bukti-bukti kekerasan pada jenazah: sisa-sisa kerangka banyak yang mengalami patah tulang, atau titik proyektil yang menunjukkan penembakan. Posisi tubuh dalam kuburan yang paling menonjolkan fakta tersebut: terentang canggung atau dengan kepala di bawah. Pemakaman mereka jelas tidak diiringi dengan upacara adat. Makamnya juga tidak memiliki fitur yang ada di makam normal.
Jenazah yang dikubur secara lazim diatur dalam posisi tertekuk dan berbaring miring (kiri), sementara dalam penguburan tak lazim, posisi jenazah sangat canggung (kanan). (Ilustrasi: Caitlin McPherson via University of Arizona)
Orang-orang ini, menurut Watson, dimakamkan dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan sebagian besar masyarakat lainnya.
“Kami berpendapat bahwa cara mereka dilemparkan ke dalam lubang merupakan bentuk penodaan lanjutan terhadap tubuh seseorang. Awalnya dari kekerasan ketika ia hidup, menuju proses kematian, hingga kekerasan terhadap jasad,” kata Watson.
Penguburan tak normal sering kali dikaitkan dengan korban dari kematian buruk, yakni kematian yang tak lazim atau berhubungan dengan iblis. Teori umum yang ada di area geografis tempat penelitian Watson menyatakan bahwa pemakaman tak normal itu berisi jasad orang yang dianggap sebagai penyihir. Namun, mengingat bahwa jenazah-jenah itu tidak dipotong-potong seperti lazimnya eksekusi penyihir dalam sejarah tempat ini, maka Watson memberikan penjelasan alternatif.
Dalam penelitiannya, ia berargumen bahwa mayat-mayat ini mungkin merupakan korban pertikaian berdarah, atau pertikaian keluarga, selama masa-masa awal berkembangnya pertanian. Lebih lanjut, ia menduga bahwa kekerasan dari pertikaian berdarah ini mungkin telah mendarah daging di komunitas tertentu.
Ketika pertanian mulai berkembang, area ini menjadi desa-desa paling awal. Kekerasan ini mulai muncul ketika desa-desa ditetapkan, dan orang-orang berebut mengklaim teritori dan lahan pertanian di lembah dekat sungai.
“Ketegangan sosial berkembang antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya, atau bahkan dalam internal kelompok, dan akhirnya mendidih menjadi kekerasan,” ujar Watson.
Kekerasan ini mungkin berakar pada hasrat untuk mengangkat martabat dan kewibawaan, yang memiliki dampak biologis, meskipun pelaku kekerasan mungkin tidak sadar berpikir tentang dampak tersebut.
“Wibawa berpotensi memberikan manfaat biologi. Dalam artian, seseorang dapat memperoleh akses ke kekuasaan dan kekayaan, istri dan memiliki lebih banyak keturunan,” ungkapnya.
Tapi, mengapa pelaku masih melakukan kekerasan terhadap tubuh korban yang telah tewas?
Watson menggunakan “teori pensinyalan berbiaya” dalam biologi evolusioner untuk menjelaskan alasan dibalik perlakuan tersebut. Teori pensinyalan berbiaya merupakan gagasan bahwa individu memiliki mekanisme komunikasi dengan menunjukkan perilaku atau ciri fisik tertentu yang secara bersamaan menguntungkan dan berisiko. Contohnya, burung jantan seringkali memiliki bulu dengan warna mencolok untuk menarik perhatian betina, yang menguntungkan secara biologis. Namun, warna bulu yang mencolok juga bisa menimbulkan risiko karena mereka jadi terlihat lebih mencolok bagi predator.
Watson menduga bahwa pembunuhan dengan kekerasan dilanjutkan dengan kekerasan terhadap jasad mengirimkan sinyal kuat yang menunjukkan kekuatan dan dominasi. Sinyal tersebut tampaknya dapat meningkatkan kewibawaan dengan segala manfaat biologisnya, namun juga memiliki risiko, ancaman balas dendam dari keluarga korban.
“Dengan membuat pemakaman tak normal ini, pada dasarnya pelaku menunjukkan tanda kehebatan mereka untuk memperoleh status sosial, tetapi ada biaya yang harus dibayar: ancaman terhadap nyawa mereka sendiri atau keluarga,” papar Watson.
Meskipun penelitian Watson berfokus pada kekerasan yang terjadi sekitar 2.000 hingga 4.000 tahun silam, ia menduga teori pensinyalan berbiaya mungkin juga masih diterapkan dalam konteks kekerasan di era modern.
Dengan berbagai isu yang terjadi saat ini, seperti meningkatnya kekerasan dan pembunuhan di berbagai kota di dunia, banyak anak-anak yang tumbuh dalam budaya kekerasan di masyarakat tertentu. Mereka belajar bagaimana dengan kelemahan yang dimiliki, mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan.
“Mereka memperoleh status karena mereka mahir melakukan kekerasan dan berpikir begitulah cara agar dihormati. Seiring waktu, keuntungan pun datang, kekayaan, wanita dan keturunan. Ada kepentingan biologi untuk menyiratkan bahwa mereka layak atas status yang telah didapatkan,” pungkas Watson.
~Lutfi Fauziah. Sumber: University of Arizona, eurekalert.org