nurcahyo
New member
PERHATIAN TERHADAP KONDISI PERSEKOLAHAN DI DAERAH TERPENCIL: BUKAN SEKEDAR REFORMASI HARUS REVOLUSI
Rusnawati (47 tahun) yang guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bertahun-tahun berjuang ?sendirian?, dan kini bertanggungjawab atas pendidikan 25 anak yang terbagi atas 6 kelas yaitu kelas I: 8 murid, kelas II: 3 murid, kelas III: 3 murid, kelas IV: 1 murid, kelas V: 2 murid, dan kelas VI: 8 murid, sehingga total 25 murid.
Sekolah dimulai pukul 6:00 pagi dan pada pukul 6:30 semua murid ?gosok gigi? bersama. Anak-anak kelas I ? III pulang pukul 11:00, sedangkan anak-anak kelas IV ? VI pulang pukul 13:00. Tentu kita kagum bagaimana seorang guru mengajar 25 anak didik dengan 6 kelas yang berbeda dengan buku-buku yang sangat terbatas. Kampung (desa) Sambung, berjarak 160 km dari Melak (Sendawar, ibukota Kutai Barat) dengan perjalanan darat sebagian besar masih jalan tanah buatan perusahaan HPH. Perjalanan dari Melak memerlukan 4 jam, sedangkan ke perbatasan dengan Kalteng yang hanya 10 km ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Bila kita berbicara tentang reformasi yang jalannya hendak kita ?luruskan?, maka untuk SD yang ditangani Rusnawati reformasi ?belum pernah terjadi?, dan sangat jelas yang diperlukan sekarang bukan sekedar reformasi tambal sulam tetapi revolusi, yaitu revolusi dalam perhatian pemerintah terhadap kondisi persekolahan di kampung ini, dan revolusi dalam kesadaran seluruh warga masyarakat bagaimana menjamin pendidikan yang bermutu bagi generasi anak cucu .
Pertama, tidak mungkin setiap kampung mempertahankan SD sendiri-sendiri dengan jumlah murid sangat sedikit. SD yang layak dan bermutu harus dipusatkan di kecamatan yang murid-muridnya di?asramakan? dan penyelenggaraannya ditanggung Dinas Pendidikan, Pemda Kabupaten.
Kedua, meskipun gaji Rusnawati terhitung lumayan (Rp 1.720.000 per-bulan), namun perhatian terhadap kesejahteraan guru dan penyediaan bahan-bahan ajar harus dengan anggaran yang memadai untuk penyelenggaraan sekolah-sekolah beserta asramanya. Masyarakat yang hampir semuanya miskin sulit diharapkan membayar biaya pendidikan anak-anak mereka.
Kasus kondisi sekolah dasar yang cukup ?memilukan? di kampung Sambung menjadi lebih ?mengerikan? lagi di kampung Jontai kecamatan Damai, yang merupakan filial SD Dempar. Sengkon (39) dengan gaji Rp 720.000 (baru saja diangkat sebagai PNS) dengan dibantu guru PTT dengan gaji Rp 400.000/bulan bertanggungjawab atas pendidikan 41 murid SD. Gedung SD dari kayu yang bekas rumah penduduk (5 x 15m), tanpa dinding pembatas, dipakai untuk semua murid dengan guru Sengkon sendirian (guru PTT Sarmoto jarang datang). Melihat buku-buku ajar yang dipakai sebagian besar sudah tua, dikhawatirkan anak-anak sangat tidak menikmati suasana sekolah dan tidak dapat diharapkan menjadi anak-anak yang cerdas. Ada anak kelas I anak penginjil setempat (Yunus) yang tiap hari diantar sekolah oleh ibunya setelah ditinggal selalu pulang lagi. Pada saat kepada penduduk Jontai yang dipilih secara acak diajukan usulan untuk ?mengasramakan? anak-anak usia SD mereka ke SD Dempar, beberapa orang spontan mendukung asal tetap tidak perlu dipungut biaya. Sekarang setiap anak membayar BP3 Rp 1.000/bulan, itupun ada yang keberatan karena memang tidak mampu. Kepala sekolah SD Dempar, Jaelani (41 th), sangat mendukung gagasan pengasramaan murid-murid SD desa-desa terpencil ini.
Demikian dari kasus 2 SD di kampung miskin di kabupaten Kutai Barat ini kiranya harus ada revolusi dalam pendidikan dasar, tidak sekedar reformasi yang dalam kenyataan hanya dijadikan retorika politik di Jakarta. Di daerah-daerah, terutama desa-desa/kampung-kampung miskin, pemerintah daerah harus mampu mendorong terjadinya revolusi atau perubahan radikal dalam menangani dunia pendidikan termasuk penyediaan anggaran 20% dari APBD seperti yang ?dianjurkan? UUD 1945 yang telah diamandemen.
25 September 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
Rusnawati (47 tahun) yang guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bertahun-tahun berjuang ?sendirian?, dan kini bertanggungjawab atas pendidikan 25 anak yang terbagi atas 6 kelas yaitu kelas I: 8 murid, kelas II: 3 murid, kelas III: 3 murid, kelas IV: 1 murid, kelas V: 2 murid, dan kelas VI: 8 murid, sehingga total 25 murid.
Sekolah dimulai pukul 6:00 pagi dan pada pukul 6:30 semua murid ?gosok gigi? bersama. Anak-anak kelas I ? III pulang pukul 11:00, sedangkan anak-anak kelas IV ? VI pulang pukul 13:00. Tentu kita kagum bagaimana seorang guru mengajar 25 anak didik dengan 6 kelas yang berbeda dengan buku-buku yang sangat terbatas. Kampung (desa) Sambung, berjarak 160 km dari Melak (Sendawar, ibukota Kutai Barat) dengan perjalanan darat sebagian besar masih jalan tanah buatan perusahaan HPH. Perjalanan dari Melak memerlukan 4 jam, sedangkan ke perbatasan dengan Kalteng yang hanya 10 km ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Bila kita berbicara tentang reformasi yang jalannya hendak kita ?luruskan?, maka untuk SD yang ditangani Rusnawati reformasi ?belum pernah terjadi?, dan sangat jelas yang diperlukan sekarang bukan sekedar reformasi tambal sulam tetapi revolusi, yaitu revolusi dalam perhatian pemerintah terhadap kondisi persekolahan di kampung ini, dan revolusi dalam kesadaran seluruh warga masyarakat bagaimana menjamin pendidikan yang bermutu bagi generasi anak cucu .
Pertama, tidak mungkin setiap kampung mempertahankan SD sendiri-sendiri dengan jumlah murid sangat sedikit. SD yang layak dan bermutu harus dipusatkan di kecamatan yang murid-muridnya di?asramakan? dan penyelenggaraannya ditanggung Dinas Pendidikan, Pemda Kabupaten.
Kedua, meskipun gaji Rusnawati terhitung lumayan (Rp 1.720.000 per-bulan), namun perhatian terhadap kesejahteraan guru dan penyediaan bahan-bahan ajar harus dengan anggaran yang memadai untuk penyelenggaraan sekolah-sekolah beserta asramanya. Masyarakat yang hampir semuanya miskin sulit diharapkan membayar biaya pendidikan anak-anak mereka.
Kasus kondisi sekolah dasar yang cukup ?memilukan? di kampung Sambung menjadi lebih ?mengerikan? lagi di kampung Jontai kecamatan Damai, yang merupakan filial SD Dempar. Sengkon (39) dengan gaji Rp 720.000 (baru saja diangkat sebagai PNS) dengan dibantu guru PTT dengan gaji Rp 400.000/bulan bertanggungjawab atas pendidikan 41 murid SD. Gedung SD dari kayu yang bekas rumah penduduk (5 x 15m), tanpa dinding pembatas, dipakai untuk semua murid dengan guru Sengkon sendirian (guru PTT Sarmoto jarang datang). Melihat buku-buku ajar yang dipakai sebagian besar sudah tua, dikhawatirkan anak-anak sangat tidak menikmati suasana sekolah dan tidak dapat diharapkan menjadi anak-anak yang cerdas. Ada anak kelas I anak penginjil setempat (Yunus) yang tiap hari diantar sekolah oleh ibunya setelah ditinggal selalu pulang lagi. Pada saat kepada penduduk Jontai yang dipilih secara acak diajukan usulan untuk ?mengasramakan? anak-anak usia SD mereka ke SD Dempar, beberapa orang spontan mendukung asal tetap tidak perlu dipungut biaya. Sekarang setiap anak membayar BP3 Rp 1.000/bulan, itupun ada yang keberatan karena memang tidak mampu. Kepala sekolah SD Dempar, Jaelani (41 th), sangat mendukung gagasan pengasramaan murid-murid SD desa-desa terpencil ini.
Demikian dari kasus 2 SD di kampung miskin di kabupaten Kutai Barat ini kiranya harus ada revolusi dalam pendidikan dasar, tidak sekedar reformasi yang dalam kenyataan hanya dijadikan retorika politik di Jakarta. Di daerah-daerah, terutama desa-desa/kampung-kampung miskin, pemerintah daerah harus mampu mendorong terjadinya revolusi atau perubahan radikal dalam menangani dunia pendidikan termasuk penyediaan anggaran 20% dari APBD seperti yang ?dianjurkan? UUD 1945 yang telah diamandemen.
25 September 2003
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.