Administrator
Administrator
Konsep pembangunan kota dengan memperbanyak bangunan vertikal yang mampu menampung penghuni dari berbagai strata sosial ternyata mengandung kontradiksi.
“Kenyataannya warga tidak pernah tahu rencana pembangunan perumahan itu. Apakah golongan yang manipu ditempatkan di pusat kota, golongan yang menengah di pinggiran, terus yang miskin dijejalkan di sela-selanya?” tutur Stiryono.
Ujungnya, slogan back to the city yang dikumandangkan pengembang perumahan menjadi sangat tidak manusiawi karena konsep hunian vertikal yang ditawarkan bakal dihuni 3.000 jiwa per hektar. Proporsi ini sangat jauh dari cita-cita RTRW yang memproyeksikan kepadatan penduduk sebanyak 150 jiwa per hektar.
Menurut Tubagus Haryo Karbyanto, persoalan-persoalan itu muncul karena selama ini warga tidak pernah dilibatkan d?*lam proses pembuatan RTRW. Padahal mereka salah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pembangunan kota, Apalagi, dalam raperda ada pasal yang menyebutkan masyarakat berhak berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang.
Pengamat perkotaan dan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menilai RTRW Jakarta 2030 lebih propengembang besar daripada masyarakat. Hal itu terlihat dari pasal-pasal dalam RTRW yang menguntungkan mereka. Sebagai contoh, reklamasi pantai Jakarta yang digunakan untuk keperluan komersial.
“Reklamasi lahan yang seharusnya untuk kepentingan menambah daya dukung lingkungan malah digunakan untuk kawasan perumahan dan komersial. Padahal dulu aslinya, sebelum tergerus, itu hutan bakau,” ujar Nirwono.
Sebagai catatan, Walhi Jakarta mengungkapkan ruang terbuka hijau DKI Jakarta terus menyusut.
Sumber : Kompas
“Kenyataannya warga tidak pernah tahu rencana pembangunan perumahan itu. Apakah golongan yang manipu ditempatkan di pusat kota, golongan yang menengah di pinggiran, terus yang miskin dijejalkan di sela-selanya?” tutur Stiryono.
Ujungnya, slogan back to the city yang dikumandangkan pengembang perumahan menjadi sangat tidak manusiawi karena konsep hunian vertikal yang ditawarkan bakal dihuni 3.000 jiwa per hektar. Proporsi ini sangat jauh dari cita-cita RTRW yang memproyeksikan kepadatan penduduk sebanyak 150 jiwa per hektar.
Menurut Tubagus Haryo Karbyanto, persoalan-persoalan itu muncul karena selama ini warga tidak pernah dilibatkan d?*lam proses pembuatan RTRW. Padahal mereka salah satu pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan pembangunan kota, Apalagi, dalam raperda ada pasal yang menyebutkan masyarakat berhak berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang.
Pengamat perkotaan dan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menilai RTRW Jakarta 2030 lebih propengembang besar daripada masyarakat. Hal itu terlihat dari pasal-pasal dalam RTRW yang menguntungkan mereka. Sebagai contoh, reklamasi pantai Jakarta yang digunakan untuk keperluan komersial.
“Reklamasi lahan yang seharusnya untuk kepentingan menambah daya dukung lingkungan malah digunakan untuk kawasan perumahan dan komersial. Padahal dulu aslinya, sebelum tergerus, itu hutan bakau,” ujar Nirwono.
Sebagai catatan, Walhi Jakarta mengungkapkan ruang terbuka hijau DKI Jakarta terus menyusut.
Sumber : Kompas