Perang Melawan Terorisme

imnanay

New member
Perang Melawan Terorisme





Masyarakat Indonesia, bahkan dunia, kembali dikejutkan oleh ulah teroris yang menyerang Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Sumatera Utara. Betapa tidak, selain menggunakan pola baru, yaitu menyerang dengan senjata (bukan bom), kelompok itu seolah-olah juga menunjukkan kekuatan dan kemampuan aktual mereka.

Seberapa kuat dan setinggi apakah kemampuan mereka? Tanpa bermaksud membesar-besarkan masalah, apalagi menakut-nakuti, tulisan ini justru diharapkan dapat menjadi panggilan untuk membangunkan (wake up call) bagi masyarakat luas, terutama pemerintah, DPR, lembaga yudikati termasuk aparat keamanan.

Analisis postur
Ditilik dari aspek kekuatan, keterangan resini Polri mengatakan, teroris menggunakan enam sepeda motor dan satu mobil Kijang Innova. Dari jumlah kendaraan yang digunakan, dapat diperkirakan personel teroris yang terlibat langsung di tempat kejadian perkara (TKP) kira-kira 15 orang. Namun, di luar TKP tentu dikerahkan juga kelompok lain yang berfungsi sebagai pos tinjau serta penutup. Dengan begitu, cukup rasional jika diperkirakan yang terlibat sedikitnya 25 orang.

Kekuatan sejata yang digunakan biasanya di bawah kekuatan personel, tetapi tak akan jauh dari jumlah itu. Jenis selongsong peluru yang didapat di TKP menunjukkan mereka menggunakan senjata laras panjang dari jenis AK-47, M-16, SS-1, dan pistol FN. Di luar kekuatan yang terlibat langsung, pasti masih tersimpan pula kekuatan lainnya, dalam dunia iniliter biasanya dikalkulasi berjumlah tiga kali lipat.

Mengukur kemampuan teknis iniliternya dapat diihat dari basil rekaman CCTV saat perampokan Bank CIMB. Di
sini jelas terlihat ketangkasan gerakan perseorangan mereka yang terlatih dengan baik. Secara taktis iniliter pun tampak terorganisasi dengan rapi, baik dalam aksi perampokan bank maupun penyergapan (raid.) Mapolsek Hamparan Perak. Dalam aksi di kedua tempat terlihat jelas ada kelompok penyergap, pengaman, dan penutup sesuai standar taktis iniiter profesional.

Beberapa pengamat menyimpulkan bahwa penyergapan di Hamparan Perak merupakan aksi balas dendam atas gebrakan Densus 88 dua hari sebelumnya yang berhasil menewaskan tiga teroris serta menangkap 20 orang lainnya.

Kalau kesimpulan ini benar, berarti mereka mengembangkan rencana penyergapan hanya dalam dua hari. Padahal, proses perencanaan seperti itu setidaknya dilakukan melalui beberapa tahap: pengintaian, pengorganisasian, penentuan cara bertindak, penentuan rate berangkat dan rate pengunduran, penentuan teknis komando dan perhubungan, penentuan teknis menghilangkan jejak, serta rencana logistik. Dengan deinikian, mereka juga telah menunjukkan kelasnya dalam mengembangkan perencanaan taktis.

Hal lain yang biasanya diperhitungkan adalah faktor ketokohan peinimpin. Polri menjelaskan, aksi teroris di Sumut dan Aceh dikendalikan Abu Tholut alias Mustofa. Pria kelahiran Semarang tahun 1961 dan dibesarkan di Medan ini pernah masuk Akadeini Militer Mujahidin di Afganistan pada t987, lalu menjadi instruktur di sana. Pada tahun 1999 dia bertugas mengajar teknik dan taktik muliter di Kamp Hudaibiyah, Moro, Filipina. Dia juga koordinator kerusuhan Poso pada tahun 2000 dan pelaku bom Atrium Senen, Jakarta.

Pernah divonis delapan tahun penjara, tetapi bebas cepat karena mendapat reinisi empat tahun. Riwayat singkat ini mengindikasikan bahwa dia teroris kawakan dan dari lamanya bertugas di berbagai tempat diduga dia meiniliki sejumlah kader yang berhasil direkrutnya. Penggelaran kekuatan teronis di Aceh dan Sumut pasti meiniliki tujuan strategis tertentu serta patut diduga telah tenjadi link up dengan kelompok radical di Thailand selatan, Malaysia, dan Afganistan, yang letaknya berdekatan dengan daerah ini. Sementara gelar kekuatannya secara nasional dapat dilihat dari catatan kronologi aksi teroris di beberapa daerah di Indonesia Mereka juga pasti punya jaring klandestin tergelar luas di Tanah Air.

Rekomendasi
Terorisme di Indonesia telah sampai pada tingkat yang mencemaskan dan tidak munglin dapat diatasi hanya dengan pendekatan hukum semata, tetapi harus melalui pendekatan multiaspek dengan melibatkan semua porensi bangsa, termasuk masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah.

Pertama, segera merealisasi pembentukan Badan Antiteronisme Nasional yang bersifat lintas institusi dengan otoritas dan anggaran memadai. Lembaga ini bentugas merancang, mengoordinasi, dan melaksanakan langkah-langkah preventif ataupun koersif-nepresif terhadap terorisme.

Kedua, menyatukan unit-unit kontrateror yang diiniliki TNI/Polri di bawah satu komando, berkedudukan di bawah Badan Antitenonisme Nasional sehingga akan terjadi efektivitas dalam penggunaan serta efisiensi dalam pembinaannya.

Ketiga, perlu ditinjau kembali pentingnya Indonesia meiniliki Undang-Undang Keamanan Internal semacam ISA di Malaysia atau Patriot Act di AS. Ketakutan bahwa undang-undang ini akan membuka akses bagi pelanggaran HAM sudah tak lagi relevan, mengingat terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan yang memakan korban masal bahkan merusak peradaban, serta secara aktual sudah mengancam kehidupan nasional.

Dengan deinikian, Badan Antiteronisme Nasional atau Polri punya kewenangan melakukan pemeriksaan, penggeledahan, penahanan sementara, dan sebagainya yang sangat diperlukan dalam upaya pencegahan meski bukti permulaan belum cukup. Membiarkan benih terorisme berkeimbang biak sama dengan menumbuhkan “kultur kematian”. Kini saatnya berusaha membangun kesadaran serta kewaspadaan, mari rawe-rawe rantas, malang-malang putung berantas terorisme.

Oleh : KIKI SYAHNAKRI
Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat

Kompas, Jakarta 27 September 2010
 
Back
Top