nurcahyo
New member
Pengamat: Perhatikan "Soft Power" China
Kapanlagi.com - Kebangkitan China kini lebih banyak dikaitkan orang dengan pertumbuhan kemampuan militernya, ketimbang soft power atau kekuatan lunak yang juga dikembangkan negara tersebut, kata seorang pengamat.
"Kita harus melihat China tidak hanya berdasarkan hard power tetapi juga soft power-nya," kata Ketua Pusat Studi China, I Wibowo dalam acara Diskusi bertajuk "Kemitraan Strategis RI-RRC: Tindak Lanjut Kongkrit dan Prospek ke Depan" di Jakarta, Kamis (07/12).
Menurut dia, pada kekuatan lunak tidak dipakai kekuatan militer melainkan bujukan atau daya tarik. Baik kekuatan keras maupun lunak memiliki tujuan yang sama yaitu membuat pihak lain tunduk.
Ia mengungkapkan, China mengambil serangkaian tindakan untuk mengembangkan kekuatan lunaknya, di antaranya negara Tirai Bambu itu berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan negara lain sebanyak mungkin.
"Kini, dapat dikatakan China berhasil mengurangi jumlah negara yang memusuhinya. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah dirangkulnya, begitu pula Rusia yang sewaktu masih berbentuk Uni Soviet menjadi 'musuh besar'-nya," ujar Wibowo yang juga pengajar di FIB UI.
Selain itu, lanjutnya, China menawarkan berbagai bantuan keuangan kepada sejumlah negara berkembang. Bantuan tersebut terasa menarik karena negara Tirai Bambu itu tidak menetapkan syarat yang ketat seperti yang dituntut World Bank atau negara maju.
Ia mengatakan, China juga terkenal karena menjadi model pembangunan alternatif yang disebut "Konsensus Beijing", yang tidak menerapkan sistem pasar murni ala neo-liberal dalam pengelolaan ekonominya.
Namun, Wibowo mengemukakan bahwa sejumlah pakar menganggap kekuatan lunak China masih mengalami defisit karena kurangnya unsur demokrasi dalam negara tersebut.
Sementara itu, pembicara lainnya mantan Duta Besar RI untuk RRC, Juwana mengatakan, sangat penting bagi Indonesia untuk mencari mekanisme dialog bilateral dan multilateral yang cocok dalam menghadapi China yang kerap dianggap sebagai salah satu kekuatan besar di dunia.
Peneliti senior dari CSIS, Jusuf Wanandi mengemukakan, untuk mencari mekanisme yang cocok itu diantaranya dapat dilakukan dengan mengadakan dialog antar "think tank" di kedua negara tersebut.
Kapanlagi.com - Kebangkitan China kini lebih banyak dikaitkan orang dengan pertumbuhan kemampuan militernya, ketimbang soft power atau kekuatan lunak yang juga dikembangkan negara tersebut, kata seorang pengamat.
"Kita harus melihat China tidak hanya berdasarkan hard power tetapi juga soft power-nya," kata Ketua Pusat Studi China, I Wibowo dalam acara Diskusi bertajuk "Kemitraan Strategis RI-RRC: Tindak Lanjut Kongkrit dan Prospek ke Depan" di Jakarta, Kamis (07/12).
Menurut dia, pada kekuatan lunak tidak dipakai kekuatan militer melainkan bujukan atau daya tarik. Baik kekuatan keras maupun lunak memiliki tujuan yang sama yaitu membuat pihak lain tunduk.
Ia mengungkapkan, China mengambil serangkaian tindakan untuk mengembangkan kekuatan lunaknya, di antaranya negara Tirai Bambu itu berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan negara lain sebanyak mungkin.
"Kini, dapat dikatakan China berhasil mengurangi jumlah negara yang memusuhinya. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah dirangkulnya, begitu pula Rusia yang sewaktu masih berbentuk Uni Soviet menjadi 'musuh besar'-nya," ujar Wibowo yang juga pengajar di FIB UI.
Selain itu, lanjutnya, China menawarkan berbagai bantuan keuangan kepada sejumlah negara berkembang. Bantuan tersebut terasa menarik karena negara Tirai Bambu itu tidak menetapkan syarat yang ketat seperti yang dituntut World Bank atau negara maju.
Ia mengatakan, China juga terkenal karena menjadi model pembangunan alternatif yang disebut "Konsensus Beijing", yang tidak menerapkan sistem pasar murni ala neo-liberal dalam pengelolaan ekonominya.
Namun, Wibowo mengemukakan bahwa sejumlah pakar menganggap kekuatan lunak China masih mengalami defisit karena kurangnya unsur demokrasi dalam negara tersebut.
Sementara itu, pembicara lainnya mantan Duta Besar RI untuk RRC, Juwana mengatakan, sangat penting bagi Indonesia untuk mencari mekanisme dialog bilateral dan multilateral yang cocok dalam menghadapi China yang kerap dianggap sebagai salah satu kekuatan besar di dunia.
Peneliti senior dari CSIS, Jusuf Wanandi mengemukakan, untuk mencari mekanisme yang cocok itu diantaranya dapat dilakukan dengan mengadakan dialog antar "think tank" di kedua negara tersebut.