2nd.
Kulangkahkan kakiku menuju meja Bartender, Orang yang kucari telah berada disana, bagus, jadi aku tidak usah berlama-lama menunggu nya seperti kemarin.
Night Club, Apa yang menyebabkan ia ingin bertemu di tempat semacam ini? Membuatku menebak nebak salah satu sisi dalam dirinya.
Ia tampak kalut, menelungkupkan kepalanya pada meja, sloki kecil berisi minuman berbau alkohol yang menyengat terletak tak jauh, aku kembali menebak, ini Hobi-nya? Mabuk, lalu tergeletak seperti orang sinting?
Aku mengerinyitkan kening,
“Soft Drink saja,”
Ia yang semula kusangka telah setengah teler mendadak menoleh kearahku, Mendengar suaraku yang sedang memesan minuman, lagi-lagi menggagalkan niatku untuk menepuk bahunya, Sekedar memberikannya ganjaran,
“Kita bertemu lagi, Ya.” Ucapnya pendek, “Ariana…,Rahadian?”
Aku memperhatikannya yang menyebutkan nama lengkapku, Tanpa menoleh kearahku, seakan akan aku tidak ada dan dia sedang bicara sendiri didunianya, betapa dingin!
“Panggil Riana saja,” saranku, “Dan…, Aku belum tahu nama lengkapmu?”
“Aku tidak punya nama lengkap, Orang-orang disekitarku hanya memanggilku dengan ‘Leo’ saja”
Perlu waktu lama bagiku, sebelum akhirnya aku bertanya lagi,
“Siapa Kau…?”
Betapa terkejutnya aku, Leo tertawa, Alis-nya yang lebat dan nyaris bertaut terlihat sangat elok, Kelihatannya wajah yang Stoic itu baru mengenal ekspresi setelah bibir itu menyentuh minuman keras,
“Apa yang ingin kau tahu sebenarnya? Tentang Penderitaan? Tentang Pekerjaanku?”
“Bukan itu,” jawabku gugup, “Aku…, yang ingin kutahu adalah…”
Jika pertama kali aku yang menunggu, kini malah ia yang menunggu,
Menungguku memberikan jawaban atas pertanyaannya.
“Aku ingin, kau menceritakan tentang pengalaman hidupmu, Awalnya aku memang tertarik pada kepribadianmu, kemisteriusanmu, tapi, jika kupikirkan sekali lagi, bukan itu yang sebenarnya kucari darimu,”
“Jadi?”
“Aku ingin tahu, Tentangmu, Tentang hidupmu, Aku sangat tertarik pada orang-orang yang misterius dan terlihat sarkatis, jadi kuputuskan, aku akan memintamu menjadi narasumber yang berbagi pengalaman denganku,”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ini misterius dan sarkatis?” Ada sedikit nada geli pada suaranya,
Ya, ampun, pertanyaannya begitu banyak! Kalau begini, seperti aku yang diwawancarai, dan bukannya dia!
“Naluriku jarang bermasalah” ucapku dengan jujur dan sedikit PD yang berlebihan, (Membuatku mentertawakan diriku sendiri,) “Percayalah, aku sudah melakukannya berkali-kali, Dan sangat sulit menemukan ‘tebakanku’ meleset,”
“Kau dulu mengatakan kau ini amatir, tapi sekarang kau membanggakan diri sendiri sampai seperti itu.”
“Ini-dan-itu beda!” Sergahku, “Dalam soal pekerjaan, aku memang belum punya nama,” Aku mendesah, pahit, Ya Tuhan, ia bawel dan menyebalkan, “Tapi aku paling mengenal diriku sendiri.”
Hingar bingar musik tidak dapat menyembunyikan betapa muka ku merah padam saat ini, aku seperti mempermalukan diriku dihadapannya,
Tidak jelas mau bicara apa.
Aku memang hanya pernah menulis beberapa cerpen serta cerita bersambung yang dimuat dalam tabloid wanita, Atau beberapa kali memenangkan penghargaan di majalah, tidak penting memang, karena nyaris mustahil ada yang mengingat namaku, tidak lebih, namun sungguh,
Minat maupun keseriusanku dalam bidang ini tidak usah diragukan lagi.
Hanya inilah hiburanku,
Kesungguhanku, tempatku melarikan diri.
Menghibur diriku sendiri.
Terutama tahun tahun belakangan ini…
Suasana diantara kami hening sesaat, tidak ada yang berbicara,
Tepat pada saat musik berganti dengan nada-nada lembut, aku menangkap reaksi dari Leo, Untuk pertama kalinya, ia menatapku secara langsung,
“Baiklah, Ini seperti riset begitu? Kau Novelis, kan?”
Aku hendak membuka mulutku untuk menjawab, namun dengan cepat ia memotong apa yang hendak kukatakan,
“Dan kau butuh bantuanku? Berdansalah denganku, Setelah itu, Aku janji akan beritahu apapun yang ingin kau ketahui,” Lebih kedengaran seperti perintah, Bukan permintaan,
Egois!
Betapa Egois dan merepotkannya laki-laki ini, Tidak membiarkanku bicara sampai selesai, Juga tidak sekalipun menjawab pertanyaan penting yang kuajukan, mengalihkan pembicaraan, sementara pertanyaannya begitu banyak,
Orang lain tidak berhak memilih, hanya ia yang berhak.
Mereka semua sama saja, laki laki dimana mana…
Menyebalkan, Aku tahu aku tidak terlalu suka dia,
Tapi aku juga tidak suka kalah.
Uluran tangan dihadapanku lebih terasa seperti tantangan untukku,
Aku menyambutnya, dan mengikutinya yang membimbingku melantai.
Aku menyesal tidak mengenakan pakaian yang lebih kasual, bukan Dress One piece warna ungu gelap selutut yang mempersulit gerakanku ini…
Ups! Benar, kan!
Aku nyaris tersandung, tapi tangan Leo menangkapku dengan gesit,
Leo sama sekali tidak bertanya apakah aku baik-baik saja, aku juga tidak mengharapkan ia bersikap demikian,
Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya.
Detik berikutnya, Leo menarik tubuhku agar merapat padanya, nyaris berpelukan.
Kaki-kaki dan anggota tubuh kami yang lain bergerak seirama alunan musik yang lembut.
“Kenapa kau, bisa ada di kantor kakakku waktu itu? Siapa yang menyuruhmu datang?” tanyaku tidak sabar,
Sungguh membingungkan, mengingat kakak iparku juga tidak terlalu tahu latar belakang pria ini, ia datang begitu saja, dan berkata akan membantu,
Aku yang ada disana hanya bisa terpaku, bukan pada ketampanannya, aku bukan wanita yang menilai seorang pria dari bentuk fisk, walau kuakui makhluk ini memang indah,
Yang membuatku tertarik adalah kemisteriusannya,
Seperti magnet yang membakar rasa ingin tahu orang-orang sepertiku,
Andai aku pelukis, aku pasti sudah melukisnya ribuan kali, karena dapat kuingat ia dengan sangat jelas, mengisi penuh seluruh ruang alam imajinasiku,
Andai aku penyair, akan kubuat puisi berdasarkan keelokan yang dingin ini,
Dan, andai aku seorang pemusik, akan ada banyak lagu yang tercipta untuknya,
Sosok yang benar-benar menjadi surga Eden, sebagai Sumber Inspirasi yang tak terbatas, setidaknya itulah yang kurasakan sekarang.
“Aku dimintai bantuan,” Lalu ia mendekatkan bibirnya ke telingaku,
Aku menatapnya penasaran, nafasnya sedikit berbau alkohol tercium olehku,
“Istri temanku.” Ujarnya sambil tersenyum-senyum sendiri, senyuman kosong, “Harusnya temanku itu yang menyelesaikan urusan disana, Tapi apa boleh buat, aku tidak ingin temanku dan istrinya kesulitan, kan? Apalagi istrinya sedang hamil besar, jadi kuputuskan untuk menggantikannya mengatasi masalah,”
Kurasakan bagian pinggangku didekap dengan lembut,
Aku tidak mengerti apa maksud yang ia katakan barusan, Namun kuputuskan untuk tidak mengungkit-ungkit lagi soal itu.
Tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin kutahu.
“Kau akan menepati janjimu, Bukan?” tagihku,
Ah, ekspresinya berubah lagi, Aku suka ekspresinya kali ini,
Ekspresi lelaki jalang.
++++
“Aku tidak tahu dimana aku dilahirkan, aku tidak punya kenangan indah tertentu saat masa kecilku, yang kutahu adalah, keberadaanku salah, Seharusnya aku tidak ada didunia ini, atau, sebut saja aku terlahir dari benih yang salah.”
Dengan demikian aku tidak akan melihat penderitaan ibuku yang setiap hari harus mengalami hari-hari menyakitkan dengan siksaan bertubi-tubi yang diberikan ayahku,
Aku tidak tahu apa salahnya,
Ibuku adalah seorang yang lembut dan penyayang, Aku tidak pernah tega untuk menyakitinya, turut prihatin, dan diam, ketika ia menyimpanku didalam lemarinya, memintaku untuk tidak keluar apapun yang terjadi, Agar aku tidak turut menjadi Korban kekerasan ayahku yang pulang dengan kekalahan dari meja **** nya,
Meminta uang dari kami untuk menghidupi lonte-lonte kurang ajar yang menggerogotinya tanpa ia sadari.
Aku terbiasa mendidik diriku sendiri untuk tidak merepotkan orang lain dengan keinginan pribadiku.”
Jerit kesakitan ibu, adalah hal-hal yang biasa kudengar dari dalam bilik kecil itu, keesokan harinya, kudapati luka-luka, bukti kesakitan dan kesedihan wanita yang selama 9 bulan mengandungku, Tapi ibu tidak pernah bercerita kenapa, dan karena apa, hal yang sebenarnya terjadi, yang baru kumengerti beberapa tahun kemudian.
Aku mencintai ibu, aku menyayanginya lebih dari apapun, karena hanya ia satu-satunya yang mengerti dan melindungiku, membuatku merasa nyaman.”
Ketika aku memasuki usia sekolah dasar,
Perlahan wanita yang melahirkanku berubah, didepanku, ia tetap ibu, tetap sama, orang yang sama, senyum yang sama.
Namun dalam sekejap, demi ayahku, ia mampu merubah dirinya menjadi perempuan binal yang tidak kukenali lagi, menggoda setiap laki-laki,
ia suci dimataku, namun kotor dipermukaan.
Aku menyalahkan Ayahku, hanya dalam hati,
Aku tidak pernah tega mengungkapkan apa yang kurasakan, hanya demi ego,
Aku tidak ingin mengatakan sesuatu yang melukai hati wanita yang paling ingin kulindungi andai saja aku punya kekuatan waktu itu.
Ibuku mencintainya, aku tahu itu, dan aku tidak berhak mengaturnya.
Baik,
Anak seorang pramuria, itu cukup untuk mengejutkanku,
Waktu telah menunjukkan jam setengah Sembilan pagi, Waktunya mengakhiri acara mengetikku, Hari minggu yang berat, Aku tidak tidur sampai jam segini.
Ingatanku melayang pada saat-saat tadi malam,
Karena mabuk, dia tidak sadar apa yang diceritakannya, aku memaninya minum hingga pagi, menceracau tidak jelas, garis besarnya, seperti yang kuketik diatas,
Ketika kami akan berpisah, hari sudah beranjak subuh, tiba-tiba saja Leo menyerahkan kunci mobil dan rumahnya, sebelum ia ambruk sungguhan,
Aku datang dengan taksi, Dan Leo, ia membawa Mercedez mewah yang aku yakin tidak akan bisa kumiliki walau aku menabung selama sisa umurku,
Oke, Aku punya ijin menyetir, aku cukup sering dipercaya untuk mengantar jemput kakakku, dan untunglah aku bukan tipe yang suka mabuk,
mengingat Leo sudah benar-benar Teler aku tahu sangatlah bodoh jika mengharapkannya dapat menolong dirinya sendiri saat ini,
‘Tidak apa-apa, Riana, laki-laki ini tidak berdaya, kau bisa menendang bokongnya dengan mudah jika ia berani berbuat macam-macam terhadapmu.’
Jadi aku mengangkutnya, lebih tepat meminta sekuriti untuk membawanya ke mobil, mudah sekali, seperti Leo itu mayat atau karung bekas berisi kapuk.
Setelah memberikan tips ala kadarnya pada sang sekuriti, akhirnya aku mencicipi duduk didalam mobil mewah kalangan atas…
Tidak buruk.
Leo tergeletak di jok belakang.
Kemana aku harus mengantarnya? Aku tidak tahu rumahnya dimana,
Perhatianku teralih pada dasbor mobil, mencari-cari petunjuk, Kuambil sehelai kartu nama pada kotak kecil di bagian dasbor, alamat.
Dia tidak bohong, namanya hanya tertera ‘Leo’, Surprise berikutnya, ia seorang ahli hukum alias pengacara,
Padahal kemarin kukira dia itu hacker atau semacamnya, karena ia bisa memperbaiki system di kantor kakakku hanya dalam hitungan menit.
Waktu itu, nyaris selama semenit penuh aku terdiam, Pekerjaannya…
Aku mengurut Dahiku, jubah mandi yang sedari tadi kukenakan masih belum kulepas, demikian pula handuk yang melilit kepala,
“Kemarin malam kemana saja?” Terdengar suara renyah kakakku, ketika kulangkahkan kaki menuju dapur, mengambil segelas air putih.
“Pergi main dengan teman” jawabku asal, Kak Lusi tampak heran, melihat raut keheranan kakakku, aku tahu jawabanku sudah sangat keterlaluan.
Aku tidak memberikan alasan yang jelas, disanalah letak salahnya.
“Riana, aku tidak pernah melarangmu, aku tahu kamu sudah dewasa tapi…”
Akh, mulai lagi, ia terkadang agak paranoid karena hanya kami dua bersaudara, dan suaminya, mas Agung, adalah pemilik sebuah kantor penerbitan.
Kakakku awalnya karyawati bank, namun ia memilih berhenti dari pekerjaannya dan memilih menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan orang tuaku adalah dosen yang walaupun sering bepergian, tetap menyempatkan diri untuk bersama dengan anak anak mereka.
Bisa kubilang hidupku beruntung,
Berada dalam lingkup ruang penuh kasih sayang seperti ini.
Tak pernah bisa kulukiskan betapa besar rasa syukurku.
Segalanya akan sangat sempurna seandainya bajingan itu tidak muncul.
Dan seandainya aku tidak begitu bodoh termakan oleh rayuan mautnya.
“Kakak pasti kaget jika tahu dengan siapa aku pergi,” kuputuskan untuk berkata jujur.
“Siapa…?” Tanya kak Lusi penasaran, “Bukan Dika, kan…? Riana, sudah sering kukatakan padamu, jangan bergaul dengan Dika, Dia itu…”
Aku duduk dimeja makan menghadap tempat duduknya,
Menatapnya dengan sorot mata setengah memprotes,
“Orang yang waktu itu kuceritakan, yang memperbaiki dan menyelamatkan seluruh data dalam komputer kantor Mas Agung…, Akhirnya aku bertemu dengannya lagi…” Potongku cepat.
“Dengan Laki-laki Emo itu?” Mas agung yang masih menggendong fajar, keponakanku yang berusia 11 bulan, tiba-tiba muncul,
“Benar!” Tukasku, “Dia menarik, kan? Aku sangat suka mengajaknya berbincang…Dan dia bukan Emo yah, Dia… Tidak pakai pemulas bedak atau semacamnya…”
Kakakku dan suaminya memandangiku sesaat, kemudian tawa mereka meledak bersamaan, “Tidak pernah berubah, ya, Aku ingat kau memandangi patung atau hiasan dinding seharian hanya karena benda itu memancarkan ‘energi khusus’ menurut pandanganmu,”
“Kau juga mengajak orang gila bicara berjam jam karena kau pikir itu menarik.”
“Diamlah,” Protesku, “Kenapa kalian begitu ngotot mengurusi hobi orang lain?”
“Hobimu unik,” Kakakku tertawa,
“Aku tidak tahu siapa dia,” kata mas Agung lagi, “Datang begitu saja seperti makhluk gaib dan memberi pertolongan, kuakui pendapatmu sama denganku, dia orang yang terlihat misterius dan lumayan unik, Kita berhutang padanya, data perusahaan itu sangat penting, bahkan didalam komputer itu juga ada karya karya pengarang yang sudah selesai di revisi, Aku pikir kita akan mati,”
“Kau, pergi dengan laki-laki, semalam suntuk?!” Kakakku nyaris histeris.
“Oh, ayolah,” marahku, “Tidak akan ada yang perlu dicemaskan, Aku sudah dewasa, Tidak akan terjadi hal buruk selama aku menggunakan akal sehatku.”
Ya, benar, Dulu aku terjebak dengan Dika karena aku masih muda dan tolol… Tidak akan lagi, tidak akan pernah lagi.
Siapa yang bisa menghancurkanku sekarang?
Aku sudah hancur terlebih dahulu…
Aku menggigit bibir menyembunyikan perih.
“Riana benar, Mungkin kau saja yang terlalu mencemaskannya,” Hibur mas Agung, Dengan santai aku memainkan jemari mungil si kecil Fajar.
Keluargaku selalu mempercayaiku, selalu… Dan hal ini adalah kebanggaan terbesarku sejak dulu.
“Orang itu, Gudang inspirasi bagiku, aku sangat suka gayanya, berbeda, artistik, misterius, elegan,” mataku menerawang membayangkan segala kelebihan Leo,
“Lalu, benarkah hanya itu? Tidak ada hubungan khusus misalnya?” Goda kak Lusi, aku mendelik marah.
“Hubunganku dengannya hanya sebatas penulis dan orang yang kurencanakan menjadi model dalam Novelku berikutnya! Aku tidak sedikitpun memikirkannya hingga kesitu.”
Kakakku Dan suaminya saling pandang dan melempar senyum, tapi aku tidak mengerti apa makna dibalik semua itu.
Perhatianku teralih pada tumpukan kertas yang sedang dipegang kak Lusi.
Melihat sekilas saja aku sudah tahu apa itu.
Naskah kasar dalam bentuk Print-Out.
“Cerita tentang apa, itu?” tanyaku seraya menunjuk, Kak Lusi tersenyum sambil memberikan kertas Hasil Print-Out itu padaku.
“Novel yang baru masuk beberapa hari lalu, Aku tidak sengaja melihat Novel ini diseleksi, Dan aku menjadi sangat tertarik hanya dengan membaca Prolog nya saja.”
“Daina…, Amarea Winata…,” Aku membaca nama pengarang yang tertera disana sebelum mengeja judulnya, “Descendant Of The Death Master…” “Pengarang baru, ya?”
“Sangat berbakat,” jawab mas Agung, “Dan penuh imajinasi,”
Kata-kata itu membakar minatku, Aku ingin membacanya, tapi kurasa aku harus antri dulu dengan kak Lusi.
“Bukan cerita gadis miskin dengan CEO tampan kaya raya yang kawin paksa kemudian saling jatuh cinta dan mengadakan pesta keliling naik kereta labu, kan?” sambungku.
“Kapal pesiar,” Kak Lusi meralat. “Tentu saja bukan, kau mikir apasih,”
Aku tersenyum simpul, “Berarti kalau kakak sudah selesai, Aku pinjam, ya”
Kak Lusi mengangguk, “Kelihatannya cerita ini belum selesai, Kita harus menunggu ceritanya rampung dulu baru memutuskan mau menerbitkannya atau tidak,”
“Jika memang bagus, mengapa tidak?”
Tepat pada saat itu HP ku berbunyi.
Jantungku berdebar seakan mau copot, tidak… jangan sekarang… menjauhlah, pergilah… Jangan didepan mereka!
Aku permisi dari ruangan itu, membawa ponselku ke tempat yang kiranya lebih nyaman untuk bicara, Aku telah membuat kakakku cemas karena pergi semalam suntuk,
Aku tidak mau ia lebih cemas jika tahu aku berada di Night Club juga,
Aku bisa jujur padanya, walau tidak semua, kupikir cukup bijak,
Ini kan’ menyangkut urusanku.
Leo.
Nama itu muncul begitu saja di layar ponselku,
Lututku lemas seakan akan neraka dunia baru saja melewatiku,
Syukurlah, syukurlah bukan Dika…
Aku bersandar pada dinding, mencoba mencari keseimbangan, mengatur nafasku agar nada bicaraku kedengaran lebih wajar, perlahan mengangkat telepon.
“Hallo,”
Untuk beberapa saat Sunyi, lalu desah nafas berat diiringi suara yang serak-serak basah mengawali percakapan diantara kami.
“Hai,” Katanya mencoba agar kedengaran lebih tulus.
Aku menjawabnya dengan berdehem,
“Sudah bangun?” Tanyaku, “Cepat sekali,”
“Semabuk apapun, biasanya aku hanya tidur tiga jam sehari, itu sudah biasa,”
“Baguslah,” Komentarku seraya menambahkan, “Tidak ada yang ingin kau ucapkan padaku, Tuan pengacara?”
Leo terbatuk, Dari nada suaranya nyata sekali ia sedang bingung, tidak tahu harus bicara apa.
“Hn, Terima kasih karena kau sudah mengantarku ke rumah tadi malam, ngomong-ngomong, aku hanya penasaran kau pulang dengan Apa” ia memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.
Tentu saja dia harus berterima kasih karena aku sudah sangat repot membopongnya dan meletakkannya di sofa rumahnya, sampai tumit sepatuku hampir lepas,
“Sama-sama, Aku pulang setelah menelepon taksi,”
Apakah hanya perasaanku, atau aku memang mendengar desah nafas lega diseberang sana?
“Kau ada rencana hari ini?”
Aku tidak begitu menghiraukan pertanyaannya, banyak yang harus kukerjakan setelah aku mendapat banyak bahan renungan tadi malam,
Jadi kujawab seadanya.
“Sore ini aku ke kantor kakakku, Aku harus mengantar naskah kesana, Tabloid yang memuat Cerita bersambung karyaku terbit awal bulan nanti.”
Aku tidak mengerti mengapa bisa dengan mudah menceritakan kegiatan rutinku kepadanya,
“Artinya kau cukup sibuk juga, ya”
“Maksudnya?”
Aku bisa membayangkan wajah dinginnya yang tidak dapat melunak sedikitpun itu menatap bosan, seperti mau mati saja.
“Sudahlah, Sampai ketemu lagi” ujarnya mengakhiri pembicaraan.
“Ya.”
Aku masih memandangi layar ponselku bahkan meskipun telepon telah ditutup.
Memikirkan maksud ucapannya.
‘Sampai ketemu lagi’ Adalah ungkapan yang secara tidak langsung memiliki makna khusus.
++++