mbahsebul
New member
Soal:
Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?
Jawab:
Muktazilah (mu‘tazilah) secara harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).1 Secara terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah (muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn al-manzilatayn.2 Muktazilah kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.3
Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan: Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan al-Bashri kepada Washil.4 Laporan ini populer di kalangan Ahlus Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi.5 Kedua, Muktazilah adalah sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w. 117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima. Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).6
Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi dua puluh dua aliran: (1) Washiliyah; (2) Amrawiyah; (3) Hudhayliyah; (4) Nazzamiyyah; (5) Aswariyah; (6) Ma‘mariyah; (7) Iskafiyah; ( Ja‘fariyah; (9) Bisyriyyah; (10) Murdariyyah; (11) Hisyamiyyah; (12) Thumamiyah; (13) Jahiziyah; (14) Khabitiyah; (15) Himariyah; (16) Khayatiyah; (17) Murisiyah; (1 Syahammiyah; (19) Ka‘biyah; (20) Jubba’iyah; (21) Basyamiyah; (22) Shalihiyah. Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi, merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah. Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.7
Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar).8
Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.9
2. Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.10 Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.11
3. Janji dan ancaman: Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.12
4. Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan): Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.13
5. Amar makruf nahi mungkar: Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku.14
Inilah beberapa pandangan (maqâlât) yang mereka sepakati. Selain itu, pandangan mereka berbeda-beda. Mengenai para tokohnya, antara lain, adalah Ghaylan ad-Dimasyqi dan Washil bin Atha’. Ghaylan terkenal dengan pandangannya tentang al-qadr, sedangkan Washil terkenal dengan pandangannya tentang al-manzilah bayn al-manzilatayn. Abu Hudhail al-‘Allaf dengan muridnya dan Basyar bin al-Mu‘tamir terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud.15 Tokoh lain adalah Abu Ali al-Jubba’i dan al-Khayyath penulis buku al-Intishâr. Tokoh Muktazilah yang terakhir adalah ‘Abd al-Jabbar, murid Abu Hasyim al-Jubba’i, anak Ali al-Jubba’i.16
Selain beberapa pandangan di atas, hal lain yang paling menonjol adalah penggunaan akal sehingga muncul kesan seolah-olah Muktazilah adalah kelompok yang mendewakan akal. Padahal, dalam kasus ini, bisa dikatakan semua ahli kalam menggunakan akal. Bahkan, dalam kasus ini tidak bisa dipilah lagi, mana Muktazilah, Jabariah dan Ahlus Sunnah. Inilah secara umum tentang potret Muktazilah sebagai mazhab akidah.
Dari sini, jelas bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan Muktazilah. Pertama: dalam konteks tauhid, khususnya yang terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir berpandangan, bahwa persoalan sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu, yakni sifat dan zat-Nya adalah sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan zat (mawshûf)-Nya jelas tidak sama, sebagaimana pendapat mazhab Ahlus Sunnah. Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas, karena masing-masing sama-sama berangkat dari asumsi yang dibangun berdasarkan logika mantik, bukan fakta yang sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang Allah jelas tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Karena itu, pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus dihentikan, dengan kata lain, tidak perlu dibahas.
Kedua: dalam konteks keadilan Allah, yang berujung pada hurriyah al-irâdah, tawallud, dan sebagainya, Hizbut Tahrir justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut dengan tepat dan akurat. Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek pembahasan adalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu, diketahui bahwa perbuatan manusia itu ternyata ada dua: mujbar (dipaksa) dan mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam konteks yang pertama, di situlah wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua tidak. Pada wilayah yang kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan karenanya kemudian dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski demikian, dalam konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu terikat dengan sesuatu berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam konteks Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.
Ketiga: masalah manzilah bayna manzilatayn yang sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik, dalam logika Hizb, tidak akan pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibahas oleh akal manusia.
Keempat: tentang pengagungan akal, justru Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal dengan tepat. Persoalan ini notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah, Jabariah maupun Ahlus Sunnah. Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam perdebatan yang tak berujung, termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan Qadar.
Dengan demikian, dari mana logikanya Hizbut Tahrir dikatakan Muktazilah? Jelas tidak ketemu, sebagaimana tuduhan sejenis yang lain, seperti Hizbut Tahrir adalah Wahabi, dan sebagainya. Tuduhan seperti ini mencerminkan dua hal sekaligus: kebodohan dan kejahatan penuduhnya. Dikatakan bodoh, karena jelas dia tidak memahami fakta Muktazilah dan Hizbut Tahrir. Dikatakan jahat, karena kalau dia memahami fakta masing-masing kelompok tersebut, maka tujuannya jelas adalah untuk mengaburkan fakta Hizbut Tahrir, dan menciptakan stigma terhadap Hizbut Tahrir. Tujuannya supaya Hizbut Tahrir dijauhi dan ditinggalkan oleh simpatisan dan masyarakat awam, yang kini tengah berjibaku dengannya untuk mewujudkan kembali kehidupan Islam di tengah-tengah mereka. Artinya, mereka ingin mengeluarkan Hizbut Tahrir dari pergaulan masyarakat, dikucilkan dan bahkan dimusuhi oleh umat. Itulah niat jahat mereka. Wallâhu a‘lam, wahuwa Rabb al-musta‘ân. []
Catatan Kaki:
1 Ibn Manzhur, Lisân, XI/440.
2 Al-Syahrastani, Al-Milal, hlm. 22; al-Jurjani, At-Ta‘rîfât, hlm. 282.
3 Al-Baghdadi, Al-Farq, hlm. 131; asy-Syahrastani, Ibid, hlm. 22.
4 Ibn al-Nadîm, Al-Fihrist, hlm. 282.
5 Al-Baghdâdi, Al-Farq, hlm. 40-41.
6 Al-Nasysyâr, Al-Nasy’ah, I/379.
7 Al-Baghdadi, Ibid, hlm. 131.
8 Al-Khayyath, Al-Intishâr, 12; al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab, VI/23; ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 125-126.
9 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 128-129 dan 131.
10 Abd al-Jabbâr, Syarh al-Ushûl, hlm. 133.
11 Al-Khayyath, al-Intishâr, hlm. 13.
12 Ibid, hlm. 134-135.
13 Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 39-140; al-Khayyath, Al-Intishâr, hlm. 13.
14 Ibid, hlm. 141.
15 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh, hlm. 424; Ibn al-Nadim, Al-Fihrist, hlm. 286-287; al-Asy‘ari, Maqâlât, II/87-88.
16 Keterangan ini sebagaimana ditulis oleh ‘Adnan Muhammad Zarzur, dosen Universitas Damaskus, Syiria, editor buku Mutasyâbih al-Qur’ân, karya ‘Abd al-Jabbar. Lihat: ‘Abd al-Jabbar, Mutasyâbih, hlm. 14.
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/
Jawab:
Pertama, dari jawaban saudara Luqman Al-Bantuly tampaknya orang-orang hizbut tahrir telah menjadi korban distorsi sejarah islam. Sehingga selalu salah paham terhadap islam itu sendiri, sampai akhirnya muncul mental over confident dalam pergaulannya dengan umat islam. Kalau memang apa yang dikemukakan oleh saudara Luqman Al-Bantuly sebagai sosok pemahaman hizbut tahrir, maka ini semakin membuktikan bahwa hizbut tahrir adalah gerakan yang sangat kental pemikiran Mu’tazilahnya. Dimana hizbut tahrir (menurut keterangan Luqman Al-Bantuly) menganggap bahsawanya pembahasan perkara aqidah (baca: tauhid) adalah perkara logika. Dan di anggap pula oleh saudara, bahwa perdebatan antara Ahlus Sunnah dengan Mu’tazilah adalah kesimpangsiuran ilmul kalam di antara keduanya. Saudara Luqman Al-Bantuly rupanya menganggap bahwa ilmul kalam adalah juga merupakan produk ilmu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sama saja dengan Mu’tazilah. Padahal sesungguhnya perkara Aqidah itu bukanlah perkara logika tetapi ia merupakan kepastian ma’rifatullah (pengenalan kepada Allah) dengan bimbingan wahyu dari Allah dalam bentuk Al-Qur’an Was Sunnah.
Maka perdebatan antara Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah, sesungguhnya adalah perdebatan antara logika yang tidak mau dibimbing oleh wahyu, melawan dalil-dalil samawi (Al-Qur’an & As-Sunnah). Sedangkan ilmul kalam bukanlah produk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sama sekali. Bahkan Ahlus Sunnah membantah keras ilmul kalam yang notabene adalah filsafat logika Yunani (Aristoteles) yang digagas oleh mantan tokoh Mu’tazilah yang telah bertaubat yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy (ketika beliau masih bermadzhab Mu'tazilah).
Kedua, saudara Luqman Al-Bantuly tampaknya belum mengerti prinsip Mu’tazilah yang berkenaan dengan tauhid, sehingga saudara tidak terasa telah terjebak dalam pemahaman Mu’tazilah yang sesat. Prinsip tauhid bagi Mu’tazilah yang paling utama adalah menafikan sifat-sifat Allah bagi Dzat-Nya. Sehingga Mu’tazilah ketika membahas sifat-sifat pada Dzat Allah itu, membagi pembahasan tentang Dzat yang terpisah dari pembahasan tentang sifat. Kemudian setelah itu ditanyakan apakah sifat-sifat Allah itu makhluk yang terpisah dari Dzat ataukah sifat-sifat Allah itu bergendengan dengan Dzat. Melakukan pemisahan dalam pembahasan tentang Allah antara sifat dengan Dzat, adalah logika yang absurd. Sehingga berusaha menjawab pertanyaan yang muncul dari logika yang demikian itu adalah satu kesalahan besar. Itulah sebabnya Mu’tazilah terjerumus didalam kesesatan yang berkenaan dengan ma’rifatullah. Dimana mereka mengatakan bahwa sifat Allah adalah makhluk tidak ‘Azali (asalnya tidak ada kemudian menjadi ada), dan yang ‘Azali hanya Dzat Allah yaitu Dzat yang tidak bersifat sehingga mereka termasuk orang yang munafiy lish shifat (menafikan sifat-sifat Allah). Akibatnya mereka menyerupakan Dzat Allah dengan makhluk yaitu mereka menyatakan bahwa Allah asalnya tidak berilmu kemudian menjadi berilmu, Allah asalnya tidak berkuasa kemudian menjadi berkuasa, Allah asalnya tidak mendengar kemudian menjadi mendengar dan demikian seterusnya berkenaan dengan sifat-sifat Allah.
Adapun Ahlus Sunnah memahami Dzat Allah sesuai dengan berita tentang-Nya didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yaitu bahwa pembahasan tentang Dzat Allah tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang sifat Allah. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi pertanyaan tentang apakah Dzat itu terpisah dari sifat-Nya, dan apakah sifat itu makhluk atau bukan. Pembahasan yang ada didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menegaskan bahwa yang dikatakan Dzat Allah itu adalah lengkap dengan segala sifat-sifatNya yang maha sempurna dan tidak terpisah sama sekali dengan sifat-sifatNya yang maha sempurna itu. Dzat dan sifat Allah itu adalah ‘Azali, yakni telah ada sebelum adanya segala makhluk. Maka sifat-sifat Allah yang maha sempurna telah ada sebelum adanya segala makhluk, sebagaimana pula Dzat-Nya telah ada sebelum adanya makhluk.
Karena saudara Luqman Al-Bantuly tidak memahami perbedaan antara Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah seperti ini, akhirnya saudara pun terjatuh pada salah satu aliran Mu’tazilah yaitu aliran Al-Mufawwidhah. Dimana aliran ini menolak membahas tentang sifat-sifat Allah karena di anggap pembahasan itu termasuk perkara yang tidak bisa dipahami, dan aliran ini menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang memberitakan tentang sifat-sifat Allah itu hanyalah bermakna satu makna yaitu memberitakan bahwa Dzat Allah itu ada. Aliran inilah yang logikanya di adopsi oleh saudara Luqman Al-Bantuly dengan sadar ataupun tidak. Ketika anda menyatakan:
“Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas”
Ketiga, saudara Luqman Al-Bantuly juga tidak paham tentang prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkenaan dengan Al-Qadha’ Wal Qadhar. Sehingga tanpa disadari saudara mengadopsi pemikiran Mu’tazilah dari Jubba’iyyah (Abu ‘Ali Al-Jubba’i). Dimana Jubba’iyyah menyatakan bahwa perbuatan manusia itu ada yang mujbar (dipaksa) dan ada yang mukhayyar (tanpa paksaan yakni memilih). Manusia akan dimintai pertanggungan jawaban tentang perbuatannya yang mukhayyar saja dan tidak dimintai pertanggungan jawaban tentang perbuatan yang mujbar. Karena menurut aliran ini bahwa keadilan Allah tidak mungkin meminta pertanggungan jawaban tentang perkara yang mujbar. Dan Allah tidaklah campur tangan dalam perkara perbuatan manusia yang mukhayyar dan Allah tidak menciptakan perbuatan yang mukhayyar itu sehingga manusia-lah sesungguhnya yang menciptakan perbuatan yang mukhayyar itu. Dengan keyakinan yang demikian itu, muncul-lah keyakinan berikutnya bahwa pencipta di alam ini bukan hanya Allah saja, akan tetapi disamping Allah adapula pencipta-pencipta yang lainnya yaitu makhluk yang berakal yang bernama manusia.
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sangat meyakini apa yang Allah beritakan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa satu-satunya pencipta adalah Allah, dan Allah-lah yang menciptakan makhluk ini dan segenap perbuatan makhluk. Maka semua perbuatan makhluk adalah makhluk (diciptakan). Semua perbuatan makhluk itu ditaqdirkan oleh Allah baiknya ataupun buruknya, bahagia ataupun celaka. Disamping itu Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa Allah menciptakan segala perbuatan manusia itu dan menaqdirkannya dengan keadilan serta hikmah-Nya yang maha sempurna. Sehingga tidak mungkin yang diciptakan dan ditaqdirkan oleh Allah itu keliru pasang atau pun melenceng dari kemestiannya. Maha suci Allah dari segala kedzaliman dan kekhilafan.
Dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meyakini pula bahwa Allah menurunkan syari’ah-Nya untuk ditaati oleh manusia dan jin. Dan inti daripada syari’ah itu ialah perintah Allah kepada kita untuk berusaha serta berjuang mencapai keridha’an Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan Allah. Usaha dan perjuangan demikian ini didalam syari’at Allah dinamakan Al-Jihadu Fii Sabilillah.
Bila ada orang yang bertanya kepada Ahlus Sunnah: “Apakah kalian meyakini bahwa segala gerak-gerik manusia itu telah ditaqdirkan oleh Allah?” Jawaban Ahlus Sunnah menyatakan: “Yaa kami meyakini, bahwa segala gerak-gerak manusia dan jin serta seluruh alam ini telah ditaqdirkan oleh Allah”.
Bila ada orang bertanya lagi: “Mengapa kalian berjihad fii sabilillah kalau memang kalian meyakini bahwa semua sudah ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala?” Jawaban Ahlus Sunnah menyatakan: “Kami berjihad fii sabilillah karena mentaati perintah syari’at Allah (yaitu perintahnya untuk berjihad), meskipun kami yakin bahwa segala nasib kami di masa depan dan sekarang telah di taqdirkan oleh Allah Ta’ala. Kami meyakini bahwa taqdir Allah meliputi segala yang terjadi di masa sekarang ataupun yang akan datang, karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memberitakan yang demikian itu didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dengan keyakinan itu pula kami berjihad fii sabilillah adalah karena kami mentaati perintah syari’at Allah didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menolak klasifikasi perbuatan manusia dengan mujbar dan mukhayyar sebagaimana yang di ajarkan oleh Abu ‘Ali Al-Jubba’i tokoh Mu’tazilah yang kemudian di adopsi oleh saudara Luqman Al-Bantuly dan Hizb-nya.
Ke-empat, saudara Luqman Al-Bantuly dengan Hizbut tahrir-nya juga tidak mengerti prinsip Mu’tazilah berkenaan dengan Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar sehingga logika Mu’tazilah sangat kental dalam visi dan misi gerakan Hizbut tahrir. Prinsip Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar menurut pandangan Mu’tazilah ialah menyatakan keharusan untuk menggulingkan pemerintahan muslimin yang manapun ketika terdapat pada mereka kesalahan dan kekurangan. Prinsip ini di adopsi oleh Mu’tazilah dari ajaran khawarij yang menganggap bahwa orang islam yang berbuat kesalahan maka dia termasuk dalam kategori “tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan” yang berarti keluar dari islam. Dengan dasar pandang seperti inilah maka Mu’tazilah menganggap bahwa pemerintah-pemerintah muslimin didunia ini bukanlah pemerintah islam karena mempunyai kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu dalam rangka Al-Amru Bil Ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) atau dengan kata lain menegakkan syari’at Allah di muka bumi. Dan juga dalam rangka An-Nahyu ‘Anil Munkar (mencegah kemungkaran) atau dengan kata lain memberantas penyimpangan dari syari’at islam. Maka dalam rangka itu semua Mu’tazilah mengajarkan prinsip pemberontakan terhadap pemerintah muslimin untuk menyingkirkan pemerintah-pemerintah tersebut dan menggantinya dengan pemerintahan islam menurut madzhab mereka.
Hal inilah pula yang menjadi dasar pandang perjuangan Hizbut tahrir dalam apa yang mereka namakan perjuangan menegakkan khilafah islamiyah didunia. Mereka membagi tahapan pergerakannya dalam beberapa tahap. Tahap pertama yaitu sosialisasi konsep khilafah islamiyah dikalangan umat islam menurut prinsip Hizbut tahrir. Tahap kedua yaitu aksi penggalangan massa untuk merebut kekuasaan diberbagai wilayah didunia. Tahap ketiga yaitu proklamasi berdirinya khilafah islamiyah dengan melakukan integrasi politik pemerintah-pemerintah dunia yang telah dikuasai oleh Hizbut tahrir.
Adapun prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar ialah bahwa Al-Amru Bil Ma’ruf harus dimulai dari perkara yang telah dimulai daripadanya dalam sejarah perjuangan para Nabi dan para Rasul. Yaitu mengajarkan tauhidul ‘ibadah yakni mentauhidkan Allah dalam segenap peribadatan berdasarkan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satuNya pencipta dan penguasa serta pemilik dan pengatur alam ini (Tauhidur Rububiyah) dan juga keyakinan bahwa Allah satu-satuNya Dzat yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan yang mutlak dan berbeda dengan segenap makhlukNya yang mana pun (Tauhid Al-Asma’ Wash Shifat). Adapun An-Nahyu ‘Anil Munkar juga harus dimulai perkara yang telah dimulai daripadanya dalam sejarah perjuangan para Nabi dan para Rasul yaitu mencegah dan memberantas segala bentuk kemusyrikan dan membersihkan keyakinan umat manusia dari segala noda-noda syirik. Kemudian setelah itu dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah membimbing dan mempelopori ummat untuk mempersembahkan sebaik-baik ibadah bagi Allah dengan keikhlasan yang murni untuk-Nya dan semangat ittiba’ (mengikuti) tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dengan murni dan konsekuen. Maka Ahlus Sunnah berjuang untuk memberantas musuh “Al-Ikhlash” yaitu “Asy-Syirik” dan musuh “As-Sunnah” yaitu “Al-Bid’ah”. Dakwah Ahlus Sunnah juga mengkampanyekan dan mempelopori pendidikan akhlaqul karimah dalam segala aspek kehidupan didunia. Apakah akhlaq penguasa terhadap rakyatnya atau sebaliknya, dan akhlaq rakyat terhadap sesamanya dan segala akhlaq yang berkenaan dengan kehidupan didunia ini. Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mencegah manusia dari segala bentuk kemaksiatan dan segala mafsadah (kerusakan) untuk mencapai kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat. Dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah tersebut (1) sangat mengutamakan kemaslahatan ummat diatas segala kemaslahatan pribadi. Ahlus Sunnah berupaya menghindari segala bentuk mafsadah yang dapat mengancam kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Maka Ahlus Sunnah sangat menentang segala konsep pemberontakan terhadap pemerintah-pemerintah muslimin. Sebaliknya Ahlus Sunnah sangat menganjurkan dan mendidik kaum muslimin untuk bersabar dalam menghadapi berbagai kekurangan dan kelemahan pemerintahan. Dengan terus menasehati pemerintahnya dan menjunjung tinggi kewibawaan pemerintahnya. Karena sejelek-jelek pemerintahan muslimin, tetap lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali.
Pemerintahan yang baik itu menurut prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah, hanya bisa dibentuk dari bangsa yang baik pula, maka dari itu yang harus diperbaiki adalah bangsa-bangsa muslimin, baru setelah itu Allah akan membangkitkan pemerintahan muslimin yang sebaik-baiknya.
Sebagai penutup saya mengajak saudara Luqman Al-Bantuly dan kawan-kawan untuk segera meninggalkan gerakan hura-hura Hizbut tahrir yang hanya akan membuang-buang waktu dan umur kalian dengan sia-sia. Berpalinglah kalian kepada warisan Salafus Shalih yang akan mencerahkan pemahaman kalian tentang islam untuk mengamalkannya. Sibukkanlah kalian untuk belajar mengenai Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih yang kemudian menyelamatkan masa depan kalian didunia dan diakhirat. Semoga Allah membimbing kita semua ke jalan yang di ridhai-Nya. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad dan keluarganya serta para shahabatnya.
(1) Baca artikel "Berkenalan Dengan Manhaj Salaf"
Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib
http://www.alghuroba.org/forum/viewtopic.php?t=25
--: TOP :--
8 Responses to " Jawaban Untuk HTI"
pegel linux
02 Sep 2008 at 06:26:25
sebaik baik umat adalah pada generasi rosulullah, para sahabat, thabiin, tabiit thabiin.
lalu kepada siapa kita akan mencontoh ?
dLiya athifah
26 Aug 2008 at 10:15:00
ana juga menanti kebenaran dan kritikan buat PKS mungkin akan g jauh2beda dengan HTI.jazakillah khair
Abu Salman
22 Aug 2008 at 06:25:55
Kepada saudaraku "someone". cobalah anda renungkan dan cermati, semoga Alloh merahmati anda. Dari sekian banyak harokah yang ada di dunia ini yang mereka berjalan dengan caranya masing2 dan bukan mengikuti contoh Rosululloh, baik yang telah lama bergerak maupun yang baru. Tidak ada satupun diantara mereka yang "berhasil" mewujudkan apa yang mereka cita2kan. Sementara Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam mampu dengan izin Alloh mendirikan daulah Islam dalam waktu 13 tahun di Madinah. Maka timbul pertanyaan, apakah Islam-nya yang salah ataukah cara yang anda dan harokah2 lainnya jalani itu yang salah. Maka jawabannya pasti Islam tidak akan salah. Maka kesalahan terjatuh kepada siapa? Cobalah saudaru someone jawab dengan memohon petunjuk kepada Alloh.
sendy
18 Aug 2008 at 04:18:48
saudara muhhammad rahimakumulloh salafy mengungkapkan kesesatan ini dan itu bukan dalam rangka benci kepada seseorang atau golongan (dalam hal ini HTI). tapi salafyin mengungkapkan kesesatan manhaj justru karena rasa cinta kasih kami terhadap kaum muslimin. masa salafy suka menebar rasa benci (kami tidak serendah itu) kami ingin semua muslimin mengikuti manhajnya para sahabat. dan kenapa kami suka membuka kesesatan pemikiran tokoh tertentu, yaitu agar tokoh tersebut tidak dikirimi dosa oleh para pengikutnya. jadi intinya salafy diajarkan untuk selalu bersikap rahmah
Fikri Abul Hassan
07 Aug 2008 at 05:46:56
Saudara Someone semoga Allah merahmati anda. Perlu saudara ketahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam telah meletakkan satu prinsip metodologi beragama: "Barangsiapa yang beramal (berjuang) dengan satu amalan (perjuangan) yang bukan dari ajaran (cara dan sistem pemahaman) kami, maka tertolak". (HR. Muslim) "Apa yang aku larang kalian darinya, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Maka setiap cara, metode atau sistem pemahamahan yang bertentangan dengan cara perjuangan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam dan para shahabatnya tuntunkan, maka tertolak dan sebagai satu amalan sia-sia walaupun di niatkan ikhlas untuk Allah semata. Hal yang perlu diingat dalam memahami agama Allah ini adalah kepastian dari Allah Ta`ala dan Rasul-Nya bahwa Islam adalah agama Allah yang telah sempurna segala bidangnya dan tidak membutuhkan tambahan sistem, cara atau metode dari selain Allah dan Rasul-Nya di semua tempat di dunia ini dan di segala zaman. Allah Ta`ala telah menegaskan kesempurnaan agama-Nya yang berarti juga kesempurnaan nikmat-Nya kepada kita: "Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah sempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah restui Islam menjadi agama bagi kalian". (Al-Ma'idah: 3). Al-Imam Al-Hafidz Abul Fida' Isma'il bin Katsir Al-Qurasyi ketika menerangkan ayat ini menyatakan: "Ini adalah nikmat Allah yang paling besar terhadap ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak lagi memerlukan agama lainnya, dan tidak pula memerlukan Nabi lainnya selain Nabi Muhammad shalawatullah wa salamuhu 'alaihi. Oleh karena itu Allah jadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan Allah utus beliau kepada segenap manusia dan jin. Maka tidaklah dikatakan sesuatu itu sebagai perkara yang halal, kecuali apa yang telah dihalalkan olehnya. Demikian pula sesuatu itu tidaklah dikatakan sebagai perkara yang haram, kecuali apa yang telah diharamkan olehnya. Juga tidaklah dinamakan agama, kecuali apa yang telah disyari'atkannya. Dan segala perkara yang diberitakan olehnya, maka telah pasti dia itu adalah benar dan jujur, serta tidak ada unsur dusta dan tidak pula ada unsur membikin-membikin berita tentang apa yang tidak pernah terjadi. Alhasil jika kita masih saja bersikukuh menggunakan konsep, cara atau sistem pemahaman yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam dan para shahabatnya tuntunkan, maka secara tidak langsung kita telah menganggap bahwa Islam belum sempurna, wal 'iyadzubillah. Yaa memang setiap muslim bersaudara, dan sebagai bentuk ekspresi persaudarannya yakni dengan saling berwasiat kepada kebenaran dan saling berwasiat kepada kesabaran. Sehingga dengan demikian kita tidak termasuk orang-orang bersaudara yang merugi sebagaimana yang telah Allah beritakan dalam surat Al-'Ashr, wallahul muwaffiq.
Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?
Jawab:
Muktazilah (mu‘tazilah) secara harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).1 Secara terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah (muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn al-manzilatayn.2 Muktazilah kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.3
Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan: Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan al-Bashri kepada Washil.4 Laporan ini populer di kalangan Ahlus Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi.5 Kedua, Muktazilah adalah sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w. 117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima. Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).6
Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi dua puluh dua aliran: (1) Washiliyah; (2) Amrawiyah; (3) Hudhayliyah; (4) Nazzamiyyah; (5) Aswariyah; (6) Ma‘mariyah; (7) Iskafiyah; ( Ja‘fariyah; (9) Bisyriyyah; (10) Murdariyyah; (11) Hisyamiyyah; (12) Thumamiyah; (13) Jahiziyah; (14) Khabitiyah; (15) Himariyah; (16) Khayatiyah; (17) Murisiyah; (1 Syahammiyah; (19) Ka‘biyah; (20) Jubba’iyah; (21) Basyamiyah; (22) Shalihiyah. Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi, merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah. Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.7
Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar).8
Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.9
2. Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.10 Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.11
3. Janji dan ancaman: Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.12
4. Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan): Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.13
5. Amar makruf nahi mungkar: Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku.14
Inilah beberapa pandangan (maqâlât) yang mereka sepakati. Selain itu, pandangan mereka berbeda-beda. Mengenai para tokohnya, antara lain, adalah Ghaylan ad-Dimasyqi dan Washil bin Atha’. Ghaylan terkenal dengan pandangannya tentang al-qadr, sedangkan Washil terkenal dengan pandangannya tentang al-manzilah bayn al-manzilatayn. Abu Hudhail al-‘Allaf dengan muridnya dan Basyar bin al-Mu‘tamir terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud.15 Tokoh lain adalah Abu Ali al-Jubba’i dan al-Khayyath penulis buku al-Intishâr. Tokoh Muktazilah yang terakhir adalah ‘Abd al-Jabbar, murid Abu Hasyim al-Jubba’i, anak Ali al-Jubba’i.16
Selain beberapa pandangan di atas, hal lain yang paling menonjol adalah penggunaan akal sehingga muncul kesan seolah-olah Muktazilah adalah kelompok yang mendewakan akal. Padahal, dalam kasus ini, bisa dikatakan semua ahli kalam menggunakan akal. Bahkan, dalam kasus ini tidak bisa dipilah lagi, mana Muktazilah, Jabariah dan Ahlus Sunnah. Inilah secara umum tentang potret Muktazilah sebagai mazhab akidah.
Dari sini, jelas bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan Muktazilah. Pertama: dalam konteks tauhid, khususnya yang terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir berpandangan, bahwa persoalan sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu, yakni sifat dan zat-Nya adalah sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan zat (mawshûf)-Nya jelas tidak sama, sebagaimana pendapat mazhab Ahlus Sunnah. Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas, karena masing-masing sama-sama berangkat dari asumsi yang dibangun berdasarkan logika mantik, bukan fakta yang sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang Allah jelas tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Karena itu, pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus dihentikan, dengan kata lain, tidak perlu dibahas.
Kedua: dalam konteks keadilan Allah, yang berujung pada hurriyah al-irâdah, tawallud, dan sebagainya, Hizbut Tahrir justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut dengan tepat dan akurat. Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek pembahasan adalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu, diketahui bahwa perbuatan manusia itu ternyata ada dua: mujbar (dipaksa) dan mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam konteks yang pertama, di situlah wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua tidak. Pada wilayah yang kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan karenanya kemudian dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski demikian, dalam konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu terikat dengan sesuatu berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam konteks Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.
Ketiga: masalah manzilah bayna manzilatayn yang sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik, dalam logika Hizb, tidak akan pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibahas oleh akal manusia.
Keempat: tentang pengagungan akal, justru Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal dengan tepat. Persoalan ini notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah, Jabariah maupun Ahlus Sunnah. Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam perdebatan yang tak berujung, termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan Qadar.
Dengan demikian, dari mana logikanya Hizbut Tahrir dikatakan Muktazilah? Jelas tidak ketemu, sebagaimana tuduhan sejenis yang lain, seperti Hizbut Tahrir adalah Wahabi, dan sebagainya. Tuduhan seperti ini mencerminkan dua hal sekaligus: kebodohan dan kejahatan penuduhnya. Dikatakan bodoh, karena jelas dia tidak memahami fakta Muktazilah dan Hizbut Tahrir. Dikatakan jahat, karena kalau dia memahami fakta masing-masing kelompok tersebut, maka tujuannya jelas adalah untuk mengaburkan fakta Hizbut Tahrir, dan menciptakan stigma terhadap Hizbut Tahrir. Tujuannya supaya Hizbut Tahrir dijauhi dan ditinggalkan oleh simpatisan dan masyarakat awam, yang kini tengah berjibaku dengannya untuk mewujudkan kembali kehidupan Islam di tengah-tengah mereka. Artinya, mereka ingin mengeluarkan Hizbut Tahrir dari pergaulan masyarakat, dikucilkan dan bahkan dimusuhi oleh umat. Itulah niat jahat mereka. Wallâhu a‘lam, wahuwa Rabb al-musta‘ân. []
Catatan Kaki:
1 Ibn Manzhur, Lisân, XI/440.
2 Al-Syahrastani, Al-Milal, hlm. 22; al-Jurjani, At-Ta‘rîfât, hlm. 282.
3 Al-Baghdadi, Al-Farq, hlm. 131; asy-Syahrastani, Ibid, hlm. 22.
4 Ibn al-Nadîm, Al-Fihrist, hlm. 282.
5 Al-Baghdâdi, Al-Farq, hlm. 40-41.
6 Al-Nasysyâr, Al-Nasy’ah, I/379.
7 Al-Baghdadi, Ibid, hlm. 131.
8 Al-Khayyath, Al-Intishâr, 12; al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab, VI/23; ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 125-126.
9 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 128-129 dan 131.
10 Abd al-Jabbâr, Syarh al-Ushûl, hlm. 133.
11 Al-Khayyath, al-Intishâr, hlm. 13.
12 Ibid, hlm. 134-135.
13 Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 39-140; al-Khayyath, Al-Intishâr, hlm. 13.
14 Ibid, hlm. 141.
15 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh, hlm. 424; Ibn al-Nadim, Al-Fihrist, hlm. 286-287; al-Asy‘ari, Maqâlât, II/87-88.
16 Keterangan ini sebagaimana ditulis oleh ‘Adnan Muhammad Zarzur, dosen Universitas Damaskus, Syiria, editor buku Mutasyâbih al-Qur’ân, karya ‘Abd al-Jabbar. Lihat: ‘Abd al-Jabbar, Mutasyâbih, hlm. 14.
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/27/hizbut-tahrir-muktazilah/
Jawab:
Pertama, dari jawaban saudara Luqman Al-Bantuly tampaknya orang-orang hizbut tahrir telah menjadi korban distorsi sejarah islam. Sehingga selalu salah paham terhadap islam itu sendiri, sampai akhirnya muncul mental over confident dalam pergaulannya dengan umat islam. Kalau memang apa yang dikemukakan oleh saudara Luqman Al-Bantuly sebagai sosok pemahaman hizbut tahrir, maka ini semakin membuktikan bahwa hizbut tahrir adalah gerakan yang sangat kental pemikiran Mu’tazilahnya. Dimana hizbut tahrir (menurut keterangan Luqman Al-Bantuly) menganggap bahsawanya pembahasan perkara aqidah (baca: tauhid) adalah perkara logika. Dan di anggap pula oleh saudara, bahwa perdebatan antara Ahlus Sunnah dengan Mu’tazilah adalah kesimpangsiuran ilmul kalam di antara keduanya. Saudara Luqman Al-Bantuly rupanya menganggap bahwa ilmul kalam adalah juga merupakan produk ilmu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sama saja dengan Mu’tazilah. Padahal sesungguhnya perkara Aqidah itu bukanlah perkara logika tetapi ia merupakan kepastian ma’rifatullah (pengenalan kepada Allah) dengan bimbingan wahyu dari Allah dalam bentuk Al-Qur’an Was Sunnah.
Maka perdebatan antara Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah, sesungguhnya adalah perdebatan antara logika yang tidak mau dibimbing oleh wahyu, melawan dalil-dalil samawi (Al-Qur’an & As-Sunnah). Sedangkan ilmul kalam bukanlah produk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sama sekali. Bahkan Ahlus Sunnah membantah keras ilmul kalam yang notabene adalah filsafat logika Yunani (Aristoteles) yang digagas oleh mantan tokoh Mu’tazilah yang telah bertaubat yaitu Abul Hasan Al-Asy’ariy (ketika beliau masih bermadzhab Mu'tazilah).
Kedua, saudara Luqman Al-Bantuly tampaknya belum mengerti prinsip Mu’tazilah yang berkenaan dengan tauhid, sehingga saudara tidak terasa telah terjebak dalam pemahaman Mu’tazilah yang sesat. Prinsip tauhid bagi Mu’tazilah yang paling utama adalah menafikan sifat-sifat Allah bagi Dzat-Nya. Sehingga Mu’tazilah ketika membahas sifat-sifat pada Dzat Allah itu, membagi pembahasan tentang Dzat yang terpisah dari pembahasan tentang sifat. Kemudian setelah itu ditanyakan apakah sifat-sifat Allah itu makhluk yang terpisah dari Dzat ataukah sifat-sifat Allah itu bergendengan dengan Dzat. Melakukan pemisahan dalam pembahasan tentang Allah antara sifat dengan Dzat, adalah logika yang absurd. Sehingga berusaha menjawab pertanyaan yang muncul dari logika yang demikian itu adalah satu kesalahan besar. Itulah sebabnya Mu’tazilah terjerumus didalam kesesatan yang berkenaan dengan ma’rifatullah. Dimana mereka mengatakan bahwa sifat Allah adalah makhluk tidak ‘Azali (asalnya tidak ada kemudian menjadi ada), dan yang ‘Azali hanya Dzat Allah yaitu Dzat yang tidak bersifat sehingga mereka termasuk orang yang munafiy lish shifat (menafikan sifat-sifat Allah). Akibatnya mereka menyerupakan Dzat Allah dengan makhluk yaitu mereka menyatakan bahwa Allah asalnya tidak berilmu kemudian menjadi berilmu, Allah asalnya tidak berkuasa kemudian menjadi berkuasa, Allah asalnya tidak mendengar kemudian menjadi mendengar dan demikian seterusnya berkenaan dengan sifat-sifat Allah.
Adapun Ahlus Sunnah memahami Dzat Allah sesuai dengan berita tentang-Nya didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yaitu bahwa pembahasan tentang Dzat Allah tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang sifat Allah. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi pertanyaan tentang apakah Dzat itu terpisah dari sifat-Nya, dan apakah sifat itu makhluk atau bukan. Pembahasan yang ada didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menegaskan bahwa yang dikatakan Dzat Allah itu adalah lengkap dengan segala sifat-sifatNya yang maha sempurna dan tidak terpisah sama sekali dengan sifat-sifatNya yang maha sempurna itu. Dzat dan sifat Allah itu adalah ‘Azali, yakni telah ada sebelum adanya segala makhluk. Maka sifat-sifat Allah yang maha sempurna telah ada sebelum adanya segala makhluk, sebagaimana pula Dzat-Nya telah ada sebelum adanya makhluk.
Karena saudara Luqman Al-Bantuly tidak memahami perbedaan antara Mu’tazilah dengan Ahlus Sunnah seperti ini, akhirnya saudara pun terjatuh pada salah satu aliran Mu’tazilah yaitu aliran Al-Mufawwidhah. Dimana aliran ini menolak membahas tentang sifat-sifat Allah karena di anggap pembahasan itu termasuk perkara yang tidak bisa dipahami, dan aliran ini menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang memberitakan tentang sifat-sifat Allah itu hanyalah bermakna satu makna yaitu memberitakan bahwa Dzat Allah itu ada. Aliran inilah yang logikanya di adopsi oleh saudara Luqman Al-Bantuly dengan sadar ataupun tidak. Ketika anda menyatakan:
“Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas”
Ketiga, saudara Luqman Al-Bantuly juga tidak paham tentang prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkenaan dengan Al-Qadha’ Wal Qadhar. Sehingga tanpa disadari saudara mengadopsi pemikiran Mu’tazilah dari Jubba’iyyah (Abu ‘Ali Al-Jubba’i). Dimana Jubba’iyyah menyatakan bahwa perbuatan manusia itu ada yang mujbar (dipaksa) dan ada yang mukhayyar (tanpa paksaan yakni memilih). Manusia akan dimintai pertanggungan jawaban tentang perbuatannya yang mukhayyar saja dan tidak dimintai pertanggungan jawaban tentang perbuatan yang mujbar. Karena menurut aliran ini bahwa keadilan Allah tidak mungkin meminta pertanggungan jawaban tentang perkara yang mujbar. Dan Allah tidaklah campur tangan dalam perkara perbuatan manusia yang mukhayyar dan Allah tidak menciptakan perbuatan yang mukhayyar itu sehingga manusia-lah sesungguhnya yang menciptakan perbuatan yang mukhayyar itu. Dengan keyakinan yang demikian itu, muncul-lah keyakinan berikutnya bahwa pencipta di alam ini bukan hanya Allah saja, akan tetapi disamping Allah adapula pencipta-pencipta yang lainnya yaitu makhluk yang berakal yang bernama manusia.
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sangat meyakini apa yang Allah beritakan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa satu-satunya pencipta adalah Allah, dan Allah-lah yang menciptakan makhluk ini dan segenap perbuatan makhluk. Maka semua perbuatan makhluk adalah makhluk (diciptakan). Semua perbuatan makhluk itu ditaqdirkan oleh Allah baiknya ataupun buruknya, bahagia ataupun celaka. Disamping itu Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa Allah menciptakan segala perbuatan manusia itu dan menaqdirkannya dengan keadilan serta hikmah-Nya yang maha sempurna. Sehingga tidak mungkin yang diciptakan dan ditaqdirkan oleh Allah itu keliru pasang atau pun melenceng dari kemestiannya. Maha suci Allah dari segala kedzaliman dan kekhilafan.
Dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meyakini pula bahwa Allah menurunkan syari’ah-Nya untuk ditaati oleh manusia dan jin. Dan inti daripada syari’ah itu ialah perintah Allah kepada kita untuk berusaha serta berjuang mencapai keridha’an Allah dan menjauhkan diri dari kemurkaan Allah. Usaha dan perjuangan demikian ini didalam syari’at Allah dinamakan Al-Jihadu Fii Sabilillah.
Bila ada orang yang bertanya kepada Ahlus Sunnah: “Apakah kalian meyakini bahwa segala gerak-gerik manusia itu telah ditaqdirkan oleh Allah?” Jawaban Ahlus Sunnah menyatakan: “Yaa kami meyakini, bahwa segala gerak-gerak manusia dan jin serta seluruh alam ini telah ditaqdirkan oleh Allah”.
Bila ada orang bertanya lagi: “Mengapa kalian berjihad fii sabilillah kalau memang kalian meyakini bahwa semua sudah ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala?” Jawaban Ahlus Sunnah menyatakan: “Kami berjihad fii sabilillah karena mentaati perintah syari’at Allah (yaitu perintahnya untuk berjihad), meskipun kami yakin bahwa segala nasib kami di masa depan dan sekarang telah di taqdirkan oleh Allah Ta’ala. Kami meyakini bahwa taqdir Allah meliputi segala yang terjadi di masa sekarang ataupun yang akan datang, karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memberitakan yang demikian itu didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dengan keyakinan itu pula kami berjihad fii sabilillah adalah karena kami mentaati perintah syari’at Allah didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menolak klasifikasi perbuatan manusia dengan mujbar dan mukhayyar sebagaimana yang di ajarkan oleh Abu ‘Ali Al-Jubba’i tokoh Mu’tazilah yang kemudian di adopsi oleh saudara Luqman Al-Bantuly dan Hizb-nya.
Ke-empat, saudara Luqman Al-Bantuly dengan Hizbut tahrir-nya juga tidak mengerti prinsip Mu’tazilah berkenaan dengan Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar sehingga logika Mu’tazilah sangat kental dalam visi dan misi gerakan Hizbut tahrir. Prinsip Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar menurut pandangan Mu’tazilah ialah menyatakan keharusan untuk menggulingkan pemerintahan muslimin yang manapun ketika terdapat pada mereka kesalahan dan kekurangan. Prinsip ini di adopsi oleh Mu’tazilah dari ajaran khawarij yang menganggap bahwa orang islam yang berbuat kesalahan maka dia termasuk dalam kategori “tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan” yang berarti keluar dari islam. Dengan dasar pandang seperti inilah maka Mu’tazilah menganggap bahwa pemerintah-pemerintah muslimin didunia ini bukanlah pemerintah islam karena mempunyai kekeliruan dan kesalahan. Oleh karena itu dalam rangka Al-Amru Bil Ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) atau dengan kata lain menegakkan syari’at Allah di muka bumi. Dan juga dalam rangka An-Nahyu ‘Anil Munkar (mencegah kemungkaran) atau dengan kata lain memberantas penyimpangan dari syari’at islam. Maka dalam rangka itu semua Mu’tazilah mengajarkan prinsip pemberontakan terhadap pemerintah muslimin untuk menyingkirkan pemerintah-pemerintah tersebut dan menggantinya dengan pemerintahan islam menurut madzhab mereka.
Hal inilah pula yang menjadi dasar pandang perjuangan Hizbut tahrir dalam apa yang mereka namakan perjuangan menegakkan khilafah islamiyah didunia. Mereka membagi tahapan pergerakannya dalam beberapa tahap. Tahap pertama yaitu sosialisasi konsep khilafah islamiyah dikalangan umat islam menurut prinsip Hizbut tahrir. Tahap kedua yaitu aksi penggalangan massa untuk merebut kekuasaan diberbagai wilayah didunia. Tahap ketiga yaitu proklamasi berdirinya khilafah islamiyah dengan melakukan integrasi politik pemerintah-pemerintah dunia yang telah dikuasai oleh Hizbut tahrir.
Adapun prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Al-Amru Bil Ma’ruf Wa Nahyu ‘Anil Munkar ialah bahwa Al-Amru Bil Ma’ruf harus dimulai dari perkara yang telah dimulai daripadanya dalam sejarah perjuangan para Nabi dan para Rasul. Yaitu mengajarkan tauhidul ‘ibadah yakni mentauhidkan Allah dalam segenap peribadatan berdasarkan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satuNya pencipta dan penguasa serta pemilik dan pengatur alam ini (Tauhidur Rububiyah) dan juga keyakinan bahwa Allah satu-satuNya Dzat yang memiliki segala sifat-sifat kesempurnaan yang mutlak dan berbeda dengan segenap makhlukNya yang mana pun (Tauhid Al-Asma’ Wash Shifat). Adapun An-Nahyu ‘Anil Munkar juga harus dimulai perkara yang telah dimulai daripadanya dalam sejarah perjuangan para Nabi dan para Rasul yaitu mencegah dan memberantas segala bentuk kemusyrikan dan membersihkan keyakinan umat manusia dari segala noda-noda syirik. Kemudian setelah itu dakwah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah membimbing dan mempelopori ummat untuk mempersembahkan sebaik-baik ibadah bagi Allah dengan keikhlasan yang murni untuk-Nya dan semangat ittiba’ (mengikuti) tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dengan murni dan konsekuen. Maka Ahlus Sunnah berjuang untuk memberantas musuh “Al-Ikhlash” yaitu “Asy-Syirik” dan musuh “As-Sunnah” yaitu “Al-Bid’ah”. Dakwah Ahlus Sunnah juga mengkampanyekan dan mempelopori pendidikan akhlaqul karimah dalam segala aspek kehidupan didunia. Apakah akhlaq penguasa terhadap rakyatnya atau sebaliknya, dan akhlaq rakyat terhadap sesamanya dan segala akhlaq yang berkenaan dengan kehidupan didunia ini. Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mencegah manusia dari segala bentuk kemaksiatan dan segala mafsadah (kerusakan) untuk mencapai kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat. Dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah tersebut (1) sangat mengutamakan kemaslahatan ummat diatas segala kemaslahatan pribadi. Ahlus Sunnah berupaya menghindari segala bentuk mafsadah yang dapat mengancam kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Maka Ahlus Sunnah sangat menentang segala konsep pemberontakan terhadap pemerintah-pemerintah muslimin. Sebaliknya Ahlus Sunnah sangat menganjurkan dan mendidik kaum muslimin untuk bersabar dalam menghadapi berbagai kekurangan dan kelemahan pemerintahan. Dengan terus menasehati pemerintahnya dan menjunjung tinggi kewibawaan pemerintahnya. Karena sejelek-jelek pemerintahan muslimin, tetap lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali.
Pemerintahan yang baik itu menurut prinsip Al-Qur’an dan As-Sunnah, hanya bisa dibentuk dari bangsa yang baik pula, maka dari itu yang harus diperbaiki adalah bangsa-bangsa muslimin, baru setelah itu Allah akan membangkitkan pemerintahan muslimin yang sebaik-baiknya.
Sebagai penutup saya mengajak saudara Luqman Al-Bantuly dan kawan-kawan untuk segera meninggalkan gerakan hura-hura Hizbut tahrir yang hanya akan membuang-buang waktu dan umur kalian dengan sia-sia. Berpalinglah kalian kepada warisan Salafus Shalih yang akan mencerahkan pemahaman kalian tentang islam untuk mengamalkannya. Sibukkanlah kalian untuk belajar mengenai Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih yang kemudian menyelamatkan masa depan kalian didunia dan diakhirat. Semoga Allah membimbing kita semua ke jalan yang di ridhai-Nya. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad dan keluarganya serta para shahabatnya.
(1) Baca artikel "Berkenalan Dengan Manhaj Salaf"
Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib
http://www.alghuroba.org/forum/viewtopic.php?t=25
--: TOP :--
8 Responses to " Jawaban Untuk HTI"
pegel linux
02 Sep 2008 at 06:26:25
sebaik baik umat adalah pada generasi rosulullah, para sahabat, thabiin, tabiit thabiin.
lalu kepada siapa kita akan mencontoh ?
dLiya athifah
26 Aug 2008 at 10:15:00
ana juga menanti kebenaran dan kritikan buat PKS mungkin akan g jauh2beda dengan HTI.jazakillah khair
Abu Salman
22 Aug 2008 at 06:25:55
Kepada saudaraku "someone". cobalah anda renungkan dan cermati, semoga Alloh merahmati anda. Dari sekian banyak harokah yang ada di dunia ini yang mereka berjalan dengan caranya masing2 dan bukan mengikuti contoh Rosululloh, baik yang telah lama bergerak maupun yang baru. Tidak ada satupun diantara mereka yang "berhasil" mewujudkan apa yang mereka cita2kan. Sementara Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wa Sallam mampu dengan izin Alloh mendirikan daulah Islam dalam waktu 13 tahun di Madinah. Maka timbul pertanyaan, apakah Islam-nya yang salah ataukah cara yang anda dan harokah2 lainnya jalani itu yang salah. Maka jawabannya pasti Islam tidak akan salah. Maka kesalahan terjatuh kepada siapa? Cobalah saudaru someone jawab dengan memohon petunjuk kepada Alloh.
sendy
18 Aug 2008 at 04:18:48
saudara muhhammad rahimakumulloh salafy mengungkapkan kesesatan ini dan itu bukan dalam rangka benci kepada seseorang atau golongan (dalam hal ini HTI). tapi salafyin mengungkapkan kesesatan manhaj justru karena rasa cinta kasih kami terhadap kaum muslimin. masa salafy suka menebar rasa benci (kami tidak serendah itu) kami ingin semua muslimin mengikuti manhajnya para sahabat. dan kenapa kami suka membuka kesesatan pemikiran tokoh tertentu, yaitu agar tokoh tersebut tidak dikirimi dosa oleh para pengikutnya. jadi intinya salafy diajarkan untuk selalu bersikap rahmah
Fikri Abul Hassan
07 Aug 2008 at 05:46:56
Saudara Someone semoga Allah merahmati anda. Perlu saudara ketahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam telah meletakkan satu prinsip metodologi beragama: "Barangsiapa yang beramal (berjuang) dengan satu amalan (perjuangan) yang bukan dari ajaran (cara dan sistem pemahaman) kami, maka tertolak". (HR. Muslim) "Apa yang aku larang kalian darinya, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Maka setiap cara, metode atau sistem pemahamahan yang bertentangan dengan cara perjuangan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam dan para shahabatnya tuntunkan, maka tertolak dan sebagai satu amalan sia-sia walaupun di niatkan ikhlas untuk Allah semata. Hal yang perlu diingat dalam memahami agama Allah ini adalah kepastian dari Allah Ta`ala dan Rasul-Nya bahwa Islam adalah agama Allah yang telah sempurna segala bidangnya dan tidak membutuhkan tambahan sistem, cara atau metode dari selain Allah dan Rasul-Nya di semua tempat di dunia ini dan di segala zaman. Allah Ta`ala telah menegaskan kesempurnaan agama-Nya yang berarti juga kesempurnaan nikmat-Nya kepada kita: "Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah sempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah restui Islam menjadi agama bagi kalian". (Al-Ma'idah: 3). Al-Imam Al-Hafidz Abul Fida' Isma'il bin Katsir Al-Qurasyi ketika menerangkan ayat ini menyatakan: "Ini adalah nikmat Allah yang paling besar terhadap ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak lagi memerlukan agama lainnya, dan tidak pula memerlukan Nabi lainnya selain Nabi Muhammad shalawatullah wa salamuhu 'alaihi. Oleh karena itu Allah jadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan Allah utus beliau kepada segenap manusia dan jin. Maka tidaklah dikatakan sesuatu itu sebagai perkara yang halal, kecuali apa yang telah dihalalkan olehnya. Demikian pula sesuatu itu tidaklah dikatakan sebagai perkara yang haram, kecuali apa yang telah diharamkan olehnya. Juga tidaklah dinamakan agama, kecuali apa yang telah disyari'atkannya. Dan segala perkara yang diberitakan olehnya, maka telah pasti dia itu adalah benar dan jujur, serta tidak ada unsur dusta dan tidak pula ada unsur membikin-membikin berita tentang apa yang tidak pernah terjadi. Alhasil jika kita masih saja bersikukuh menggunakan konsep, cara atau sistem pemahaman yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wasallam dan para shahabatnya tuntunkan, maka secara tidak langsung kita telah menganggap bahwa Islam belum sempurna, wal 'iyadzubillah. Yaa memang setiap muslim bersaudara, dan sebagai bentuk ekspresi persaudarannya yakni dengan saling berwasiat kepada kebenaran dan saling berwasiat kepada kesabaran. Sehingga dengan demikian kita tidak termasuk orang-orang bersaudara yang merugi sebagaimana yang telah Allah beritakan dalam surat Al-'Ashr, wallahul muwaffiq.