Perfilman Indonesia

Megha

New member
Perfilman dunia pada paruh pertama dekade terakhir abad 20 ini ditandai dengan semakin menguatnya dominasi perfilman Amerika Serikat (AS). Dari negara itu, lahir film-film mahal beserta rangkaian squelnya yang memperoleh sambutan hangat di seluruh penjuru dunia. Teknologi komputer juga memungkinkan tampilnya film-film yang mampu merambah berbagai kemungkinan baru yang tak terpikirkan sebelumnya, termasuk di dalamnya penyempurnaan pembuatan film kartun yang pembuatan gambarnya tidak lagi ditangani semata-mata oleh tangan.


Di Indonesia dan beberapa negara maju di luar AS, industri film dalam negeri justru menunjukkan penurunan serius. Sejak tahun 1993, Festival Film Indonesia tidak lagi diselenggarakan, sementara film- film AS semakin merajai bioskop-bioskop Indonesia.


Hollywood
Pada awal tahun, 1990. banyak pengamat memperkirakan sejumlah film berbiaya mahal yang direncanakan untuk diedarkan pada musim panas — yang merupakan “bulan menonton” rakyat AS dan negara maju lainnya — akan memperoleh pemasukan tertinggi. Pada tahun itu memang diproduksi film-film action yang mahal seperti Total Recall (film science- fiction dibintangi aktor yang sedang meroket namanya, Arnold Schwarzenegger), Another 48 Hours (kelanjutan dan 48 Hours yang sebelumnya sangat meledak), Die Hard II (kelanjutan Die Hard yang juga meledak), serta Dick Tracy.


Namun nyatanya, Pretty Woman —sebuah film tentang seorang pelacur yang mengalami nasib seperti tokoh dongeng Cinderella— yang dibuat dengan biaya relatif rendah dan diputar jauh dan musim panas menghasilkan US$ 178 juta, sehingga masuk dalam daftar 1O film terlaris sepanjang zaman di AS dan Canada. Film ini mengangkat nama Julia Roberts sebagai pemeran utama wanita yang mendampingi Richard Gere.


[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]​



Film sequel yang terlaris adalah Terminator II. Film yang dibintangi Arnold Schwarzenegger dan Linda Hamilton ini mampu meraih pemasukan sebanyak US$ .204,3 juta. Dibandingkan dengan seri pertamanva, film ini dibuat dengan menggunakan biaya dan promosi jauh lebih besar. The Last Crusade sebagai seri tiga petualangan Indiana Jones (Harrison Ford) menjadi lebih menarik karena kehadiran akror Sean Connery: Melalui film mi, Connery kembali membuktikan bahwa ia mampu melepaskan diri dari bayang-bayang James Bond, dan ia mampu memerankan berbagai karakter dengan sama baiknya. Dalam seri ketiga indiana Jones ini ia menjadi ayah Indiana yang juga gemar bertualang dan bermain dengan mara bahaya. Film sequel lainnya yang juga meledak adalah Naked Gun 2½: the Smell of Fear (seripertamanya, 1988),film humor khas AS dengan pendekaran anti-logika.




1992. Film-film sequel ini masih terus dibuat tahun ini dan terus meraih untung besar Film tersukses, Batman Returns, adalah kelanjutan dart seri Batman pertama tahun 1989, dengan sutradara (Tim Burton) dan aktor utama yang sama (Michael Keaton). Dua lawan Batman, yang digambarkan memiliki latar belakang sejarah kejiwaan tertentu sehingga mendorong mereka terjun dalam dunia hitam, kali ini diperankan oleh Michelle Pfeiffer sebagai Catwoman dan Danny DeVito sebagai Penguin.


Sutradara besar Steven Spielberg menyemarakkan pasar film tahun ini dengan Hook. Film ini didasarkan pada tokoh dongeng Kapten Hook yang merupakan lawan Peter Pan, jagoan klasik dunia kartun. Yang unik, peran Kapten Hook dibawakan aktor watak Dustin Hoffman, sementara Peter Pan dimainkan komedian dengan seribu peran, Robin Williams. Julia Roberts turut membintangi film ini.


Salah satu catatan khusus lain tentang Malcolm X adalah film itu merupakan film pertama Hollywood yang diberi izin pemerintah Arab Saudi mengambil gambar dilokasi kota suci Mekah. Izin itu diberikan antara lain karena film ini dianggap bersimpati terhadap Islam, sesuatu yang jarang sekali dilakukan film-film Hollywood sebelumnya.

Film lain yang berangkat duri isu sosial adalah UnForgiven arahan Clint Eastwood, sebuah film koboi anti kekerasan dan antidiskriminasi, yang juga diakui sebagai film yang diilhami oleh pemukulan Rodney King. Bagi sebagian pengamat, Unforgiven dianggap sebagai produk budaya post-modernisme, dimana segala kepercayaan yang sudah tertanam selama ini ditafsirkan kembali. Misalnya, tokoh utama dalam film itu (diperankan Eastwood) adalah seorang koboi tua yang sakit-sakitan dan lamban.



[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]​



Golden Globe Award memilih Schindler’s List sebagai fllm terbaik, sekaligus sutradara terbaik dan skenario terbaik. Aktor terbaik jatuh pada Tom Hanks (Philadelphia) serta aktris terbaik pada Holly Hunter (The Piano). Mrs Doubtfire dan Robin Williams berhasil merebut gelar film komedi dan aktor komedi terbaik.


Komposisi itu pun tak banyak berubah di Academy Award. Schindler’s List, seperti telah diduga, merebut gelar film terbaik, sutradara terbaik, sinematografi terbaik (Janurz-Kaminski), editing terbaik (Michael Kahn), skenario adaptasi (Steven Zoilian), tata artistik (Alan Starski/Eva Braun), serta musik (Jhon Williams).


Tom Hanks don Holly Hunter merebut gelar seperti yang diberikan Golden Globe Award. The Piano juga mendapat penghargaan untuk peran pendukung wanita terbaik (Anna Panquin) dan skenario asli (Jane Compion). Kemenangan film ini juga dianggap mewakili kebangkitan industri film Australia dalam peta perfilman dunia.

Penghargaan bagi Spielberg juga tak berhenti di Schindler’s List. Karya lainnya, Jurassic Park, merebut pula penghargaan untuk efek visual, editing efek suara, dan tata suara terbaik.




1995 Bintang Thom Hanks tampaknya masih terus bersinar terang. Dalam festival Golden Globe, Hanks kemboli merebut gelar aktor terbaik melalui film Forrest Gump yang juga dinilai sebagai film terbaik. Dalam arahan sutradara Robert Zemmeckis — yang juga meraih gelar sutradara terbaik — ini, Hanks berperan sebagai pemuda lugu, dengan tingkat inteligensi agak terbelakang, yang berhasil menaklukkan Amerika. Popularitas film ini juga disumbangkan oleh kesempurnaan efek teknologi visualnya yang berhasil ‘menghidupkan ‘ kembali sejumlah tokoh AS masa lalu, seperti JF Kennedy dan John Lennon.

Untuk kategori aktris terbaik, penghargaan jatuh ke tangan Jessica Lange lewat film Blue Sky, dengan menundukkan dua aktor kaliber Oscar lainnya: Jodie Foster (Nell) dan Merryl Streep (The River of Wild).



Indonesia



Pada bulan Januari, 1990. dalam RAPBN disampaikan Presiden Soeharto pada Sidang Pleno DPR/MPR,dinyatakan bahwa pemerintah akan menggalakkan ekspor film sebagai salah satu ekspor non-migas. Pemerintah juga menilai, ekspor film tidak hanya mempunyai nilai komersial semata, tetapi juga merupakan sarana untuk memperkenalkan budaya bangsa di luar.
Peristiwa penting dalam industri film Indonesia adalah kemelut peredaran film Langitku Rumahku, karya Slamet Rahardjo yang diproduksi Ekapraya Film. Pada bulan November, film itu diputar di 11 gedung pertunjukan tahap pertama (bioskop dengan tarif tertinggi dalam jalur peredaran PT Perfin) yang berada dalam jaringan bioskop “21” milik pengusaha Sudwikatmono. Pada hari perdana pemutaran, terhitung rata-rata hanya terdapat 20 penonton di tiap bioskop. Dengan alasan ketidaksuksesan film menarik penonton, PT Perfin langsung menghentikan pemutaran film itu pada hari kedua untuk diturunkan keperedaran tahap kedua.


Adapun film-film yang sukses di pasar tetap berkisar di seputan film laga-mistik dan komedi. Saur Sepuh III memperoleh jumlah penonton terbanyak 447.404), disusul Sabar Dulu Dong, yang memperoleh
424.640 penonton. Catatan Si Boy yang diangkat dan acara sandiwara radio terkenal memperoleh penonton 335.125 penonton. Sementara Taksi, film terbaik Festival Film Indonesia (FF1) tahun ini secara cukup mengejutkan hanya meraih 222.628 penonton.


Citra utama FF1 1990 diraih Taksi untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik (Arifin C. Noer), skenario terbaik (Arifin C. Noer), aktor terbaik (Rano Karno), aktris terbaik (Meriem Bellina), serta editor terbaik (Karsono Hadi). Langitku Rumahku memperoleh Citra untuk sinematografi (Soetomo Ganda Subrata) dan tata artistik.


Tahun ini 1991. terutama ditandai dengan upaya MPEAA (Motion Picture Export Association of America), badan asosiasi eksportir film AS, untuk mendesak pemerintah Indonesia agar lebih membuka diri terhadap arus film AS. Badan itu bukan hanya menuntut penambahan kuota film impor namun juga mendesak untuk memasukkan dan mengedarkan filmnya ke Indonesia. MPEAA merasa dirugikan dengan cara-cara pembelian maupun peredaran produk-produknya di indonesia. Kerugian itu, menurutnya, mencapai US$ 50 juta per tahun.


MPEAA, yang didirikan tahun 1945, sebetulnya merupakan divisi luar negeri MPAA (Motion Picture Association of America), wadah perhimpunan para produser film besar AS. Saat ini badan tersebut beranggotakan Universal, Paramount, United Artists, MGM, Warner Brothers, 20th Century Fox, Union, Carolco, Columbia/Tri Star, dan Walt Disney/Touchstone. Karena fungsinya yang telah meluas daripada sekadar menangani urusan ekspor film — melainkan juga merambah ke bidang diplomasi, ekonomi, dan politik — MPEAA mendapar julukan sebagai Little State Department (Departemen Luar Negeri “Kecil “).


Kemelut peredaran film nasional, yang dialami film Langitku Rumahku tahun lalu, tidak mempengaruhinya untuk meraih prestasi dipentas perfilman dunia. Film ini berhasil memperoleh hadiah khusus UNiCEF untuk kategoni fllm anak-anak dalam Festival Berlin tahun ini.


Mulai pertengahan tahun ini, atas permintaan Menpen Harmoko, diputar film Gelora Pembangunan dibioskop-bioskop sebelum film utama ditayangkan. Film itu diproduksi PPFN, dengan sponsor Yayasan
Bangun Citra Nusantara.




[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]



1992. Bulan Februari, BKFI (Badan Kerja Film Indonesia) mengajukan permohonan kepada DFN (Dewan Film Nasional) sebagai badan tertinggi yang ditugasi pemerintah untuk menangani perfilman indonesia, untuk memberi kesempatan kerja kepada para pekerja film indonesia di tengah kelesuan yang melanda dunia perfilman nasional tahun itu. DFN saat itu menyanggupi untuk memenuhi bantuan dana maksimal sekitar Rp 320 juta untuk 30 film dokumenter bermasa putar pendek (dibuat dengan format film 16 milimeter), yang akan diusahakan ditawarkan pada kedutaan-kedutaan asing.




MPEAA kembali mempersoalkan isu peredaran impor di Indonesia. Kali ini pada April 1992 pemerintah sempat menunda penandatangan kesepakatan mengenai penambahan volume impor tekstil dari Indonesia. Akibatnya, kompromi lebih jauh terpaksa dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, penambahan jumlah importir film di Indonesia. Kedua, penambahan kembali kuota film Eropa-Amerika, dari 70 menjadi 80 per tahun. Selain itu, pemerintah Indonesia memberikan kemungkinan kepada AS untuk memasukkan film-filmnya melalui asosiasi lainnya di luar AIFEA (Asosiasi Importir Film Eropa-Anmerika) apabila jatah kuota asosiasi lain itu tidak terpenuhi. Dengan kesepakatan itu, maka kuota ekspor tekstil Indonesia naik 35%.


Tahun 1993, giliran Cinta Dalam Sepotong Roti yang memperoleh gelar terhormat dalam festival internasional Lewat film ini, Garin Nugroho memperoleh penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik ke-37 di Seoul, Korea Selatan. Sementara Festival Film Pyongyang (Korea Utara) memilih film Taksi sebagai film terbaik.


Film-film pendek karya mahasiswa IKJ juga menang di luar negeri. Hanya Satu Hari karya Nan Triveni Achnas, misalnya, menang di festival ASEAN Young Cinema (Tokyo). sementara Langkah-langkah Kecil memenangkan penghargaan di Recontres Internationales (Perancis).




[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]




1993. Lesunya produksi film nasional tahun ini diperberat dengan keputusan Gasfi (Gabungan Studio Film Indonesia), yang melalui anggotanya PT Interstudio, menaikkan tarif proses dalam negeri yang bervariasi antara 25—30%. interstudio beralasan kenaikan itu justru dibutuhkan karena lesunya produksi film, sehingga tak mungkin untuk menutup biaya operasional dan pemeliharaan alat dengan standar harga lama.


Pada akhir bulan November 1993 sampai bulan Februari 1994, di Jepang berlangsung sebuah festival film yang khusus memutar berbagai hasil karya sineas Indonesia. Festival yang diselenggarakan atas prakarsa The Japan Foundation ASEAN Cultural Centre ini dibagi dalam empat babak. Babak pertama tentang kontribusi Christine Hakim bagi perfilman Indonesia. Babak kedua, rertospeksi atas film-film Syumanjaya yang dinilai telah memberi sumbangan besar bagi dunia sinema Indonesia. Babak ketiga menyuguhkan panorama sinema Indonesia dengan melihat kembali flim-flim yang dianggap merupakan puncak-puncak perkembangan film Indonesia, antara lain karya Usman ismail, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Ami Prijono, Chaerul Umam, M.T Risyaf Galeb Husein, Agus Elias, dan Garin Nugroho. Pada babak keempatdisajikan karya-karya dari luar sistem industri perfilman, namun tetap mendapatkan perhatian publik internasional, yakni film-film pendek dan eksperimental yang sebagian besar dibuat oleh mereka yang berada di lingkungan IKJ.



[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]

Sumber: Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Deppen





1994. Untuk meningkatkan apresiasi masyarakat pada film Indonesia, antara 25 Maret—1O April 1994 diselenggarakan kegiatan “Bulan Film Indonesia “. Tanggal 25 Maret, Menpen Harmoko, didampingi gubernur DKI, membuka “Hari Film Indonesia “. Pada hari itu hanya film Indonesia yang diputar di seluruh bioskop Jakarta. Rangkaian acara yang diselenggarakan mencakup pula layar tancap gratis di luar DKI, sarasehan, serta diskusi santai yang melibatkan masyarakat, pejabat, dan kalangan perfilman nasional.



Dalam festival film internasional, karya sineas Indonesia berlanjut memperoleh penghargaan. Pada Festival Film Berlin tahun 1994, Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho mendapat penghargaan di berbagai forum internasional.




[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]

Sumber: Foto Republika



[FOOTNOTE]Images : indonesiaindonesia.com[/FOOTNOTE]​




1995. Untuk membantu kelesuan produksi film nasional, Dewan Film Nasional (DFN) membiayai pembuatan dua film yaitu Bulan Tertusuk Ilalang (Garin Nugroho) dan Cemeng 2005 (Nano Riantiarno. DFN mengucurkan Rp 500 juta untuk masing-masing film tersebut. Bulan Tertusuk Ilalang kemudian memenangkan penghargaan Jury Award di Festival of Three Continents di Nantes, Perancis. Festival itu diikuti oleh 20 wakil dari tiga benua, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Di tengah kelesuan film nasional, Indonesia menjadi tuan rumah Festival Film Asia Pasifik di Jakarta pada bulan Juli. Namun di festival itu tak satu pun wakil Indonesia memperoleh penghargaan. Film karya Garin, Bulan Tertusuk Ilalang hanya menempati posisi nominasi film terbaik. Tiga wakil Indonesia lainnya, yakni Cemeng 2005, Sesal (Sophan Sophiaan), dan Dewi Angin-Angin (Ackyl Anwari), sama sekali tak memperoleh nominasi. [FOOTNOTE]Ensiklopedi Indonesia, 1992, Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, PT Intermasa, Jakarta[/FOOTNOTE]




[h=1]Reference & Resources[/h]
[REFLIST]1[/REFLIST]
 
Back
Top