nurcahyo
New member
Pengalaman dengan demam berdarah
dr Amir H Rahim Spa, Suara Pembaruan 20 Oktober 2005
Di negara kita, setiap tahun berita kejangkitan demam berdarah selalu menghebat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita. Bukan hanya di Jakarta, hampir semua wilayah Nusantara melaporkan adanya peningkatan wabah. Penyakit ini endemik di negara kita. Sepanjang tahun, selalu ada yang terkena penyakit itu dalam jumlah kecil, namun pada bulan tertentu kasusnya meningkat tajam.
Yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat kenapa peristiwa itu selalu berulang setiap tahun, tanpa ada penurunan kasus, malah yang terjadi justru peningkatan. Salah kita di mana? Padahal penyakit itu dapat dicegah. Pertanyaan lain: kenapa dokter seolah sering salah diagnosis atau terlambat mengetahui bahwa seorang pasien sudah terserang penyakit yang menakutkan itu?
Dunia sudah mengenal demam berdarah dengue (DBD) sejak 50 tahun yang lalu. Upaya pencegahan dan penanganan sudah dilakukan di berbagai negara. Penelitian yang mendalam juga sudah berjalan sampai sekarang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai program luas yang diterapkan di mana-mana. Namun faktanya, negara-negara endemik masih merasa kesulitan membendung penyakit ini sampai sekarang. Indonesia dan Thailand sejak lama sudah menciptakan program yang dianggap cukup matang , tetapi ternyata hasilnya belum memuaskan.
Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968. Akhirnya, diketahui DBD sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara dan insidennya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menurut pencatatan yang dilakukan secara nasional, kejadian tiap tahun berkisar antara bulan Februari sampai September, dengan puncak pada Desember atau Januari, saat datangnya musim hujan. Catatan tersendiri untuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, musim penularannya adalah Maret sampai Agustus dengan puncak Juni dan Juli.
Program pemberantasan DBD di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1979, melalui kegiatan pengamatan, pengobatan penderita, serta penyemprotan sarang nyamuk. Kalau ditemukan penderita di suatu tempat, maka pada area 100 meter dari tempat tersebut dilakukan penyemprotan yang intensif (fogging focus). Unit-unit pemberantasan dibentuk pula di setiap provinsi dan kabupaten/kota, kemudian dikembangkan pula upaya abetisasi di daerah perkotaan yang dinyatakan sebagai daerah endemisi tinggi. Selain itu, dalam kampanye kepada masyarakat telah disosialisasikan semboyan 3M (menutup, menguras, dan mengubur).
Pengalaman lebih kurang 25 tahun bekerja di salah satu rumah sakit besar di Jakarta, sarat dengan kesedihan dan kepedihan dalam menangani kasus DBD. Sebagian besar penderita dapat tertolong, namun korban meninggal pun tidak terhindari. Pemastian diagnosis dini dari penyakit DBD tidaklah mudah karena gejala awal penyakit ini sangat mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Karena itu, perlu observasi yang ketat pada setiap penderita demam tinggi. Apalagi, setelah lebih dari tiga hari pengobatan awal, tidak terlihat perbaikan.
Walaupun kita sudah mempunyai catatan gejala klasik DBD, namun kenyataan di lapangan sering ditemukan hal-hal lain. Inilah yang sering membingungkan, sehingga anggota masyarakat mengatakan aparat kesehatan terlambat mengambil tindakan, ada anggapan salah diagnosis, dan sebagainya. Banyak faktor yang menyebabkan korban tidak tertolong, misalnya ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau masalah transportasi.
Suatu hal yang wajib menjadi catatan bahwa masa kritis DBD adalah mulai dari hari ketiga sampai hari ketujuh menderita panas badan. Awalnya panas bisa sangat tinggi tetapi setelah tiga hari temperatur tubuh cenderung turun. Malah kadang-kadang turunnya sangat drastis. Ujung jari tangan dan kaki terasa dingin, penderita lesu, sakit perut, muntah, atau tidur saja sepanjang hari.
Kesalahan yang sering terjadi di sini: orangtua menganggap si anak sudah baik karena tidak panas lagi. Padahal yang terjadi penderita sudah memasuki periode preshock atau shock, sehingga saat sampai di rumah sakit sudah sulit ditolong. Hal seperti ini sering ditemui. Bahkan, anak dokter pun ada yang tidak dapat diselamatkan, termasuk karena terserang jenis virus yang begitu ganas (dengue shock syndrom/DSS).
Penanganan
Pada semua wilayah endemis DBD, seyogianya setiap penderita demam tinggi diawasi secara ketat. Apalagi kalau anak datang dengan panas tinggi disertai kejang, harus mendapat perhatian khusus dan pemeriksaan harus diarahkan pada sangkaan DBD. Namun kadang-kadang terjadi sikap berlebihan di masyarakat. Anak yang mengalami panas satu-dua hari, darahnya langsung diperiksa ke laboratorium. Hal itu mungkin tidak perlu dilakukan karena pada hari-hari pertama panas, hasil laboratorium biasanya masih normal.
Setelah hari ketiga, baru ditemukan kelainan. Bahkan, secara klinis pada saat melewati hari ketiga suhu badan penderita menurun dan beberapa saat menjelang itu umumnya jumlah trombosit darah sudah mulai menurun, diikuti dengan meningkatnya kadar hematokrit. Fakta ini memberi petunjuk sudah terjadi kebocoran pembuluh darah, dengan shock dan perdarahan spontan mulai mengancam.
Hal yang penting dilakukan adalah uji serologis. Pada infeksi pertama kali, tubuh manusia langsung membentuk antibodi. Kalau terjadi infeksi virus kedua kali, antibodi (IgM) akan meningkat. Penderita yang mengalami infeksi pertama, antibodinya akan meningkat pada hari kelima. Sedangkan yang mengalami infeksi virus kedua kali, antibodi akan meningkat pada hari kedua. Di sinilah perlunya kejelian dokter untuk menentukan saat yang tepat melakukan pemeriksaan darah. Namun dari semua pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah penilaian klinis dari seorang dokter dan tidak semata tergantung dari hasil pemeriksaan penunjang.
Sejauh ini, pengobatan DBD di rumah sakit lebih bersifat simtomatis karena belum ada obat khusus antivirus DBD (drug of choice). Yang paling penting adalah pemberian cairan infus secepatnya dengan segera agar dapat mengimbangi kehilangan cairan di dalam pembuluh darah akibat kebocoran yang terjadi pada pembuluh darah itu sendiri. Tidak mungkin menangani penyakit DBD, tanpa pemberian cairan infus. Obat lain, seperti antibiotika, hanya tergantung keperluan. Yang perlu dicatat di sini bahwa tidak semua penderita DBD harus diberikan suspensi trombosit karena dalam waktu singkat akan dihancurkan oleh virus itu sendiri. Umumnya trombosit baru diberikan kalau kadar yang ada sudah sangat rendah disertai perdarahan spontan. Demikian pula jenis cairan infus yang dipakai berbeda, tergantung berat dan kondisi penyakit.
Pada tahap awal dinamakan periode resusitasi. Jenis cairan yang diberikan tergantung keadaan. Awalnya diberikan cairan infus jenis kristaloid. Kalau terjadi perburukan dan shock mengancam, cairan diganti dengan jenis koloid (albumin, plasma darah, darah segar, dan cairan yang sejenis). Selanjutnya, kalau masa kritis sudah dilewati, cairan infus mulai dikurangi atau diganti dengan jenis cairan yang mengandung elektrolit dan nutrisi. Jadi pada fase pertama, kita mengganti kehilangan akut cairan tubuh dan fase kedua memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Jadi jelas, keberhasilan menolong dan mengobati penderita DBD sangat tergantung dari ketajaman diagnosis, kecepatan membawa pasien ke pusat pelayanan kesehatan, kecepatan dan ketepatan bertindak di rumah sakit. Namun yang sangat menentukan pula adalah tingkat keganasan virus yang menyerang. Sebagai penutup tulisan ini, saya tegaskan bahwa semua penderita DBD harus mendapat perawatan di rumah sakit.
Rumah sakit rujukan wilayah fungsinya bukan hanya kuratif tetapi preventif. Secara periodik kami mengadakan kursus-kursus penyegaran buat para perawat ataupun dokter Puskesmas. Sekaligus diadakan pelatihan-pelatihan untuk tindakan emergensi baik untuk kalangan tenaga interen Rumah sakit sendiri maupun Puskesmas .
Sedangkan untuk keluarga dan famili penderita yang dirawat diberikan surat keterangan dari Rumah sakit yang harus mereka sampaikan kepada kelurahan dan Puskesmas diwilayah mereka dengan harapan dapat segera dilakukan penyemprotan atau tindakan priventif lainnya. Dengan metode seperti ini tentu akan dapat menurunkan insiden penyakit DBD. Mungkin dalam pelaksanaan dilapangan ada kesulitan sehingga sistem tidak berjalan dengan baik. *
Penulis adalah dokter spesialis anak yang kini bekerja RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta
dr Amir H Rahim Spa, Suara Pembaruan 20 Oktober 2005
Di negara kita, setiap tahun berita kejangkitan demam berdarah selalu menghebat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita. Bukan hanya di Jakarta, hampir semua wilayah Nusantara melaporkan adanya peningkatan wabah. Penyakit ini endemik di negara kita. Sepanjang tahun, selalu ada yang terkena penyakit itu dalam jumlah kecil, namun pada bulan tertentu kasusnya meningkat tajam.
Yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat kenapa peristiwa itu selalu berulang setiap tahun, tanpa ada penurunan kasus, malah yang terjadi justru peningkatan. Salah kita di mana? Padahal penyakit itu dapat dicegah. Pertanyaan lain: kenapa dokter seolah sering salah diagnosis atau terlambat mengetahui bahwa seorang pasien sudah terserang penyakit yang menakutkan itu?
Dunia sudah mengenal demam berdarah dengue (DBD) sejak 50 tahun yang lalu. Upaya pencegahan dan penanganan sudah dilakukan di berbagai negara. Penelitian yang mendalam juga sudah berjalan sampai sekarang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai program luas yang diterapkan di mana-mana. Namun faktanya, negara-negara endemik masih merasa kesulitan membendung penyakit ini sampai sekarang. Indonesia dan Thailand sejak lama sudah menciptakan program yang dianggap cukup matang , tetapi ternyata hasilnya belum memuaskan.
Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968. Akhirnya, diketahui DBD sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara dan insidennya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menurut pencatatan yang dilakukan secara nasional, kejadian tiap tahun berkisar antara bulan Februari sampai September, dengan puncak pada Desember atau Januari, saat datangnya musim hujan. Catatan tersendiri untuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, musim penularannya adalah Maret sampai Agustus dengan puncak Juni dan Juli.
Program pemberantasan DBD di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1979, melalui kegiatan pengamatan, pengobatan penderita, serta penyemprotan sarang nyamuk. Kalau ditemukan penderita di suatu tempat, maka pada area 100 meter dari tempat tersebut dilakukan penyemprotan yang intensif (fogging focus). Unit-unit pemberantasan dibentuk pula di setiap provinsi dan kabupaten/kota, kemudian dikembangkan pula upaya abetisasi di daerah perkotaan yang dinyatakan sebagai daerah endemisi tinggi. Selain itu, dalam kampanye kepada masyarakat telah disosialisasikan semboyan 3M (menutup, menguras, dan mengubur).
Pengalaman lebih kurang 25 tahun bekerja di salah satu rumah sakit besar di Jakarta, sarat dengan kesedihan dan kepedihan dalam menangani kasus DBD. Sebagian besar penderita dapat tertolong, namun korban meninggal pun tidak terhindari. Pemastian diagnosis dini dari penyakit DBD tidaklah mudah karena gejala awal penyakit ini sangat mirip dengan penyakit infeksi lainnya. Karena itu, perlu observasi yang ketat pada setiap penderita demam tinggi. Apalagi, setelah lebih dari tiga hari pengobatan awal, tidak terlihat perbaikan.
Walaupun kita sudah mempunyai catatan gejala klasik DBD, namun kenyataan di lapangan sering ditemukan hal-hal lain. Inilah yang sering membingungkan, sehingga anggota masyarakat mengatakan aparat kesehatan terlambat mengambil tindakan, ada anggapan salah diagnosis, dan sebagainya. Banyak faktor yang menyebabkan korban tidak tertolong, misalnya ketidaktahuan, ketidakmampuan, atau masalah transportasi.
Suatu hal yang wajib menjadi catatan bahwa masa kritis DBD adalah mulai dari hari ketiga sampai hari ketujuh menderita panas badan. Awalnya panas bisa sangat tinggi tetapi setelah tiga hari temperatur tubuh cenderung turun. Malah kadang-kadang turunnya sangat drastis. Ujung jari tangan dan kaki terasa dingin, penderita lesu, sakit perut, muntah, atau tidur saja sepanjang hari.
Kesalahan yang sering terjadi di sini: orangtua menganggap si anak sudah baik karena tidak panas lagi. Padahal yang terjadi penderita sudah memasuki periode preshock atau shock, sehingga saat sampai di rumah sakit sudah sulit ditolong. Hal seperti ini sering ditemui. Bahkan, anak dokter pun ada yang tidak dapat diselamatkan, termasuk karena terserang jenis virus yang begitu ganas (dengue shock syndrom/DSS).
Penanganan
Pada semua wilayah endemis DBD, seyogianya setiap penderita demam tinggi diawasi secara ketat. Apalagi kalau anak datang dengan panas tinggi disertai kejang, harus mendapat perhatian khusus dan pemeriksaan harus diarahkan pada sangkaan DBD. Namun kadang-kadang terjadi sikap berlebihan di masyarakat. Anak yang mengalami panas satu-dua hari, darahnya langsung diperiksa ke laboratorium. Hal itu mungkin tidak perlu dilakukan karena pada hari-hari pertama panas, hasil laboratorium biasanya masih normal.
Setelah hari ketiga, baru ditemukan kelainan. Bahkan, secara klinis pada saat melewati hari ketiga suhu badan penderita menurun dan beberapa saat menjelang itu umumnya jumlah trombosit darah sudah mulai menurun, diikuti dengan meningkatnya kadar hematokrit. Fakta ini memberi petunjuk sudah terjadi kebocoran pembuluh darah, dengan shock dan perdarahan spontan mulai mengancam.
Hal yang penting dilakukan adalah uji serologis. Pada infeksi pertama kali, tubuh manusia langsung membentuk antibodi. Kalau terjadi infeksi virus kedua kali, antibodi (IgM) akan meningkat. Penderita yang mengalami infeksi pertama, antibodinya akan meningkat pada hari kelima. Sedangkan yang mengalami infeksi virus kedua kali, antibodi akan meningkat pada hari kedua. Di sinilah perlunya kejelian dokter untuk menentukan saat yang tepat melakukan pemeriksaan darah. Namun dari semua pemeriksaan laboratorium yang paling penting adalah penilaian klinis dari seorang dokter dan tidak semata tergantung dari hasil pemeriksaan penunjang.
Sejauh ini, pengobatan DBD di rumah sakit lebih bersifat simtomatis karena belum ada obat khusus antivirus DBD (drug of choice). Yang paling penting adalah pemberian cairan infus secepatnya dengan segera agar dapat mengimbangi kehilangan cairan di dalam pembuluh darah akibat kebocoran yang terjadi pada pembuluh darah itu sendiri. Tidak mungkin menangani penyakit DBD, tanpa pemberian cairan infus. Obat lain, seperti antibiotika, hanya tergantung keperluan. Yang perlu dicatat di sini bahwa tidak semua penderita DBD harus diberikan suspensi trombosit karena dalam waktu singkat akan dihancurkan oleh virus itu sendiri. Umumnya trombosit baru diberikan kalau kadar yang ada sudah sangat rendah disertai perdarahan spontan. Demikian pula jenis cairan infus yang dipakai berbeda, tergantung berat dan kondisi penyakit.
Pada tahap awal dinamakan periode resusitasi. Jenis cairan yang diberikan tergantung keadaan. Awalnya diberikan cairan infus jenis kristaloid. Kalau terjadi perburukan dan shock mengancam, cairan diganti dengan jenis koloid (albumin, plasma darah, darah segar, dan cairan yang sejenis). Selanjutnya, kalau masa kritis sudah dilewati, cairan infus mulai dikurangi atau diganti dengan jenis cairan yang mengandung elektrolit dan nutrisi. Jadi pada fase pertama, kita mengganti kehilangan akut cairan tubuh dan fase kedua memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Jadi jelas, keberhasilan menolong dan mengobati penderita DBD sangat tergantung dari ketajaman diagnosis, kecepatan membawa pasien ke pusat pelayanan kesehatan, kecepatan dan ketepatan bertindak di rumah sakit. Namun yang sangat menentukan pula adalah tingkat keganasan virus yang menyerang. Sebagai penutup tulisan ini, saya tegaskan bahwa semua penderita DBD harus mendapat perawatan di rumah sakit.
Rumah sakit rujukan wilayah fungsinya bukan hanya kuratif tetapi preventif. Secara periodik kami mengadakan kursus-kursus penyegaran buat para perawat ataupun dokter Puskesmas. Sekaligus diadakan pelatihan-pelatihan untuk tindakan emergensi baik untuk kalangan tenaga interen Rumah sakit sendiri maupun Puskesmas .
Sedangkan untuk keluarga dan famili penderita yang dirawat diberikan surat keterangan dari Rumah sakit yang harus mereka sampaikan kepada kelurahan dan Puskesmas diwilayah mereka dengan harapan dapat segera dilakukan penyemprotan atau tindakan priventif lainnya. Dengan metode seperti ini tentu akan dapat menurunkan insiden penyakit DBD. Mungkin dalam pelaksanaan dilapangan ada kesulitan sehingga sistem tidak berjalan dengan baik. *
Penulis adalah dokter spesialis anak yang kini bekerja RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta