Bls: Perfilman Indonesia
Indonesia
Pada bulan Januari, 1990. dalam RAPBN disampaikan Presiden Soeharto pada Sidang Pleno DPR/MPR,dinyatakan bahwa pemerintah akan menggalakkan ekspor film sebagai salah satu ekspor non-migas. Pemerintah juga menilai, ekspor film tidak hanya mempunyai nilai komersial semata, tetapi juga merupakan sarana untuk memperkenalkan budaya bangsa di luar.
Peristiwa penting dalam industri film Indonesia adalah kemelut peredaran film Langitku Rumahku, karya Slamet Rahardjo yang diproduksi Ekapraya Film. Pada bulan November, film itu diputar di 11 gedung pertunjukan tahap pertama (bioskop dengan tarif tertinggi dalam jalur peredaran PT Perfin) yang berada dalam jaringan bioskop “21” milik pengusaha Sudwikatmono. Pada hari perdana pemutaran, terhitung rata-rata hanya terdapat 20 penonton di tiap bioskop. Dengan alasan ketidaksuksesan film menarik penonton, PT Perfin langsung menghentikan pemutaran film itu pada hari kedua untuk diturunkan keperedaran tahap kedua.
Adapun film-film yang sukses di pasar tetap berkisar di seputan film laga-mistik dan komedi. Saur Sepuh III memperoleh jumlah penonton terbanyak 447.404), disusul Sabar Dulu Dong, yang memperoleh
424.640 penonton. Catatan Si Boy yang diangkat dan acara sandiwara radio terkenal memperoleh penonton 335.125 penonton. Sementara Taksi, film terbaik Festival Film Indonesia (FF1) tahun ini secara cukup mengejutkan hanya meraih 222.628 penonton.
Citra utama FF1 1990 diraih Taksi untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik (Arifin C. Noer), skenario terbaik (Arifin C. Noer), aktor terbaik (Rano Karno), aktris terbaik (Meriem Bellina), serta editor terbaik (Karsono Hadi). Langitku Rumahku memperoleh Citra untuk sinematografi (Soetomo Ganda Subrata) dan tata artistik.
Tahun ini 1991. terutama ditandai dengan upaya MPEAA (Motion Picture Export Association of America), badan asosiasi eksportir film AS, untuk mendesak pemerintah Indonesia agar lebih membuka diri terhadap arus film AS. Badan itu bukan hanya menuntut penambahan kuota film impor namun juga mendesak untuk memasukkan dan mengedarkan filmnya ke Indonesia. MPEAA merasa dirugikan dengan cara-cara pembelian maupun peredaran produk-produknya di indonesia. Kerugian itu, menurutnya, mencapai US$ 50 juta per tahun.
MPEAA, yang didirikan tahun 1945, sebetulnya merupakan divisi luar negeri MPAA (Motion Picture Association of America), wadah perhimpunan para produser film besar AS. Saat ini badan tersebut beranggotakan Universal, Paramount, United Artists, MGM, Warner Brothers, 20th Century Fox, Union, Carolco, Columbia/Tri Star, dan Walt Disney/Touchstone. Karena fungsinya yang telah meluas daripada sekadar menangani urusan ekspor film — melainkan juga merambah ke bidang diplomasi, ekonomi, dan politik — MPEAA mendapar julukan sebagai Little State Department (Departemen Luar Negeri “Kecil “).
Kemelut peredaran film nasional, yang dialami film Langitku Rumahku tahun lalu, tidak mempengaruhinya untuk meraih prestasi dipentas perfilman dunia. Film ini berhasil memperoleh hadiah khusus UNiCEF untuk kategoni fllm anak-anak dalam Festival Berlin tahun ini.
Mulai pertengahan tahun ini, atas permintaan Menpen Harmoko, diputar film Gelora Pembangunan dibioskop-bioskop sebelum film utama ditayangkan. Film itu diproduksi PPFN, dengan sponsor Yayasan
Bangun Citra Nusantara.
sumber Republika
1992. Bulan Februari, BKFI (Badan Kerja Film Indonesia) mengajukan permohonan kepada DFN (Dewan Film Nasional) sebagai badan tertinggi yang ditugasi pemerintah untuk menangani perfilman indonesia, untuk memberi kesempatan kerja kepada para pekerja film indonesia di tengah kelesuan yang melanda dunia perfilman nasional tahun itu. DFN saat itu menyanggupi untuk memenuhi bantuan dana maksimal sekitar Rp 320 juta untuk 30 film dokumenter bermasa putar pendek (dibuat dengan format film 16 milimeter), yang akan diusahakan ditawarkan pada kedutaan-kedutaan asing.
MPEAA kembali mempersoalkan isu peredaran impor di Indonesia. Kali ini pada April 1992 pemerintah sempat menunda penandatangan kesepakatan mengenai penambahan volume impor tekstil dari Indonesia. Akibatnya, kompromi lebih jauh terpaksa dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, penambahan jumlah importir film di Indonesia. Kedua, penambahan kembali kuota film Eropa-Amerika, dari 70 menjadi 80 per tahun. Selain itu, pemerintah Indonesia memberikan kemungkinan kepada AS untuk memasukkan film-filmnya melalui asosiasi lainnya di luar AIFEA (Asosiasi Importir Film Eropa-Anmerika) apabila jatah kuota asosiasi lain itu tidak terpenuhi. Dengan kesepakatan itu, maka kuota ekspor tekstil Indonesia naik 35%.