Zulfikar dan Benazir Bhutto di Pakistan, Indira dan Rajiv Gandhi di India. Pembunuhan tokoh-tokoh politik juga terjadi di Indonesia. Tak pernah ada kasus yang diselesaikan tuntas
Pembunuhan Benazir Bhutto di Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 silam menghentakkan ruang kesadaran kita. Benazir, perempuan pemimpin Pakistan yang baru saja pulang dari delapan tahun pengasingannya di luar negeri itu seolah mengikuti garis hidup mendiang ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto yang tewas di tiang gantungan pada 1979.
Sementara, kisah yang sama juga dialami oleh keluarga Gandhi di India. Indira Gandhi, perdana menteri India tewas ditembak pada 31 Oktober 1984 oleh dua pengawalnya yang menganut agama Sikh. Aksi pembunuhan itu dipicu oleh perintah Indira kepada tentara India untuk menyerang Kuil Emas di Punjab. Di kuil tersebut para pengikut Sikh memusatkan aktivitas politik mereka untuk memerdekakan Punjab, lepas dari India. Sama dengan ibunya, Rajiv Gandhi, putra tertua Indira, tewas pada 21 Mei 1991 di tangan Thenmuli Rajaratnam, perempuan anggota Macan Tamil yang mengalungkan bunga berisi bom ke leher Rajiv.
Menyaksikan tragedi seperti terjadi di kedua negara tersebut seakan membuktikan bahwa politik memang identik dengan intrik dan kekerasan. Panggung politik dunia kerap diwarnai pembunuhan yang bermotif politik. Bukan saja di negara dunia ketiga seperti India, bahkan di Amerika Serikat sekali pun yang terkenal sebagai negara pengusung demokrasi pembunuhan politis pernah terjadi sebagaimana dialami Presiden John F Kennedy.
Di Indonesia, pembunuhan aktivis kemanusiaan Munir merupakan salah satu kasus yang paling banyak mendapatkan sorotan, baik dari publik dalam negeri maupun internasional. Munir tewas pada saat menumpang pesawat Garuda tujuan Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Hasil pemeriksaan otopsi tim dokter Belanda menunjukan Munir tewas diracun arsenik. Hingga kini kabut misteri masih menyelubungi peristiwa pembunuhan yang bernuansa politik itu.
Pembunuhan Munir ibarat puncak kecil gunung es yang menyembul di permukaan laut, menyembunyikan kenyataan ada begitu banyak kisah pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia modern yang belum terungkap hingga hari ini.
Kisah pembunuhan politis pertama pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi pada Otto Iskanda Di Nata. Menurut keterangan resmi pemerintah Otto dibunuh oleh Laskar Hitam pada 20 Desember 1945 di Pantai Mauk, Tanggerang. Saat itu ia masih menjabat Menteri Negara yang membidangi keamanan.
Sebelum tewas di tangan Laskar Hitam, Otto yang dijuluki "Jalak Harupat" itu tergabung dalam panitia kecil yang bertugas merancang peraturan tentang kepolisian dan tentara kebangsaan. Dalam rapat PPKI 20 Agustus 1945 diputuskan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang akan menyatukan berbagai elemen organisasi kelaskaran di seluruh Indonesia. Beberapa organisasi kelaskaran yang telah berjuang semenjak zaman Jepang merasa tak puas dengan pembentukan BKR kemudian mendirikan badan-badan perjuangan sendiri yang dikenal sebagai Laskar Rakyat. Mereka beraksi merebut gedung-gedung pemerintahan dan gudang-gudang senjata milik Jepang, sehingga tak jarang terjadi pertempuran yang banyak memakan korban jiwa. Otto bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu.
Pada 26 Oktober 1945, seperti yang dicatat Soekirah, istri Otto, dalam buku hariannya, melalui telepon Otto dipanggil ke Jakarta. Baru saja tiba beberapa hari di Jakarta, Otto diculik pada Rabu, 31 Oktober 1945 pukul 11 siang. Sejak saat itu Otto hilang, sampai kemudian ada pengumuman resmi dari pemerintah yang menyiarkan nasib tragisnya. Jasad Otto tak pernah ditemukan, hanya sebungkus pasir yang diambil dari Pantai Mauk yang kemudian dikuburkan di Taman Pasir Pahlawan di Lembang, Bandung sebagai simbol jenazah Otto.
Tiga tahun setelah pembunuhan Otto Iskandar Dinata, tepatnya pada 2 Juli 1948, pukul 20:00 malam, Komanda Divisi Panembahan Senopati Letkol. Sutarto tewas ditembak seorang sniper yang hingga kini tak diketahui jatidirinya. Kasus itu bermuatan politik karena terjadi pada saat Kabinet Hatta menjalankan program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara Indonesia. Sebagai komandan dari sebuah divisi yang memiliki banyak pasukan bersenjata lumayan lengkap untuk ukuran masa itu, Sutarto menolak kebijakan Re-Ra. Alasan lain yang membuatnya dibunuh karena ia disebut-sebut simpatisan kaum kiri.
Saling tuduh tentang siapa yang membunuh Sutarto pun terjadi. Kelompok PKI menuduh para pengikut Tan Malaka yang tergabung dalam Gerakan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) sebagai dalang utama pembunuhan itu. PKI juga menduga Tan Malaka bermain mata dengan Hatta untuk menyaingi aktivitas kaum komunis di Indonesia.
Tan Malaka dan pengikutnya memang sengaja dilepaskan oleh Hatta dari Penjara Wirogunan, Yogyakarta dengan harapan supaya bisa mengimbangi kelompok PKI, terutama setelah Musso kembali dari Uni Soviet. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kelompok Tan Malaka yang sebelumnya ditahan karena kasus 3 Juli 1946 itu mendirikan Persatuan Perjuangan yang banyak melancarkan kritik tajam pada pemerintahan republik pada saat itu. Tan Malaka berpendapat pemerintah terlalu lunak dalam menghadapi Belanda.
Atas perintah Soengkono, Komandan Divisi Brawijaya, Tan Malaka kemudian ditangkap di Kediri, Jawa Timur pada bulan Februari 1949. Letnan Dua Soekotjo, Komandan Batalyon Sikatan bawahan Soengkono berhasil menangkap Tan Malaka. Soekotjo kemudian memerintahkan kepada Soeradi Takebek untuk mengeksekusi Tan Malaka pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, Kediri.
Baik dalam kasus Otto, Sutarto, maupun Tan Malaka tak pernah diselesaikan secara hukum. Pelaku pembunuhan tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa sedikit pun terjamah oleh pedang dewi keadilan. Bahkan Soekotjo, pemberi perintah pembunuhan Tan Malaka pensiun sebagai Walikota Surabaya dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia seakan berjalan dalam garis yang menyerupai spiral. Ia berjalan terus ke depan, menembus ruang-waktu, namun tetap bertemu pada satu titik yang sama. Jika persoalan ini tak diselesaikan secara tuntas, niscaya akan terjadi kembali pada masa yang akan datang. Pembunuhan politis yang terjadi sejak saat Otto sampai dengan Munir, seolah sambung menyambung, menjadi benang merah sejarah yang tak pernah putus membawa duka di negeri ini.
Persoalan dalam sejarah Indonesia itu mau tak mau membawa kita kepada pertanyaan: sebagai apakah aktor utama pembunuhan Munir pada saat ia pensiun nanti?
Sumber : http://soeharto-online.blogspot.com/2008/0...am-sejarah.html
Pembunuhan Benazir Bhutto di Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 silam menghentakkan ruang kesadaran kita. Benazir, perempuan pemimpin Pakistan yang baru saja pulang dari delapan tahun pengasingannya di luar negeri itu seolah mengikuti garis hidup mendiang ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto yang tewas di tiang gantungan pada 1979.
Sementara, kisah yang sama juga dialami oleh keluarga Gandhi di India. Indira Gandhi, perdana menteri India tewas ditembak pada 31 Oktober 1984 oleh dua pengawalnya yang menganut agama Sikh. Aksi pembunuhan itu dipicu oleh perintah Indira kepada tentara India untuk menyerang Kuil Emas di Punjab. Di kuil tersebut para pengikut Sikh memusatkan aktivitas politik mereka untuk memerdekakan Punjab, lepas dari India. Sama dengan ibunya, Rajiv Gandhi, putra tertua Indira, tewas pada 21 Mei 1991 di tangan Thenmuli Rajaratnam, perempuan anggota Macan Tamil yang mengalungkan bunga berisi bom ke leher Rajiv.
Menyaksikan tragedi seperti terjadi di kedua negara tersebut seakan membuktikan bahwa politik memang identik dengan intrik dan kekerasan. Panggung politik dunia kerap diwarnai pembunuhan yang bermotif politik. Bukan saja di negara dunia ketiga seperti India, bahkan di Amerika Serikat sekali pun yang terkenal sebagai negara pengusung demokrasi pembunuhan politis pernah terjadi sebagaimana dialami Presiden John F Kennedy.
Di Indonesia, pembunuhan aktivis kemanusiaan Munir merupakan salah satu kasus yang paling banyak mendapatkan sorotan, baik dari publik dalam negeri maupun internasional. Munir tewas pada saat menumpang pesawat Garuda tujuan Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Hasil pemeriksaan otopsi tim dokter Belanda menunjukan Munir tewas diracun arsenik. Hingga kini kabut misteri masih menyelubungi peristiwa pembunuhan yang bernuansa politik itu.
Pembunuhan Munir ibarat puncak kecil gunung es yang menyembul di permukaan laut, menyembunyikan kenyataan ada begitu banyak kisah pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia modern yang belum terungkap hingga hari ini.
Kisah pembunuhan politis pertama pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi pada Otto Iskanda Di Nata. Menurut keterangan resmi pemerintah Otto dibunuh oleh Laskar Hitam pada 20 Desember 1945 di Pantai Mauk, Tanggerang. Saat itu ia masih menjabat Menteri Negara yang membidangi keamanan.
Sebelum tewas di tangan Laskar Hitam, Otto yang dijuluki "Jalak Harupat" itu tergabung dalam panitia kecil yang bertugas merancang peraturan tentang kepolisian dan tentara kebangsaan. Dalam rapat PPKI 20 Agustus 1945 diputuskan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang akan menyatukan berbagai elemen organisasi kelaskaran di seluruh Indonesia. Beberapa organisasi kelaskaran yang telah berjuang semenjak zaman Jepang merasa tak puas dengan pembentukan BKR kemudian mendirikan badan-badan perjuangan sendiri yang dikenal sebagai Laskar Rakyat. Mereka beraksi merebut gedung-gedung pemerintahan dan gudang-gudang senjata milik Jepang, sehingga tak jarang terjadi pertempuran yang banyak memakan korban jiwa. Otto bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan itu.
Pada 26 Oktober 1945, seperti yang dicatat Soekirah, istri Otto, dalam buku hariannya, melalui telepon Otto dipanggil ke Jakarta. Baru saja tiba beberapa hari di Jakarta, Otto diculik pada Rabu, 31 Oktober 1945 pukul 11 siang. Sejak saat itu Otto hilang, sampai kemudian ada pengumuman resmi dari pemerintah yang menyiarkan nasib tragisnya. Jasad Otto tak pernah ditemukan, hanya sebungkus pasir yang diambil dari Pantai Mauk yang kemudian dikuburkan di Taman Pasir Pahlawan di Lembang, Bandung sebagai simbol jenazah Otto.
Tiga tahun setelah pembunuhan Otto Iskandar Dinata, tepatnya pada 2 Juli 1948, pukul 20:00 malam, Komanda Divisi Panembahan Senopati Letkol. Sutarto tewas ditembak seorang sniper yang hingga kini tak diketahui jatidirinya. Kasus itu bermuatan politik karena terjadi pada saat Kabinet Hatta menjalankan program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara Indonesia. Sebagai komandan dari sebuah divisi yang memiliki banyak pasukan bersenjata lumayan lengkap untuk ukuran masa itu, Sutarto menolak kebijakan Re-Ra. Alasan lain yang membuatnya dibunuh karena ia disebut-sebut simpatisan kaum kiri.
Saling tuduh tentang siapa yang membunuh Sutarto pun terjadi. Kelompok PKI menuduh para pengikut Tan Malaka yang tergabung dalam Gerakan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) sebagai dalang utama pembunuhan itu. PKI juga menduga Tan Malaka bermain mata dengan Hatta untuk menyaingi aktivitas kaum komunis di Indonesia.
Tan Malaka dan pengikutnya memang sengaja dilepaskan oleh Hatta dari Penjara Wirogunan, Yogyakarta dengan harapan supaya bisa mengimbangi kelompok PKI, terutama setelah Musso kembali dari Uni Soviet. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kelompok Tan Malaka yang sebelumnya ditahan karena kasus 3 Juli 1946 itu mendirikan Persatuan Perjuangan yang banyak melancarkan kritik tajam pada pemerintahan republik pada saat itu. Tan Malaka berpendapat pemerintah terlalu lunak dalam menghadapi Belanda.
Atas perintah Soengkono, Komandan Divisi Brawijaya, Tan Malaka kemudian ditangkap di Kediri, Jawa Timur pada bulan Februari 1949. Letnan Dua Soekotjo, Komandan Batalyon Sikatan bawahan Soengkono berhasil menangkap Tan Malaka. Soekotjo kemudian memerintahkan kepada Soeradi Takebek untuk mengeksekusi Tan Malaka pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, Kediri.
Baik dalam kasus Otto, Sutarto, maupun Tan Malaka tak pernah diselesaikan secara hukum. Pelaku pembunuhan tetap bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang tanpa sedikit pun terjamah oleh pedang dewi keadilan. Bahkan Soekotjo, pemberi perintah pembunuhan Tan Malaka pensiun sebagai Walikota Surabaya dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Pembunuhan politis dalam sejarah Indonesia seakan berjalan dalam garis yang menyerupai spiral. Ia berjalan terus ke depan, menembus ruang-waktu, namun tetap bertemu pada satu titik yang sama. Jika persoalan ini tak diselesaikan secara tuntas, niscaya akan terjadi kembali pada masa yang akan datang. Pembunuhan politis yang terjadi sejak saat Otto sampai dengan Munir, seolah sambung menyambung, menjadi benang merah sejarah yang tak pernah putus membawa duka di negeri ini.
Persoalan dalam sejarah Indonesia itu mau tak mau membawa kita kepada pertanyaan: sebagai apakah aktor utama pembunuhan Munir pada saat ia pensiun nanti?
Sumber : http://soeharto-online.blogspot.com/2008/0...am-sejarah.html