nurcahyo
New member
PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA PADA RADIKULOPATI SERVIKAL
Yuda Turana
PENDAHULUAN
Nyeri servikal merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas kesehatan . Di populasi didapatkan sekitar 34 % pernah mengalami nyeri servikal dan hampir 14 % mengalami nyeri tersebut lebih dari 6 bulan . Pada populasi usia di atas 50 tahun , sekitar 10 % mengalami nyeri servikal, lebih sedikit dibanding populasi yang mengalami nyeri pinggang bawah .
Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti : proses infeksi, perubahan degeneratif, trauma, tumor dan kelainan sistemik . Salah satu penyebab nyeri servikal adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur anatomi tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. Ciri khas radikulopati servikal adalah rasa nyeri radikuler pada leher dan bahu yang menyebar ke lengan, yang akan bertambah pada perubahan posisi leher dan dapat diikuti terbatasnya gerakan leher dan rasa sakit pada penekanan tulang dan kadang-kadang disertai parestesi pada lengan . Namun seringkali pula gejala nyeri radikuler tersebut tidak terlokalisasi baik sesuai dermatomal. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih daerah persarafan .
Dalam praktek klinik sangat penting untuk membedakan 2 gejala utama , yaitu : 1. Nyeri servikal tanpa adanya nyeri radikuler dan defisit neurologis, 2. Nyeri servikal yang diikuti dengan nyeri radikuler dan defisit neurologis. Untuk gejala utama yang kedua sangatlah besar kemungkinan ditemukan adanya kelainan organik di servikal. Pada nyeri servikal tanpa adanya nyeri radikuler atau defisit neurologis kadang tidak jelas adanya keterlibatan radiks servikal dan tidak jelas batasan kriteria diagnostik yang akan dilakukan. Mengingat gejala tersebut juga dapat merupakan gejala awal proses organik atau dapat pula akibat nyeri radikuler yang tidak terlokalisasi dengan baik. Dari data diketahui pula 80 sampai 100 % pasien radikulopati menunjukkan adanya nyeri servikal dan lengan tanpa adanya kelumpuhan maupun parestesi .
Melihat beberapa hal tersebut di atas maka pada tulisan ini dibahas secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana radikulopati servikal.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
RIWAYAT PENYAKIT DAN KELUHAN
Pada riwayat penyakit penting ditentukan dahulu keluhan utama ( misalnya : nyeri, rasa baal, kelemahan, dan lokasi keluhan ). Ditanyakan pula aktivitas maupun posisi kepala yang meningkatkan maupun mengurangi keluhan , adakah riwayat cedera dan mekanismenya, dugaan sumber keganasan ditempat lain, adanya gangguan berjalan, gangguan defekasi maupun buang air kecil, gangguan sensorik, dan kelemahan.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi : observasi, palpasi, pemeriksaan motorik, sensorik, dan pemeriksaan provokatif.
Observasi : Perhatikan sikap tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit. Bagaimana posisi kepala dan leher selama wawancara. Biasanya pasien menekukkan kepala menjauhi sisi yang cedera dan leher terlihat kaku. Gerak leher ke segala arah menjadi terbatas, baik yang mendekati maupun menjauhi sisi cedera.
Palpasi : Pada palpasi didapatkan kekakuan dan nyeri pada sisi otot maupun radiks saraf yang terkena, dapat pula disertai hipertonus maupun spasme pada sisi otot yang nyeri.
Motorik : pemeriksaan motorik sangatlah penting untuk menentukan tingkat radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi myotomal. Sebagai contoh : Kelemahan pada abduksi pundak menunjukkan radikulopati C 5. Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 6. Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksi pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 7 dan kelemahan pada ekstensi ibu jari dan deviasi ulnar dari pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 8. Pemeriksaan refleks tendon sangat membantu menentukan tingkat radiks yang terkena. Seperti : Refleks biseps mewakili tingkat radiks C5-6, Refleks triseps mewakili tingkat radiks C7-8.
Sensorik : Penting dicatat bila ada gangguan sensorik dengan batas jelas. Namun seringkali gangguan sensorik tidak sesuai dermatomal atlas anatomik.
Hal ini disebabkan oleh adanya daerah persarafan yang bertumpang tindih satu sama lain . Pemeriksaan ini juga menunjukkan tingkat subyektivitas yang tinggi.
Test Provokasi : Tes Spurling atau tes kompresi foraminal : dilakukan dengan cara posisi leher ekstensi dan rotasi kepala ke salah satu sisi kemudian berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Tes dikatakan positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstresimitas ipsilateral sesuai arah rotasi kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif dalam mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang masih dalam keadaan nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual : pasien dalam posisi supinasi, kemudian dilakukan distraksi leher secara perlahan. Tes dikatakan positif bila nyeri servikal berkurang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto polos servikal : tes diagnostik pertama yang sering dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri leher. Foto polos servikal sangat penting untuk mendeteksi adanya fraktur dan subluksasi pada pasien dengan trauma leher. Namun sebagai alat skrining awal pada kasus nyeri servikal non traumatik masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan bahwa : kelainan servikal seperti spondilosis seringkali ditemukan pada pasien tanpa keluhan maupun usia tua . Data menunjukkan bahwa 70% wanita dan 95% pada laki-laki tanpa keluhan , antara usia 60-65 tahun terdapat perubahan degeneratif pada foto polos servikal . Keterbatasan penggunaan foto polos servikal juga terlihat pada salah satu studi yang membandingkan antara foto servikal dengan gambaran tulang servikal pada bedah kadaver yang menunjukkan foto servikal hanya mampu mendeteksi 67% penyempitan diskus dan 57% osteofit posterior yang besar, dan 32% degenerasi dari sendi faset . Heller dkk, menganjurkan sebaiknya pemeriksaan foto polos servikal dilakukan hanya pada kasus kecurigaan klinik adanya keganasan, infeksi, paska trauma, dan kemungkinan adanya tindakan bedah .
CT SKEN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imajing pilihan untuk daerah servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit , keluhan maupun pemeriksaan klinis.
Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi .
Memang tanpa ada keraguan pemeriksaan radiologis berupa CT sken, CT mielo maupun MRI merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk diagnosa mielopati dan radikulopati spondiletik servikal, namun di Indonesia karena biayanya yang tinggi sehingga pemeriksaan ini belum bisa dilakukan pada semua pasien dan menjadikan pemeriksaan EMG menjadi pilihan utama .
TATALAKSANA
Tujuan tatalaksana utama adalah : reduksi dan resolusi nyeri, perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi / keterlibatan medula spinalis. Ragam tatalaksana tergantung pada keluhan maupun kelainan fisik yang ada. Tatalaksana , termasuk terapi fisik haruslah spesifik dan tergantung beratnya keluhan dan etiologi yang mendasari.
PEMBATASAN AKTIVITAS
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi.
Pasien dengan radikulopati berat biasanya tidak dapat bekerja dan membutuhkan tirah baring. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka , maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
PENGGUNAAN KOLAR LEHER
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.
MODALITAS TERAPI LAIN
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15 ? 30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi ?inflamasi? di sekitar radiks saraf ( meskipun inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus ) . Penggunaan kortikosteroid pada radikulopati masih kontroversial.
Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas , aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi diskus di servikal.
Yuda Turana
PENDAHULUAN
Nyeri servikal merupakan salah satu keluhan yang sering menyebabkan seseorang datang berobat ke fasilitas kesehatan . Di populasi didapatkan sekitar 34 % pernah mengalami nyeri servikal dan hampir 14 % mengalami nyeri tersebut lebih dari 6 bulan . Pada populasi usia di atas 50 tahun , sekitar 10 % mengalami nyeri servikal, lebih sedikit dibanding populasi yang mengalami nyeri pinggang bawah .
Nyeri servikal dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti : proses infeksi, perubahan degeneratif, trauma, tumor dan kelainan sistemik . Salah satu penyebab nyeri servikal adalah radikulopati. Berbagai keadaan yang menyebabkan perubahan struktur anatomi tulang leher dapat menimbulkan keluhan radikulopati. Ciri khas radikulopati servikal adalah rasa nyeri radikuler pada leher dan bahu yang menyebar ke lengan, yang akan bertambah pada perubahan posisi leher dan dapat diikuti terbatasnya gerakan leher dan rasa sakit pada penekanan tulang dan kadang-kadang disertai parestesi pada lengan . Namun seringkali pula gejala nyeri radikuler tersebut tidak terlokalisasi baik sesuai dermatomal. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih daerah persarafan .
Dalam praktek klinik sangat penting untuk membedakan 2 gejala utama , yaitu : 1. Nyeri servikal tanpa adanya nyeri radikuler dan defisit neurologis, 2. Nyeri servikal yang diikuti dengan nyeri radikuler dan defisit neurologis. Untuk gejala utama yang kedua sangatlah besar kemungkinan ditemukan adanya kelainan organik di servikal. Pada nyeri servikal tanpa adanya nyeri radikuler atau defisit neurologis kadang tidak jelas adanya keterlibatan radiks servikal dan tidak jelas batasan kriteria diagnostik yang akan dilakukan. Mengingat gejala tersebut juga dapat merupakan gejala awal proses organik atau dapat pula akibat nyeri radikuler yang tidak terlokalisasi dengan baik. Dari data diketahui pula 80 sampai 100 % pasien radikulopati menunjukkan adanya nyeri servikal dan lengan tanpa adanya kelumpuhan maupun parestesi .
Melihat beberapa hal tersebut di atas maka pada tulisan ini dibahas secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana radikulopati servikal.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
RIWAYAT PENYAKIT DAN KELUHAN
Pada riwayat penyakit penting ditentukan dahulu keluhan utama ( misalnya : nyeri, rasa baal, kelemahan, dan lokasi keluhan ). Ditanyakan pula aktivitas maupun posisi kepala yang meningkatkan maupun mengurangi keluhan , adakah riwayat cedera dan mekanismenya, dugaan sumber keganasan ditempat lain, adanya gangguan berjalan, gangguan defekasi maupun buang air kecil, gangguan sensorik, dan kelemahan.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi : observasi, palpasi, pemeriksaan motorik, sensorik, dan pemeriksaan provokatif.
Observasi : Perhatikan sikap tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit. Bagaimana posisi kepala dan leher selama wawancara. Biasanya pasien menekukkan kepala menjauhi sisi yang cedera dan leher terlihat kaku. Gerak leher ke segala arah menjadi terbatas, baik yang mendekati maupun menjauhi sisi cedera.
Palpasi : Pada palpasi didapatkan kekakuan dan nyeri pada sisi otot maupun radiks saraf yang terkena, dapat pula disertai hipertonus maupun spasme pada sisi otot yang nyeri.
Motorik : pemeriksaan motorik sangatlah penting untuk menentukan tingkat radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi myotomal. Sebagai contoh : Kelemahan pada abduksi pundak menunjukkan radikulopati C 5. Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 6. Kelemahan pada ekstensi siku dan fleksi pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 7 dan kelemahan pada ekstensi ibu jari dan deviasi ulnar dari pergelangan tangan menunjukkan radikulopati C 8. Pemeriksaan refleks tendon sangat membantu menentukan tingkat radiks yang terkena. Seperti : Refleks biseps mewakili tingkat radiks C5-6, Refleks triseps mewakili tingkat radiks C7-8.
Sensorik : Penting dicatat bila ada gangguan sensorik dengan batas jelas. Namun seringkali gangguan sensorik tidak sesuai dermatomal atlas anatomik.
Hal ini disebabkan oleh adanya daerah persarafan yang bertumpang tindih satu sama lain . Pemeriksaan ini juga menunjukkan tingkat subyektivitas yang tinggi.
Test Provokasi : Tes Spurling atau tes kompresi foraminal : dilakukan dengan cara posisi leher ekstensi dan rotasi kepala ke salah satu sisi kemudian berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Tes dikatakan positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstresimitas ipsilateral sesuai arah rotasi kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif dalam mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang masih dalam keadaan nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual : pasien dalam posisi supinasi, kemudian dilakukan distraksi leher secara perlahan. Tes dikatakan positif bila nyeri servikal berkurang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan foto polos servikal : tes diagnostik pertama yang sering dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri leher. Foto polos servikal sangat penting untuk mendeteksi adanya fraktur dan subluksasi pada pasien dengan trauma leher. Namun sebagai alat skrining awal pada kasus nyeri servikal non traumatik masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan bahwa : kelainan servikal seperti spondilosis seringkali ditemukan pada pasien tanpa keluhan maupun usia tua . Data menunjukkan bahwa 70% wanita dan 95% pada laki-laki tanpa keluhan , antara usia 60-65 tahun terdapat perubahan degeneratif pada foto polos servikal . Keterbatasan penggunaan foto polos servikal juga terlihat pada salah satu studi yang membandingkan antara foto servikal dengan gambaran tulang servikal pada bedah kadaver yang menunjukkan foto servikal hanya mampu mendeteksi 67% penyempitan diskus dan 57% osteofit posterior yang besar, dan 32% degenerasi dari sendi faset . Heller dkk, menganjurkan sebaiknya pemeriksaan foto polos servikal dilakukan hanya pada kasus kecurigaan klinik adanya keganasan, infeksi, paska trauma, dan kemungkinan adanya tindakan bedah .
CT SKEN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imajing pilihan untuk daerah servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit , keluhan maupun pemeriksaan klinis.
Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi .
Memang tanpa ada keraguan pemeriksaan radiologis berupa CT sken, CT mielo maupun MRI merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk diagnosa mielopati dan radikulopati spondiletik servikal, namun di Indonesia karena biayanya yang tinggi sehingga pemeriksaan ini belum bisa dilakukan pada semua pasien dan menjadikan pemeriksaan EMG menjadi pilihan utama .
TATALAKSANA
Tujuan tatalaksana utama adalah : reduksi dan resolusi nyeri, perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah komplikasi / keterlibatan medula spinalis. Ragam tatalaksana tergantung pada keluhan maupun kelainan fisik yang ada. Tatalaksana , termasuk terapi fisik haruslah spesifik dan tergantung beratnya keluhan dan etiologi yang mendasari.
PEMBATASAN AKTIVITAS
Studi spesifik yang membandingkan keluaran dengan atau tanpa pembatasan aktivitas belum ada. Jadi toleransi terhadap respon pengobatan yang bersifat individual sebaiknya menjadi panduan bagi praktisi.
Pasien dengan radikulopati berat biasanya tidak dapat bekerja dan membutuhkan tirah baring. Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaan yang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang salah. Saat menonton pertandingan pada lapangan terbuka , maupun layar lebar sebaiknya menghindari tempat duduk yang menyebabkan kepala menoleh/berotasi ke sisi lesi.
PENGGUNAAN KOLAR LEHER
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (soft collars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus , seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.
MODALITAS TERAPI LAIN
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15 ? 30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas /pemanasan selama 30 menit , 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit , dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi ?inflamasi? di sekitar radiks saraf ( meskipun inflamasi sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus ) . Penggunaan kortikosteroid pada radikulopati masih kontroversial.
Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas , aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi diskus di servikal.