Perjanjian hutang piutang dan mekanisme penjaminnya.

Second_Sister

New member
Butuh second opinion nih.

Misalnya, ada seorang, sebut saja B, yang meminjam sejumlah uang kepada si A. Dalam peristiwa hutang dan piutang ini si B menjaminkan kebun melon seluas 2 hektar dan 1 rumah kost yang jadi miliknya kepada si A. Dalam perjanjiannya disebutkan bahwa selama hutangnya belum dibayarkan maka hasil dari kebun dan rumah kost akan jadi milik si A.

Nah yang jadi pertanyaan, apakah ada unsur riba dalam perjanjian seperti ini? Apakah hutang piutang dengan hal seperti itu bisa diterima dalam hukum Islam?
 
Butuh second opinion nih.

Misalnya, ada seorang, sebut saja B, yang meminjam sejumlah uang kepada si A. Dalam peristiwa hutang dan piutang ini si B menjaminkan kebun melon seluas 2 hektar dan 1 rumah kost yang jadi miliknya kepada si A. Dalam perjanjiannya disebutkan bahwa selama hutangnya belum dibayarkan maka hasil dari kebun dan rumah kost akan jadi milik si A.

Nah yang jadi pertanyaan, apakah ada unsur riba dalam perjanjian seperti ini? Apakah hutang piutang dengan hal seperti itu bisa diterima dalam hukum Islam?

jika mengacu pada gadai sistem syariah itu tak mengandung riba sepanjang kedua belah pihak bersepakat utk hal itu.

Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara syara, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).
 
jika mengacu pada gadai sistem syariah itu tak mengandung riba sepanjang kedua belah pihak bersepakat utk hal itu.

Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara syara, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).
Kalau penjelasan seperti di atas itu, Insyaa Allah, daku sudah mengerti sebelumnya.

Dasar dari munculnya pertanyaan tersebut adalah, pertama karena banyaknya macam jenis riba yang tersamar, di dalam hadist sendiri disebutkan macam riba itu ada 73, di hadist yang lain disebutkan macam riba itu ada 99. Nah riba yang tersamar itulah yang ingin dihindari.

Kedua, berangkat dari asumsi bahwa hutang piutang bukanlah sesuatu hal yang dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam kasus ini, si A memberikan pinjaman, tapi pada akhirnya si A juga akan mendapatkan keuntungan dari hasil kebun dan rumah kost. Memang betul ada perjanjian/kesepakatan antara si A dan si B, tapi bukan berarti karena ada sebuah perjanjian atau kesepakatan maka bisa bebas pula dari keberadaan riba, toh sebagai contoh antara renternir dan peminjam itu juga pasti ada perjanjian, tapi tetap saja itu dikatakan sebagai muamalah yang mengandung riba.

Ketiga, dalam suatu hadist disebutkan bahwa "Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang harampun telah jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan). Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus ke dalam keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, lambat laun ia akan masuk ke daalamnya".

Berangkat dari ketiga hal tersebut, di sini si A ingin supaya muamalah yang terjadi ini benar-benar bebas dari riba, baik itu riba yang sudah jelas ataupun riba yang tersamar, serta muamalah yang dilakukan ini berawal dari sebuah keyakinan dan tanpa keraguan, karena jika ternyata meragukan maka si A lebih baik hanya menerapkan hutang piutang biasa saja, dengan jaminan tapi tanpa menarik keuntungan seperti yang sudah jadi kesepakatan seperti yang tadi ditulis.

Kembali ke pertanyaan, apakah muamalah yang seperti ini mengandung riba ataupun merupakan riba yang tersamar?? Jika iya atau tidak, bagaimana landasan atau dasar hukumnya (Berdasarkan Quran dan hadist)?
 
Riba ini ada dua macam :

Riba Nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang yang berutang karena penangguhan atas pembayaran.

Riba Fadhal yaitu jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan.

jika menilik dari contoh kasus yang non dipe sodorkan, maka itu termasuk jenis riba Riba Nasi’ah Jenis riba ini banyak ulama yang berpendapat diharamkan. Walaupun masih dapat berapologetik ttg hal itu.

apakah muamalah yang seperti ini mengandung riba ataupun merupakan riba yang tersamar??

Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)

Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).

tulisan tebal itu mungkin sebagai jawabannya bahwa contoh kasus yg non dipe maksud itu termasuk riba tersamar :)
 
Butuh second opinion nih.

Misalnya, ada seorang, sebut saja B, yang meminjam sejumlah uang kepada si A. Dalam peristiwa hutang dan piutang ini si B menjaminkan kebun melon seluas 2 hektar dan 1 rumah kost yang jadi miliknya kepada si A. Dalam perjanjiannya disebutkan bahwa selama hutangnya belum dibayarkan maka hasil dari kebun dan rumah kost akan jadi milik si A.

Nah yang jadi pertanyaan, apakah ada unsur riba dalam perjanjian seperti ini? Apakah hutang piutang dengan hal seperti itu bisa diterima dalam hukum Islam?

ada 2 pendapat tentang masalah ini

1. Pendapat yang melarang
Rasulullah SAW bersabda, "Semua pinjaman yang melahirkan manfaat, maka hukumnya riba."

Kalau menggunakan pendapat jumhur ulama, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, maka bila ada seorang berhutang uang dengan menggadaikan sawahnya, maka sawah itu tidak boleh diambil manfaatnya. Tidak boleh ditanami dan tidak boleh dipetik hasilnya oleh pihak yang menerima gadai. Baik dengan izin pemilik sawah atau pun tanpa izinnya.

2. pendapat yang membolehkan

Sedangkan menurut pendapat kalangan mahzab Al-Hanafiyah, hukumnya boleh. Selama ada izin dari pemilik harta yang digadaikan itu.

rasulullah bersabda

Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Dari hadits di atas, bisa kita simpulkan bahwa Rasullulah mengizinkan kita melakukan praktek gadai, bahkan dibolehkan juga buat kita untuk mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Sebagai menutup biaya pemeliharaan.

Nah yang jadi pertanyaan, apakah ada unsur riba dalam perjanjian seperti ini?
jika mengikuti pendapat hanafiyah maka tidak ada riba dalam masalah ini, selama jumlah hutang tetap (tidak ditambah dengan bunga atau biaya perawatan) dan mendapat izin dari pemiliknya (si B).

tapi jika mengikuti pendapat selain hanafiyah, maka itu termasuk riba

saya cenderung menggunakan pendapat mazhab hanafiyah jika barang yang digadaikan membutuhkan biaya perawatan misalnya ternak atau kebun, namun jika barang yang digadaikan tidak membutuhkan biaya perawatan seperti emas atau tanah maka mengambil keuntungan darinya termasuk riba.

wallahu a'lam
 
Back
Top