Perlindungan Terhadap Anak Korban Eksploitasi

Riri_1

Member
Temen2 pada suka liat pengemis bawa anak2 gak sih?


Sebelum menguraikan lebih jauh sanksi bagi orang tua yang mengeksploitasi anaknya untuk meminta-minta (mengemis), ada perlunya kita ketahui terlebih dahulu ketentuan hukum mengenai perlindungan anak.


Ketentuan hukum terkait dengan perlindungan anak secara umum diatur dalam Pasal 52 – Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.


Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”) dan perubahannya juga telah diatur secara khusus seputar hukum perlindungan anak.


Aturan mengenai perlindungan anak dari eksploitasi didasarkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 23/2002 yang mengatur bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan, salah satunya, dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
 
Larangan Eksploitasi Anak untuk Mengemis Oleh Orangtuanya


Anak adalah seseorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas.


Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata “anak” merujuk pada lawan dari orangtua, orang dewasa adalah anak dari orangtua mereka, meskipun yang bersangkutan telah dewasa.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”):

"Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (Delapan Belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."


Bagian IV angka 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (“UU 1/2000”) dan Pasal 3 huruf a Konvensi No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak dalam Lampiran UU 1/2000 menguraikan bahwa istilah “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” mengandung pengertian:
a. Segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengarahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi, pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
d. pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.


Eksploitasi anak dapat juga diartikan sebagai:

a. penggunaan atau pengarahan tenaga kerja sebagai buruh industri atau usaha lain sebagai tenaga murah sehingga mengorbankan kebutuhan emosional dan fisik, sehingga menimbulkan hambatan fisik, mental dan sosial;
b. merupakan keuntungan sepihak, yaitu bagi pemakai tenaga kerja.
 
Penggunaan anak kecil/bayi untuk meminta-minta (mengemis) sesungguhnya sangat mengetuk hati nurani. Orang memberi karena rasa kasihan, tetapi hasilnya tidak untuk si anak kecil/bayi tersebut.


Dalam UU 35/2014 diatur pula mengenai larangan bagi siapapun, termasuk orangtuanya sendiri, untuk mengeksploitasi anak, baik secara ekonomi dan/atau seksual, yaitu:


Pasal 76I UU 35/2014
"Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak."


Dengan demikian, tindakan orangtua yang ‘mempekerjakan’ anak sebagai pengemis digolongkan sebagai tindakan eksploitasi anak secara ekonomi.


Sanksi terhadap orangtua atau siapapun yang mengeksploitasi anak, baik secara ekonomi dan/atau seksual adalah:


Pasal 88 UU 35/2014
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 
Prosedur Memisahkan Anak dari Orangtua yang Melakukan Eksploitasi



Anak adalah kelompok rentan yang harus diberikan perhatian khusus, utamanya dalam hal anak menjadi korban. Pemerintah perlu memastikan ketersediaan regulasi yang lengkap serta teknis eksekusinya di lapangan.


Eksploitasi anak merujuk pada suatu tindakan penggunaan anak untuk manfaat orang lain, kepuasan atau keuntungan yang sering mengakibatkan perlakuan tidak adil, kejam, dan berbahaya terhadap anak. Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan eksploitasi meliputi perbuatan yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.


Indonesia pada dasarnya memiliki beberapa aturan terkait korban pada umumnya dan korban anak pada khususnya.


Selain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Indonesia memiliki aturan khusus terkait perlindungan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan perubahannya. Undang-undang ini secara khusus mengatur terkait hak-hak korban yang bisa diberikan oleh negara.


Khusus untuk anak korban, Indonesia juga telah memiliki aturan yang melengkapi secara khusus hak-hak anak sebagai korban tindak pidana seperti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


Prosedur memisahkan anak dari orangtua yang melakukan eksploitasi kepadanya adalah melalui proses hukum, yaitu tindakan dari penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian yang memproses dugaan perbuatan pidana eksploitasi anak secara ekonomi, yaitu mengajak, menyuruh, atau memaksa anak untuk mengemis.


Ketika orangtua anak tersebut diproses secara hukum, pihak kepolisian akan berkoordinasi dengan kerabat lain dari anak tersebut, seperti saudara-saudara dari orangtuanya, untuk sementara mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak tersebut sampai anak tersebut dewasa dan mandiri.


Akan tetapi, jika tidak ada sama sekali kerabat anak yang sanggup mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak tersebut, maka pihak kepolisian akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial wilayah setempat atau lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengurusi kebutuhan anak korban eksploitasi.
 
selain Eksploitasi anak untuk mengemis, adalagi loh Eksploitasi anak, salah satunya adalah Eksploitasi seksual.


eksploitasi anak merujuk pada suatu tindakan penggunaan anak untuk manfaat orang lain, kepuasan atau keuntungan yang sering mengakibatkan perlakuan tidak adil, kejam, dan berbahaya terhadap anak. Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa perlakuan eksploitasi meliputi perbuatan yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.


apa aja sih bentuk dari eksploitasi anak? berikut adlh bntuk2 eksploitasi anak yg diakui, diantranya:

a. Eksploitasi Seksual: penyalahgunaan posisi rentan, kekuasaan memengaruhi atau memanfaatkan kepercayaan anak untuk tujuan seksual termasuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial, atau politik dari eksploitasi anak dan kepuasan seksual pribadi. Contoh: pelacuran anak, perdagangan anak, pornografi anak, perbudakan seksual anak dll.


eksploitasi seksual anak adalah pelanggaran dasar terhadap hak asasi anak yang terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan uang atau sesuatu yang dinilai dengan uang di mana anak dijadikan objek seks serta objek komersial. Dalam penjelasan Pasal 66 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ seksual atau organ lain anak untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tidak hanya pada kegiatan pelacuran dan pencabulan.


Dalam berbagai instrumen HAM saat ini, eksploitasi seksual anak dikelompokkan lagi ke dalam lima bentuk tindak pidana yaitu:

1. Prostitusi anak
Tindakan menawarkan layanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau imbalan lain.
2. Pornografi anak
Pertunjukan apapun termasuk foto, visual, audio, tulisan atau dengan cara lain yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual.
3. Perdagangan anak untuk tujuan seksual
Proses perekrutan, penampungan, dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual.
4. Pariwisata Seks Anak (PSA)
Eksploitasi seksual terhadap anak oleh orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Seringkali melibatkan penggunaan berbagai layanan akomodasi, transportasi, dan pariwisata yang dapat memfasilitasi kontak dengan anak. Hal tersebut memungkinkan pelaku untuk tetap tidak terlihat di masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
5. Perkawinan anak
Perkawinan yang melibatkan anak dan remaja di bawah usia 18 tahun dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi jika seorang anak digunakan untuk tujuan seksual guna memperoleh barang atau pembayaran berupa uang atau jasa.


Lalu, bentuk kejahatan terbaru adalah eksploitasi seksual online anak (online sexual exploitation of child/OSEC). OSEC adalah semua tindakan eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak secara online meliputi: grooming, sextortion, sexting, child sexual abuse material (CSAM), dan siaran langsung kekerasan seksual terhadap anak.



2. Eksploitasi Ekonomi: penggunaan anak dalam pekerjaan atau kegiatan untuk kepentingan orang lain, tetapi tidak terbatas pada pekerja anak. Eksploitasi ekonomi terkait dengan manfaat tertentu yang diperoleh dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang/jasa (supply chain) di mana anak dipekerjakan dalam siklus tersebut. Kepentingan materi ini berdampak pada perekonomian suatu unit tertentu baik negara, masyarakat maupun keluarga. Misalnya: Pekerja Rumah Tangga Anak (PRT), Tentara Anak (terlibat konflik bersenjata), perbudakan anak, penggunaan anak untuk tujuan kriminal (pengedar narkoba), pelibatan anak dalam pekerjaan berbahaya dll.


Dalam penjelasan Pasal 66 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah perbuatan tanpa persetujuan anak yang meliputi pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, penindasan, pemerasan, penggunaan fisik/organ reproduksi seksual untuk dipindahkan atau transplantasi oleh pihak lain demi keuntungan materi.


Perlu dipahami pula bahwa eksploitasi berbeda dengan kekerasan. Eksploitasi anak terjadi dalam bentuk tindak kekerasan di mana pelakunya bertujuan untuk memperoleh keuntungan komersial/ekonomi. Pada kasus eksploitasi anak, anak bukan hanya objek seks tetapi juga komoditas untuk memperoleh uang, barang, atau jasa bagi pelaku dan orang-orang lain yang terlibat.

Secara prinsip, setiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apapun yang merugikannya. Hal tersebut merupakan kewajiban orang tua, wali, atau pihak lain seperti pemerintah dan lembaga negara terkait. Prinsip ini telah diterima baik melalui instrumen hukum internasional (Konvensi Hak Anak) maupun instrumen hukum nasional (UU Perlindungan Anak) serta peraturan lainnya.
 
Back
Top