jika mengacu pada gadai sistem syariah itu tak mengandung riba sepanjang kedua belah pihak bersepakat utk hal itu.
Gadai dalam bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal, dan jaminan. Secara syara, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang berpiutang).
Kalau penjelasan seperti di atas itu, Insyaa Allah, daku sudah mengerti sebelumnya.
Dasar dari munculnya pertanyaan tersebut adalah,
pertama karena banyaknya macam jenis riba yang tersamar, di dalam hadist sendiri disebutkan macam riba itu ada 73, di hadist yang lain disebutkan macam riba itu ada 99. Nah riba yang tersamar itulah yang ingin dihindari.
Kedua, berangkat dari asumsi bahwa hutang piutang bukanlah sesuatu hal yang dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam kasus ini, si A memberikan pinjaman, tapi pada akhirnya si A juga akan mendapatkan keuntungan dari hasil kebun dan rumah kost. Memang betul ada perjanjian/kesepakatan antara si A dan si B, tapi bukan berarti karena ada sebuah perjanjian atau kesepakatan maka bisa bebas pula dari keberadaan riba, toh sebagai contoh antara renternir dan peminjam itu juga pasti ada perjanjian, tapi tetap saja itu dikatakan sebagai muamalah yang mengandung riba.
Ketiga, dalam suatu hadist disebutkan bahwa "Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang harampun telah jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan). Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus ke dalam keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang, lambat laun ia akan masuk ke daalamnya".
Berangkat dari ketiga hal tersebut, di sini si A ingin supaya muamalah yang terjadi ini benar-benar bebas dari riba, baik itu riba yang sudah jelas ataupun riba yang tersamar, serta muamalah yang dilakukan ini berawal dari sebuah keyakinan dan tanpa keraguan, karena jika ternyata meragukan maka si A lebih baik hanya menerapkan hutang piutang biasa saja, dengan jaminan tapi tanpa menarik keuntungan seperti yang sudah jadi kesepakatan seperti yang tadi ditulis.
Kembali ke pertanyaan, apakah muamalah yang seperti ini mengandung riba ataupun merupakan riba yang tersamar?? Jika iya atau tidak, bagaimana landasan atau dasar hukumnya (Berdasarkan Quran dan hadist)?