pelajaran PKN yang ada di sekolah2 [SMP, SMU, SMK] itu beda silabusnya ama pelajaran PMP dulu.
PKN yg diajarkan sekarang lebih mengarah pada pendalaman sejarah, berbeda dengan PMP dulu yang fokus mengajarkan tentang pengamalan nilai2 SILA pada Pancasila
Daku nggak tahu apa beda keduanya karena sama sekali nggak pernah dapet pelajaran macam ini.
Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, berhasilkah pelajaran PMP itu menanamkan nilai-nilai Pancasila? Benarkah penanaman nilai pancasila didapat dari proses belajar dan bukan proses indoktrinisasi gaya Orba?
kenapa harus mengidealkan pancasila, karena saya nilai sejelek apapun gambaran rencana masa depan, tetap harus ada. Tetap kita harus punya pegangan. Pancasila dinilai ideal, karena dirumuskan khusus untuk tujuan mencapai keharmonisan, khususnya Indonesia ini.
tentang hal yang ideal atau pengertian khusus tentang ideal itu, gak ada masalahnya selagi "kenapa enggak" kita mencoba menuju kesana.
iya kan?
kebenaran, sama halnya dengan "ideal". Sama-sama kata abstrak yang tidak pasti. Nah, pada kenyataannya yang ada, mbak liat sendiri kan emang "Kurang". Pancasila dan nilai-nilai itu hanya berupa kondisi ideal. Hal yang lebih merupakan cerminan: "harusnya seperti ini"
sehingga yang salah, adalah personal. Bukan fungsi pancasila itu sendiri.
Lantas ketika pancasila hanya berupa simbol dan boneka ideologi, mbak melihat pancasila (mungkin menurut saya):
PANCASILA mengkondisikan rakyat Indonesia.
Padahal seharusnya yang terjadi:
rakyat mengkondisikan sendiri PANCASILA.
Jelas saja, jika hanya berupa simbol oleh karena itu. Pancasila itu sendiri nilainya abstrak. Sejenis "kebijaksanaan" "nasihat" "firman dan ayat tuhan"
"konsep"
hal-hal yang tidak bisa kita buktikan dan kita tuju dengan sempurna. Tetapi nilai yang terpenting, bagaimana kita menuju kesana. Bagaimana prosesnya. Dan tentu hanya bisa didapat dengan memperdalam lagi.
Seperti halnya filsafat. Hanya berupaya menjawab tujuan hidup bernegara dan bagaimana seharusnya.
That's it. Pancasila memang bukan suatu hal yang salah karena memang kandungannya bagus (katanya), tapi kalau hanya sekedar utopia, apa gunanya?
Itu kenapa daku menyoroti nilai-nilai yang konon digali dari bangsa ini.
Penjelasan paling masuk akal dari pertanyaan mengapa usulan Pancasila Bung Karno yang akhirnya diterima adalah karena waktu itu Bung Karno mempraktekkan dengan sempurna apa yang dalam istilah filsafat politik kontemporer disebut sebagai nalar-publik (public reason). Praktek nalar publik selalu mengandung sedikitnya tiga pengertian. Pertama, ada kriteria kesetaraan dan kebebasan yang sama, artinya pelakunya menyadari bahwa dirinya adalah anggota dari warga negara yang bebas (free) dan setara (equal), dan menganggap orang lain juga bebas dan setara. Kedua, ada kriteria resiprositas, artinya ketika si pelaku mengajukan usulan kepada pihak lain dalam rangka menentukan persyaratan untuk kerjasama (yang dalam konteks sejarah BPUPK adalah kerjasama dalam membentuk sebuah negara merdeka yang baru) yang pertama-tama dipertimbangkan adalah bahwa usulannya akan masuk akal di mata orang lain, yang juga merupakan warga negara yang bebas dan setara, sehingga mereka menerima kesepakatan bukan karena dominasi atau manipulasi, atau karena tekanan paksa akibat posisi sosial dan politik yang lebih rendah (inferior). Dan ketiga, ada kriteria kebaikan bersama, artinya pokok masalah (subject) yang dibicarakan dalam usulan kerjasama itu adalah tentang kebaikan bersama (public good) atau keadilan politik fundamental, yang mempermasalahkan dua hal, yaitu inti penting konstitusi (constitutional essentials) dan masalah keadilan dasar. Sejarah lahirnya Pancasila adalah contoh sempurna dari penerapan nalar publik itu.
Kini, kembali pada pertanyaan awal kita, mengapa daku beranggapan bahwa Pancasila tidak relevan, jawabannya bisa dijelaskan dengan kalimat negatif, yaitu karena makna Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila tetapi semua itu tidak ada hubungannya dengan realitas hidup mereka sehari-hari. Di masa pemerintah Orde Baru, yang berkuasa hampir selama 32 tahun, telah dilakukan usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis regim Sukarno, yaitu dengan cara mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila. Namun, negara Pancasila yang dikembangkan oleh regim Orde Baru lebih bertitik tolak dari ajaran Integralisme atau Organisisme yang sesungguhnya berasal dari usulan Supomo pada sidang BPUPK tahun 1945, dan bukan dikembangkan berdasarkan Pancasila sesuai dengan makna awalnya, yaitu sebagai nalar publik. Sementara nalar publik pada dasarnya sejalan dengan demokrasi konstitusional dengan kriteria berupa persamaan dan kesetaraan, resiprositas, dan orientasi pada kebaikan bersama, ajaran integralism memiliki konsepsi tentang negara yang hampir bertolak belakang dengan konsepsi yang dikenal dalam pengertian demokrasi konstitusional.
Jadi, Pancasila cukuplah diajarkan di pelajaran sejarah. Soal belajar moral, ada hal yang lebih jitu dan tepat, yaitu Agama.
Ideologi moral hasil indoktrinisasi itu sama aja dengan 'berjalan kalau ada sesuatu yang represif'.